Curhat Warga soal Kisruh Transportasi Online di Pekanbaru

Sejumlah warga Pekanbaru menanggapi polemik sekaligus kisruh antara transportasi online dan angkutan umum konvensional.

oleh M Syukur diperbarui 22 Agu 2017, 10:00 WIB
Diterbitkan 22 Agu 2017, 10:00 WIB
Balasan Sopir Taksi Pekanbaru Usai Diserang Sopir Ojek Online
Setidaknya tujuh taksi konvensional di Pekanbaru rusak usai diserang para sopir ojek online. (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, Pekanbaru - Meski tidak ada izin operasional, kehadiran transportasi online seperti GoJek, Uber, dan Grab di Kota Pekanbaru, Riau, sudah memberi kemudahan bagi masyarakat. Masyarakat tidak perlu mengeluarkan pulsa lebih dalam memesan karena cukup melalui aplikasi yang disediakan.

Selain ongkos lebih murah dari angkutan umum konvensional, masyarakat di Kota Pekanbaru juga dimudahkan dengan adanya aplikasi GoSend, GoFood, dan pelayanan lainnya. Cukup menunggu di rumah dan memesan makanan melalui aplikasi, warga sudah bisa santap siang ataupun malam.

Kemudahan itu dirasakan oleh Chairul Hadi, warga Kecamatan Sukajadi, Kota Pekanbaru. Kesibukan dari pagi hingga malam hari membuatnya tak leluasa menyediakan makanan dan transportasi bagi istrinya yang baru saja melahirkan anak.

"Istri saya kan enggak bisa keluar rumah mencari makanan atau memasak karena baru melahirkan, melalui angkutan online inilah saya dimudahkan. Saya bisa memesan makan untuk istri dan anak pertama saya dari tempat saya bekerja," ucap pria berusia 31 tahun tersebut di Pekanbaru, Senin, 21 Agustus 2017.

Menurut Hadi, dia tahu mengetahui transportasi online ini tidak mendapat izin operasional. Hanya saja kemudahan yang ditawarkan dibanding angkutan konvensional selama ini membuatnya memilih angkutan online.

"Di samping itu, biayanya lebih murah. Jika angkutan konvensional mematok ongkos Rp 21 ribu, angkutan online hanya Rp 11 ribu. Meski murah, pelayanannya kan memuaskan dan tidak murahan," Hadi menegaskan.

Meski demikian, Hadi menyadari ada keburukan tersendiri dari transportasi online. Misalnya, tidak ada jaminan kalau terjadi insiden di jalanan, beda halnya dengan angkutan konvensional.

"Bedanya angkutan konvensional punya Jasa Raharja, kalau online belum ada kayaknya," sebut Hadi.

Perlu Terobosan Angkutan Konvensional

Kisruh transportasi online
Perseteruan ojek online dan sopir taksi konvensional di Pekanbaru, Riau, berujung ricuh. (Liputan6.com/M Syukur)

Terkait bentrokan awak transportasi online dan angkutan umum konvensional, Hadi meminta keduanya menahan diri, sehingga tidak meresahkan masyarakat. Warga Pekanbaru ini meminta angkutan konvensional menggelar terobosan-terobosan, sehingga memudahkan masyarakat.

"Lakukanlah terobosan, misalnya soal kemudahan mendapatkan layanan. Kalau seandainya ada perubahan, tentu tidak semua orang akan beralih ke angkutan online ini," kata Hadi.

Warga lainnya, Linda Novia juga menganggap adanya kemudahan dengan kehadiran angkutan online ini. Ibu dua anak yang juga wanita karier ini selalu menjadi langganan transportasi online, terutama ketika sang suami tidak bisa menjemput di tempatnya bekerja.

"Ketika suami tidak bisa jemput, saya pesan GoJek. Beberapa menit dipesan langsung datang, biayanya juga murah dibanding angkutan konvensional," tutur Linda.

Hanya saja, tanggapan tersebut mendapat penilaian berbeda dari Pelaksana tugas (Plt) Organda Kota Pekanbaru, Agus Sikumbang. Dia mengatakan, komentar terkait kemudahan dan kemurahan ongkos itu merupakan hal yang ngawur.

"Enggak ada itu, ngawur itu. Saya kalau disuruh mengantarkan makan siang juga bisa," ucap Agus di Gedung DPRD Kota Pekanbaru.

Menurut dia, persoalan angkutan online di Pekanbaru, terkait izin operasional. Dia menyebutkan, angkutan online sejak beroperasi di Pekanbaru, tidak pernah mendapat izin dari Pemerintah Kota Pekanbaru.

Sementara, salah satu sopir taksi konvensional, Jhoni, menyebut bahwa kehadiran transportasi online sangat mempengaruhi pendapatannya. Beberapa bulan belakangan, pria 51 tahun itu menyebut‎ pemasukan menurun drastis hingga 50 persen.

"Penumpang beralih dari angkutan konvensional kepada angkutan online karena tarifnya sesuka hati," ujar Jhoni.

Sopir taksi konvensional itu mencontohkan, ongkos menuju bandara. "Biasanya kami pasang tarif Rp 20 ribu, sedangkan mereka (pengemudi transportasi online) hanya Rp 10 ribu. Kan jauh sekali bedanya, dan ini tidak ada pajak," kata Jhoni.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya