Liputan6.com, Yogyakarta - Ayam ingkung memiliki cerita panjang sebelum akhirnya jadi santapan rakyat. Semula, ayam jantan kampung yang dimasak utuh dan diberi santan kental ini merupakan sesaji.
Nama ingkung berasal dari bahasa Jawa, yakni kata "ing" atau "ingsung" yang berarti aku dan kata "manekung" yang bermakna berdoa dengan penuh khidmat.
"Awalnya bukan konsumsi tetapi untuk sesaji kerajaan Mataram. Itulah kenapa wujudnya berupa ayam utuh," ujar Anton Yanwar Susilo, anggota Indonesia Chef Associaton (ICA), salah satu juri dalam Festival Kuliner Desa atau Kampung Wisata se-DIY yang digelar di Desa Wisata Kalakijo, Guwosari, Pajangan, Bantul, Kamis, 24 November 2016.
Ia mengungkapkan, seiring berkembangnya zaman, ayam ingkung berubah menjadi hidangan para bangsawan kerajaan. Sampai saat ini, kata dia, ayam ingkung masih dilestarikan. Bahkan, di daerah lain pun juga membuat menu serupa.
Baca Juga
Advertisement
Meskipun demikian, Anton mengatakan ciri ayam ingkung di tempat lain berbeda dengan di Bantul. Khusus di Kabupaten Projotamansari ini, menu ingkung disajikan dengan santan kental sebagai pelengkap, baik ingkung yang digoreng maupun disajikan basah atau direbus.
Ia memaparkan, di era modern, ayam ingkung tergolong sebagai makanan tradisional, sehingga penyajiannya pun harus tradisional.
"Ada beberapa restoran dan hotel yang menyajikan dipresto, tetapi aslinya tidak boleh dipresto melainkan diungkep minimal empat jam," ucap dia.
Ia juga tidak menampik beberapa hotel di Jogja mulai merambah menu ini. Penyajiannya secara modern alias dipresto. Namun, kebanyakan hotel hanya menyediakan menu ayam ingkung dengan pesanan khusus.
Pilih Diungkep atau Dipresto?
Menurut Anton, ada perbedaan rasa ayam ingkung yang dipresto dengan diungkep. Ayam ingkung yang diungkep memiliki cita rasa lebih gurih karena menyatu dengan bumbu. Selain itu, kekhasan ayam ingkung adalah daging harus tetap alot, sedangkan dipresto membuat ayam ingkung melunak.
Anton juga membeberkan cara membuat ayam ingkung. Pertama ayam diungkep dengan bumbu seperti daun salam, serai, bawang putih merah, garam, ketumbar, dan lada di atas tungku kayu dengan api kecil selama minimal empat jam. Lalu diangkat dan dipanggang sebentar. Biasanya ayam ingkung disajikan berpasangan dengan nasi uduk.
Pengelola salah satu rumah makan ayam ingkung di Desa Wisata Kalakijo, Sukardiono menuturkan turis asing yang datang kebanyakan menikmati kuliner ayam ingkung.
"Di desa wisata yang berdiri sejak 2013 ini belum ada homestay, sehingga fokus ke kuliner," ujar dia.
Selain menyantap ayam ingkung, kata Sukardiono, para turis juga senang melihat proses pembuatan ayam ingkung yang dimasak dalam kuali dengan menggunakan kayu bakar.
Ia menyebutkan, dalam sehari bisa menghabiskan 15-30 ekor ayam kampung. Ayam yang digunakannya pun bukan ayam peternakan, melainkan ayam jantan kampung liar. Rasa ayam kampung liar lebih gurih karena pakannya masih alami, berbeda dengan ayam peternakan yang mengonsumsi pakan berkonsentrat.