Alasan Harga Tanah di Yogya Makin Menggila

Harga tanah di kawasan Malioboro, Kota Yogya, bahkan menembus Rp 25 juta per meter persegi.

oleh Liputan6 diperbarui 14 Des 2016, 17:02 WIB
Diterbitkan 14 Des 2016, 17:02 WIB
20160804- Sate Ayam Goda Turis Asing di Malioboro-Yogya- Boy Harjanto
Wisatawan mancanegara membeli sate ayam di Jalan Malioboro, Yogya, Kamis (4/8). Makanan cepat saji ini banyak dijual di sepanjang Jalan Malioboro dengan harga yang terjangkau. (Liputan6.com/Boy Harjanto)

Liputan6.com, Yogyakarta - Harga tanah di Yogyakarta dan wilayah sekitarnya terus meningkat tajam, bahkan mencapai angka fantastis dari kisaran Rp 1,5 juta per meter hingga mencapai Rp 25 juta per meter.

"Pada wilayah pusat kota seperti Malioboro, harga tanah yang ditawarkan sudah mencapai lebih dari Rp 25 juta per meter, dan pada wilayah yang lebih pinggir, seperti Kota Gede berkisar Rp 1,5 juta per meter," ujar Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gadjah Mada (UGM) Dwi Ardianta Kurniawan, dilansir Antara, Selasa, 13 Desember 2016.

Menurut dia, tingginya harga tanah tidak mengurangi minat para pembeli, baik investor perumahan maupun pembeli pribadi. Hal itu terbukti dengan masih maraknya pembangunan fisik di sepanjang wilayah Yogyakarta dan sekitarnya.

Tingginya harga tanah di Yogyakarta yang masih terus bertumbuh menunjukkan besarnya permintaan akan tanah di kawasan tersebut. Ia menyebut ada dua alasan harga tanah di Yogya meroket tajam.

Alasan pertama, Yogyakarta dan wilayah sekitarnya adalah kawasan yang cukup menarik sebagai tempat tinggal. Kesan sebagai wilayah yang nyaman dengan usia harapan hidup yang tinggi menjadikan kawasan Yogyakarta sebagai salah satu pilihan favorit untuk bertempat tinggal.

"Selain faktor kenyamanan, faktor fasilitas hidup, terutama pendidikan, dapat menjadi motivasi lain. Faktor kenangan masa lalu juga dapat menjadi pemicu, ketika banyak dari mereka yang pernah bersekolah di Yogya akhirnya menginginkan anak-anaknya bersekolah juga di kota ini, sekaligus menghabiskan hari tua setelah pensiun nanti," tutur Dwi.

Kedua, sambung dia, sebagai akibat dari daya tarik yang tinggi sebagai tempat tinggal, kawasan ini akhirnya menarik juga secara bisnis. Pada kawasan yang nyaman dan rekreatif, bertumbuh industri kuliner besar yang muncul dan hilang silih berganti.

Selain itu, industri jasa sebagai penunjang juga berkembang dengan pesat, seperti jasa laundry, cuci mobil, potong rambut, hiburan dan sebagainya. Di luar itu, industri yang secara tradisional menjadi unggulan seperti pariwisata dan pendidikan juga bertumbuh kian pesat.

Karena itu, kata dia, aktivitas permukiman dan bisnis tersebut meniscayakan adanya tanah sebagai lahan beraktivitas. Hal ini menyebabkan tingginya permintaan akan tanah yang memicu melambungnya harga beli dan sewa tanah. Pada level ini, tanah bukan lagi hanya sebagai faktor produksi, tapi sudah merupakan komoditas yang diperdagangkan.

"Maka tidak heran, pertumbuhan harga tanah juga menggila. Mungkin hingga lebih 30 persen per tahun. Hal ini mengindikasikan, tingginya pertumbuhan harga bukan hanya karena permintaan. Namun juga ulah spekulan yang berharap mengambil keuntungan besar dari bisnis tanah," papar dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya