Jeritan Hati Nelayan Pantura Pengguna Cantrang

Sebagian nelayan di Kota Tegal, bahkan belum mengganti alat tangkap cantrang lantaran berbagai pertimbangan.

oleh Fajar Eko Nugroho diperbarui 16 Mei 2017, 20:29 WIB
Diterbitkan 16 Mei 2017, 20:29 WIB
Cantrang
Barisan kapal nelayan dengan alat tangkap cantrang bersandar di pesisir pantura Tegal, Jawa Tengah. (Liputan6.com/Fajar Eko Nugroho)

Liputan6.com, Tegal - Polemik penggunaan alat tangkap bagi nelayan cantrang hingga kini masih menjadi perdebatan sengit. Kendati Presiden Joko Widodo atau Jokowi memutuskan memperpanjang penggunaan alat tangkap cantrang dari Juni 2017 diundur hingga Desember 2017, pemilik kapal ataupun anak buah kapal (ABK) belum merasa puas.

Mereka mengaku gelisah jika tetap melaut dengan alat tangkap cantrang, maka akan diringkus petugas. Nelayan pun mendesak agar Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencabut Peraturan Menteri KKP Nomor 2 Tahun 2015 dan No 71 Tahun 2016 yang mengatur pelarangan penggunaan beberapa alat tangkap ikan kelompok pukat hela dan pukat tarik.

"Ya, meskipun diperpanjang kami tetap mendesak kepada Presiden Jokowi agar mencabut larangan alat tangkap cantrang secara nasional. Kalau hanya memperpanjang ya sama saja hanya menunda-nunda dan tetap dilarang nantinya," ucap Ketua Paguyuban Nelayan Kota Tegal (PNKT) Susanto, Senin, 15 Mei 2017.

Sebagian nelayan di Kota Tegal, kata dia, bahkan belum mengganti alat tangkap untuk melaut lantaran berbagai pertimbangan. Di antaranya, penggantian alat tangkap cantrang membutuhkan biaya yang cukup besar.

Selain itu, jumlah kapal nelayan cantrang di Kota Tegal mencapai sekitar 600 kapal. Sedangkan di Jawa Tengah, jumlah totalnya sekitar 15 ribu kapal cantrang.

"Untuk mengganti cantrang dengan alat tangkap jenis gillnet biaya yang dibutuhkan mencapai Rp 1,5 miliar. Biaya lebih mahal harus dikeluarkan para nelayan apabila mengganti cantrang dengan alat tangkap jenis purseseine, yakni mencapai Rp 2 miliar hingga Rp 3 miliar," Susanto memaparkan.

Tak hanya itu, imbuh dia, paling tidak membutuh waktu sekitar satu hingga dua tahun karena harus memesan jaringnya terlebih dahulu. Apalagi, saat ini para nelayan pengguna cantrang rata-rata masih harus menyetor angsuran kredit ke bank.

Dampak Larangan Cantrang

Cantrang
Barisan kapal nelayan dengan alat tangkap cantrang bersandar di pesisir pantura Tegal, Jawa Tengah. (Liputan6.com/Fajar Eko Nugroho)

Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional (DPN) Gerbang Tani Idham Arsyad mengatakan, jika di wilayah Jawa Tengah, lebih dari 1.500 kapal cantrang dengan ribuan orang yang terlibat menggantungkan hidupnya mengandalkan ikan hasil tangkap kapal cantrang.

Ia pun menyoroti larangan penggunaan cantrang oleh KKP sebagai kebijakan sepihak. Meski dianggap benar melindungi kelestarian alam, kebijakan itu tidak memikirkan dampak sosial kemanusiaan.

"Menteri Susi (Pudjiastuti) hanya mementingkan lingkungan, namun tidak manusianya. Ingin keduanya. Pelarangan cantrang tidak hanya matikan nelayan kecil, namun juga industri perikanan," ucap Idham Arsyad.

Sedangkan sisa waktu larangan cantrang yang tersisa delapan bulan membuat nelayan dalam kegelisahan yang luar biasa. Menurut dia, dampak larangan cantrang jika diberlakukan akan mengganggu sektor perikanan.

Ia menambahkan, para pemilik kapal dan ABK cantrang mengeluh selama ini mereka hanya dipaksa memilih tertindas atau bangkit.

"Para nelayan cantrang ini juga sudah demo, ketemu Presiden dan Wantimpres, serta Ombudsman juga sudah. Bahkan, Menteri KKP Susi Pudjiastuti disampaikan Ombudsman, nol administrasi," ujar dia.

Dalam persoalan cantrang, imbuh Idham, kelestarian lingkungan hidup memang harus dijaga. Namun, dampak sosial ekonomi masyarakat juga harus diperhatikan.

"Kami dukung pemerintah menjaga dan mempertahankan lingkungan, namun perut keluarga nelayan juga harus diperhatikan," ia menekankan.

Padahal, menurut Idham, Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) memiliki tujuan utama bekerja untuk kesejahteraan nelayan dan petani.

"Mari kita kembalikan kementerian sesuai fitrah pendirian. Kalau perjuangan tidak tuntas, maka nelayan seluruh Nusantara akan bersatu padu. Namun, insyaallah tidak perlu sampai ke Jakarta karena nanti bisa diatasi," kata Idham Arsyad.

Ribuan Nelayan Terancam Menganggur

Cantrang
Barisan kapal nelayan dengan alat tangkap cantrang bersandar di pesisir pantura Tegal, Jawa Tengah. (Liputan6.com/Fajar Eko Nugroho)

Sebelumnya, Menteri KKP Susi Pudjiastuti menjelaskan, kebijakan yang ditempuhnya terkait pelarangan alat tangkap cantrang ini demi keberlangsungan perairan Indonesia. Hal itu seperti diamanatkan Presiden Jokowi kepadanya.

Kementerian Kelautan dan Perikanan bahkan tidak bermaksud mematikan kehidupan masyarakat nelayan. Pemerintah justru ingin menyelamatkan kehidupan nelayan dengan alat tangkap yang ramah lingkungan.

Alasan kenapa dilarangnya alat tangkap cantrang adalah karena telah mengakibatkan menurunnya sumber daya ikan dan mengancam kelestarian lingkungan sumber daya ikan. Hasil tangkapan cantrang dinilai sebagai alat tangkap yang kurang selektif terhadap ikan tangkapan.

"Biota-biota yang belum matang gonad dan memijah dapat tertangkap oleh alat tangkap cantrang. Hal ini akan menyebabkan berkurangnya stok sumberdaya ikan," ucap Susi Pudjiastuti.

Berdasarkan penelusuran Liputan6.com, larangan alat tangkap cantrang memang akan berdampak besar terhadap banyak nelayan, baik dari segi sosial maupun ekonomi. Sedangkan dampak sosial yang ditimbulkan dapat berupa pengangguran. Peraturan Menteri KKP tersebut juga menimbulkan pengangguran bagi anak buah kapal.

Setiap satu kapal cantrang dengan berat minimal 30 tonase kotor (gross tonnage/GT) ke atas terdiri dari 15 -20 ABK. Di Jawa Tengah, jumlah kapal cantrang mencapai 1.500 unit. Artinya, dampak larangan alat tangkap cantrang akan merugikan lebih dari 180 ribu orang, bahkan kehilangan pekerjaan.

Diperparah lagi dengan distribusi spasial alat tangkap cantrang telah menyebar di hampir seluruh Laut Jawa, yang terkonsentrasi di perairan selatan Belitung dan selatan Kalimantan sampai Selat Makassar.

Menurut Suripto (50), seorang pemerhati sosial masyarakat pantura, jika dampak ekonomi pemakaian alat tangkap yang kurang ramah lingkungan memang akan sangat dirasakan positif oleh nelayan dari sisi pendapatan. Namun, hal itu hanya dalam jangka waktu pendek.

Hal itu akibat pemakaian alat tangkap yang berakibat kerusakan terhadap habitat di mana ikan tersebut hidup. Selain itu, berpengaruh terhadap kenyamanan ikan, sehingga dapat berakibat ikan mengalami migrasi atau hilang.

Ditambah lagi dengan penurunan jumlah sumber daya ikan akibat penggunaan alat tangkap tersebut. Selain tempat ikan berpijah rusak dan jumlah ikan semakin berkurang, maka sering terjadi lebih tangkap atau biasa disebut dengan over fishing.

"Hal yang menjadi permasalahan saat ini adalah pelarangan alat tangkap cantrang menimbulkan permasalahan baru khususnya bagi ekonomi nelayan," ucap Suripto.

Kemudian keputusan untuk mewajibkan nelayan meninggalkan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan tidak diiringi dengan upaya kompensasi penggantian alat tangkap tersebut.

"Kami akui biaya penggantian alat tangkap yang tinggi menjadi kendala nelayan untuk mengganti alat tangkap. Apalagi Menteri Susi mengatakan tidak akan memberikan uang bantuan terhadap nelayan dengan alat tangkap tidak ramah lingkungan," ia menjelaskan.

Nelayan cantrang hingga kini pada kenyataanya belum siap menghentikan aktivitasnya. Tak sedikit, para nelayan menuntut pengunduran waktu yang rasional, paling tidak dua tahun lagi agar peralihan cantrang ke alat tangkap yang diinginkan pemerintah dapat berjalan mulus dan tuntas.

Desakan Pembentukan Tim Independen

Alat tangkap cantrang
Para nelayan di Tegal, Jawa Tengah, mengeluhkan larangan penggunaan alat tangkap cantrang. (Liputan6.com/Fajar Eko Nugroho)

Sebagian nelayan di perairan pantura Jawa Tengah meminta pemerintah membentuk tim independen untuk menguji cantrang memang merusak alam atau tidak. "Biar semuanya fair harus ada tim yang benar-benar independen untuk menguji alat tangkap cantrang ini," ujar Ketua Paguyuban Nelayan Kota Tegal (PNKT) Susanto.

Ia menyebutkan, pernyataan bahwa alat tangkap cantrang merusak alam itu hanya berasal dari pihak Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP). Sebaliknya, pernyataan cantrang aman berasal dari nelayan ataupun ABK.

"Kan memang selama ini terkesan ada dua kubu yang berbeda persepsi. Jadi, sekarang harus dibuktikan apakah cantrang merusak karang lingkungan, sesuai tuduhan KKP itu yang sering diungkapkan Menteri Susi Pudjiastuti," ia menjelaskan.

Tim independen, lanjut dia, bisa berasal dari sejumlah unsur, seperti kalangan pakar, akademisi, dan pemerintah. Bahkan, nelayan siap dilibatkan dalam tim penguji independen ini.

"Kalau memang dibutuhkan kami siap dilibatkan," sebut dia.

Terkait pelarangan cantrang, menurut Susanto, nelayan sebenarnya masih berharap alat tangkap tersebut dilegalkan pemerintah. Sebab, untuk beralih ke alat tangkap lain, butuh biaya yang cukup besar hingga ratusan juta hingga miliaran rupiah. Sementara, para pemilik kapal saat ini masih banyak yang terjerat utang di bank.

"Saat ini jumlah kapal cantrang di Kota Tegal mencapai 600 unit. Ada ribuan orang yang menggantungkan hidup dari kapal-kapal cantang itu," ia mengungkapkan.

Selama masa tunda ini, kata dia, pemerintah harus memberikan jaminan keamanan bagi nelayan kapal cantrang yang sedang melaut. Sebab, selama ini ada sebagian pemilik kapal yang tidak memberangkatkan kapalnya lantaran khawatir ditangkap aparat.

"Jumlahnya mencapai ratusan kapal. Mereka tidak berani melaut. Akibatnya anak buah kapalnya pada menganggur dan ada yang berpindah profesi jadi kuli bangunan, tukang ojek, serabutan, dan lain sebagainya," kata Susanto.

Nelayan Tagih Janji Pemerintah

Ribuan Nelayan Kepung Kantor Menteri Susi Pudjiastuti
Massa Front Nelayan Bersatu berorasi menolak Peraturan Menteri tentang larangan penggunaan cantrang, atau jenis trawl yang telah dimodifikasi untuk menangkap ikan di depan kantor KKP, Jakarta, Kamis (26/2/2015). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sementara itu, salah satu tokoh nelayan Tambari Gustam menyebut, sudah ada 13 nelayan asal pantura yang ditangkap petugas keamanan ketika melaut meski penggunaan cantrang masih diperpanjang.

"Larangan cantrang pada intinya masih diberlakukan. Kalau sekarang Menteri Susi bilang ke media diperbolehkan, itu bohong," ucap Tambari Gustam.

Ia membeberkan, pada kenyataannya hingga kini belum ada peraturan baru yang mencabut Permen KKP No 2 Tahun 2015 yang diperkuat dengan Permen No 71 Tahun 2016. Padahal, nelayan butuh perlindungan agar mendapat rasa aman dan nyaman ketika melaut.

"Bukan sebaliknya. Nelayan cantrang diuber-uber seperti maling. Bu Susi hanya bisa melarang, tanpa memberi solusi," kata Tambari.

Ia pun mempertanyakan kepedulian negara yang sudah memberi jaminan pada setiap warga negara dalam mencari penghidupan yang layak. Untuk itu, pihaknya tetap berharap Menteri KKP mengeluarkan peraturan yang melegalkan cantrang secara nasional.

"Jadi kami seluruh nelayan menunggu janji pemerintah melalui KKP untuk membuktikan dengan menerbitkan peraturan yang melegalkan cantrang secara nasional," ujar dia.

Menurut dia, janji pemerintah tersebut bukan hanya lewat running text di televisi swasta atau media sosial. "Tapi mana surat edarannya? Hal ini karena petugas di laut, juga menanyakan aturan yang melegalkan cantrang, bukan janji lisan."

Sebelumnya, Menteri Susi Pudjiastuti menyatakan, saat masa transisi pemakaian alat tangkap cantrang, penggunaan alat tangkap untuk kapal di bawah ukuran 10 GT akan diganti dalam waktu dekat. Sementara bagi kapal besar akan diasistensi kepada pihak perbankan.

"Untuk di bawah (kapal ukuran) 10 GT kita akan ganti selama waktu peralihan ini. Tapi yang besar tidak. Yang besar bisa kita asistensi ke perbankan berupa pinjaman kredit lunak," ucap Susi Pudjiastuti, beberapa waktu lalu.

Kendati demikian, Menteri Susi menyatakan perpanjangan penggunaan cantrang hanya untuk wilayah Jawa Tengah saja.


Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya