Liputan6.com, Manado - "Dengan hati dan mata terbuka, aku ingin melihat peluru penjajah menembus dadaku, merdeka, merdeka, merdeka!" Itulah kalimat terakhir yang diucapkan Robert Wolter Monginsidi sesaat sebelum delapan butir peluru penjajah bersarang di tubuhnya.
Adegan terakhir fragmen perjuangan Pahlawan Nasional Robert Wolter Monginsidi yang meninggal 5 September 1949 di Makassar ditampilkan di atas panggung oleh generasi muda Suku Bantik. Adegan itu mendatangkan decak kagum ratusan warga yang memadati Lapangan Bantik, Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, Senin, 5 September 2016.
Penampilan mereka ditutup dengan adegan dua adik kandung Robert Wolter Monginsidi, masing-masing Marie Mongisidi dan Robby Monginsidi, yang meletakkan karangan bunga di atas jenazah pahlawan nasional yang meninggal dalam usia 24 tahun tersebut.
Adegan ini sempat membuat salah seorang warga yang hadir berusia sekitar 80 tahun membuka topi tua dan kacamata yang dikenakan, sembari menyeka butiran air mata yang keluar karena terharu.
Baca Juga
Yohan Mongisidi, paman Robert Wolter Monginsidi, mengatakan masa perjuangan Wolter dapat terbilang singkat. Namun, masa perjuangannya ditumpahkan dalam pergulatan batin dan perlawanan.
"Cakrawala pikirannya yang luas semangat nasionalisme dan jiwa patriotisme serta kecerdasannya tidaklah sependek waktu perjuangan yang dipersembahkannya untuk ibu pertiwi," ujar Yohan. Â
Peringatan 67 tahun gugurnya Pahlawan Nasional Robert Wolter Monginsidi hari itu juga dirangkaikan dengan Festival Seni Budaya Bantik 2016 yang dibuka Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey.
Pembukaan festival ini juga diramaikan dengan berbagai atraksi budaya keturunan Suku Bantik seperti Mahamba dan Kabasaran.
"Saya percaya masyarakat Bantik mampu memegang peran penting tersebut, karena historikal Sulut telah membuktikan bahwa Suku Bantik sangat menghormati adat. Punya jiwa patriotisme sebagaimana yang ditunjukkan Robert Wolter Mongisidi," ujar Olly.
Advertisement
Surat Terakhir
Kolonel Inf Ricky Winowatan, mewakili keluarga, tampil membacakan surat Bote yang ditulis 27 Maret 1945 atau enam bulan sebelum pelaksanaan eksekusi. Ia menuturkan surat itu menyiratkan Bote, sapaan akrab Robert Wolter Monginsidi, telah berhasil melewati pergumulan, gejolak bahkan benturan dalam pribadinya, baik intelektual, emosional dan spiritual.
"Keberhasilan Bote tersebut tertuang dalam kalimat, 'ketakutan terhadap maut telah hilang padaku dan janganlah cemas atau gelisah, sebab aku sendiri telah lalui segala ketakutan dan kegentaran.' Bote bahkan menjadi penghibur dan motivator bagi keluarga untuk tidak larut dalam kesedihan akan resiko hukuman mati yang harus dihadapi," kata Winowatan.
Bagi Bote, kata Ricky, grasi adalah jebakan pihak penjajah. Karena itu, jika menerima grasi, Bote menganggap telah mengingkari keyakinan akan kebenaran perjuangan yang dilakukan akan berubah menjadi kesalahan.
"Dalam surat itu Bote berkata, 'kiranya jangan mengirim permohonan grasi buat saya sebab ini semata-mata di bawah pertanggungan saya serta saya pun telah menolak grasinya," ucap Winowatan sembari mengajak masyarakat Sulut untuk menghargai sejarah.
Suku Bantik, tempat Robert berasal, merupakan salah satu suku yang mendiami wilayah Sulawesi Utara, tersebar di sedikitnya enam kabupaten/kota. Ada 11 desa atau kelurahan yang didiami Suku Bantik.
Sekarang mereka sudah menganut berbagai agama. Namun, kepercayaan leluhur ini masih tetap dijaga melalui berbagai ritual budaya.
Advertisement