Cara Jogja Genjot Layanan Terpadu Pendidikan dan Kesehatan

Dibandingkan dengan Amerika Serikat, sistem layanan terpadu pendidikan dan kesehatan di Indonesia tertinggal selama satu abad.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 14 Jan 2017, 08:04 WIB
Diterbitkan 14 Jan 2017, 08:04 WIB
RSUP dr Sardjito
Kompleks RSUP dr Sardjito di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. (Liputan6.com/Switzy Sabandar)

Liputan6.com, Yogyakarta - Academic Health System (AHS) atau sistem pelayanan pendidikan dan kesehatan yang terintegrasi di Indonesia ternyata tertinggal hampir satu abad jika dibandingkan dengan Amerika Serikat.

Hal itu mendorong Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK UGM) untuk kali pertama menggelar Konferensi Internasional Academic Health System (AHS) Regional Asia Tenggara 2017 di Auditorium Fakultas Kedokteran UGM pada 12 hingga 13 Januari 2017.

Seminar tersebut dihadiri 350 peserta yang merupakan stakeholder atau pemangku kepentingan pelayanan kesehatan dari dalam dan luar negeri.

AHS merupakan sistem pelayanan kesehatan yang bersinergi dengan fakultas kedokteran. Tujuannya, akselerasi pelayanan kesehatan yang bermutu, pendidikan yang baik, dan riset kesehatan yang optimal.

Implementasinya, layanan kesehatan seperti rumah sakit bisa saling bekerja sama dan hubungan sesama tenaga medis sangat cair, tergantung dari kebutuhan tindakan medis. Selain itu, mahasiswa kedokteran juga memiliki tanggung jawab yang tinggi dalam mempraktikkan ilmunya dan obat-obatan bisa diproduksi sendiri lewat riset.

"Di Indonesia, baru ada tiga AHS, yakni yang bekerja sama dengan Universitas Hasanuddin, Universitas Indonesia, dan UGM," ucap Budi Mulyono selaku Ketua AHS UGM dalam jumpa pers di Fakultas Kedokteran UGM, beberapa hari lalu.

Idealnya, kata dia, ada tujuh AHS di Indonesia yang bisa mengakomodasi pelayanan kesehatan di regional dari Sabang sampai Merauke. Ia mencontohkan, CT Scan di RSUP dr Sardjito penuh, maka pasien bisa dilarikan ke rumah sakit yang terintegrasi lainnya.

Demikian pula pengadaan obat yang saat ini masih impor, bisa dibuat di Indonesia melalui riset AHS di dalam negeri.

Ia mengungkapkan, AHS pertama kali dilakukan di Amerika Serikat hampir 100 tahun lalu dan mulai marak sekitar 1960-an ketika jaminan kesehatan diberlakukan. Saat ini terdapat 125 AHS di Negeri Paman Sam.

Budi mengatakan pula, AHS di Fakultas Kedokteran UGM dimulai sejak 2014 dan melibatkan RSUP dr Sardjito, RSUP dr Soeradji Tirtonegoro Klaten, RS UGM, RSUD Banyumas, dan RSPAU Hardjolukito.

Kompleks RSUP dr Sardjito di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. (Liputan6.com/Switzy Sabandar)

"AHS di Jogja ini terbilang unik karena melibatkan rumah sakit yang tidak hanya di wilayah Jogja saja, tetapi juga RS spesialis tulang di Klaten," tutur dia.

Ketua Panitia Seminar Endro Basuki mengatakan target dari kegiatan ini adalah menyosialisasikan AHS kepada para stakeholder, seperti dokter, dinas kesehatan, dan pelayan kesehatan lainnya. Serta, meminta surat keputusan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) terkait AHS di UGM.

"SK itu menjadi legal aspect bagi para dokter residen supaya bisa menjalankan tugasnya di seluruh Indonesia dengan bimbingan para gurunya, seperti di Papua yang sampai saat ini belum memiliki spesialis bedah syaraf, maka kami mendidik dokter spesialis bedah syaraf untuk ditempatkan di sana," ujar dia.

Menurut Endro, AHS mengedepankan kerja sama. Dengan demikian, pelayanan kesehatan tidak perlu bersaing, tapi saling melengkapi.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya