Cerita Sedih Anak Korban Bom Bali, Tabungannya Ditilep Orang

Saat ibunya menjadi korban bom Bali pertama, ia masih berumur tiga tahun.

oleh Dewi Divianta diperbarui 13 Okt 2017, 03:00 WIB
Diterbitkan 13 Okt 2017, 03:00 WIB
Korban Bom Bali
Ni Nyoman Resi, ibu mertua dari korban bom Bali pertama. Foto: (Dewi Divianta/Liputan6.com)

Liputan6.com, Bali - Putu Purnama Putra (18) berperawakan tinggi, putih dan menawan. Sekilas tidak ada yang spesial dari anak kelahiran 3 Maret 1999 itu, sebelum mengetahui kisah haru tentang kehidupannya yang sejak umur 3 tahun harus kehilangan sosok ibunya.

Dia terpaksa kehilangan ibu kandungnya yang bernama Kadek Alit Margarini pada 12 Oktober 2002. Ya, ibu kandung Putu adalah korban bom Bali pertama. Kadek Alit Margini pada saat peristiwa bom yang memakan korban jiwa sebanyak 202 itu sedang melakukan tugas malam sebagai cleaning service.

Saat Liputan6.com menyambangi kediaman Putu di Jalan Hayam Wuruk Gang 4 Nomor 8 Banjar Kelandis, Denpasar, masih terpampang foto ibu dan ayahnya yang terpajang dalam bingkai kusam. Rumah tersebut juga rumah tinggal ibunya sebelum akhirnya pulang sudah dalam bentuk abu.

Ni Nyoman Resi, ibu mertua dari korban Kadek Margarini yang tak lain nenek dari Putu menyampaikan kabar kurang sedap karena sang cucu ternyata putus sekolah. Dan sejak saat itu tidak ada biaya lagi untuk sang cucu selain dari menjual canang (perlengkapan ibadah umat Hindu) di Pasar Kreneng.

"Pergaulan sama temannya. Ada temannya berhenti dia ikut-ikutan. Sejak saat itu Putu sudah tidak dapat bantuan biaya pendidikan lagi," kata Nyoman Resi di kediamannya, Kamis 12 Oktober 2017.

Foto korban bom Bali pertama. Foto: (Dewi Divianta/Liputan6.com)

Padahal, menurut Nyoman Resi cita-cita sang cucu menjadi dokter begitu tinggi. Pergaulan dengan rekannya di luar rumah ternyata menjadi bumerang sang cucu. Walau sempat kecewa namun sang nenek tetap menunjukkan kasih sayangnya. Bahkan, ketika Putu minta dibelikan sepeda motor, dengan tabungan yang dimiliknya, sebuah motor akhirnya terparkir di halaman rumahnya untuk sang cucu.

"Dulu Putu ingin sekali menjadi dokter, semangat sekolahnya. Tapi tiba-tiba dapat surat dari sekolahnya kalau Putu sudah tidak pernah sekolah dan menyatakan keluar. Ya, mau gimana lagi. Anaknya sudah tidak mau sekolah masa saya larang. Abis itu minta sepeda motor, saya belikan dari uang tabungan saya dan dari pemberian orang-orang," ujar dia.

Kesedihan Nyoman Resi semakin bertambah saat uang tabungan yang disimpannya di koperasi hilang tanpa kejelasan. Nyoman Resi menabung di koperasi yang dibentuk bersama-sama keluarga korban bom Bali. Tetapi, sudah hampir 5 tahun tidak ada kabar tentang tabungan itu.

"Dulu ada koperasi saya lupa nama dan tempatnya. Koperasi itu dibuat dari uang para donatur. Dari sana ada pembagian bersama dan dibagikan dalam bentuk tabungan. Seharusnya sudah banyak. Seingat saya sekitar Rp 5-6 juta. Tapi ya sudah, tidak apa-apa. Yang penting saya masih bisa buat canang saya bisa menafkahi cucu saya," ucap dia.

Sementara itu, adik ipar Kadek Alit Margarini, Ni Komang Arik Widiani bercerita jika keponakannya tersebut mempunyai keahlian di bidang Information Technologi (IT). Anak korban bom Bali itu, sangat mengerti jika diminta memperbaiki handphone teman-temannya yang rusak.

"Putu kalau di rumah itu pendiam. Biasanya dia main handphone dan main saja sama keponakan-keponakannya. Dia juga sering otak-atik handphone temannya yang rusak. Nanti sama Putu di perbaiki. Dia jago banget kalau disuruh otak-atik handphone atau komputer," ujarnya.

Dia juga sangat menyayangkan keputusan keponakannya yang meninggalkan bangku sekolah. Namun, dirinya juga tidak lepas tangan atas nasib keponakannya tersebut. Arik Widiani sering memberikan uang dan memberikan pekerjaan agar Putu bisa mendapatkan uang.

"Suami saya biasanya bersihin, pasang, dan jual beli AC. Putu sering saya suruh ikut suami saya biar dia dapat uang untuk kebutuhannya sendiri. Apalagi dia udah dewasa pasti ada yang ingin dibelinya pakai uang sendiri," tuturnya.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya