Liputan6.com, Guantanamo - Hambali alias Riduan Isamuddin adalah nama lama di daftar teroris yang beraksi di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Ia diyakini sebagai otak Bom Bali dan aksi teror lain.
Ia juga merancang sejumlah aksi teror di negeri jiran --Â meledakan Jembatan Johor di Malaysia dan menebar teror di Bandara Changi, Singapura dengan plot serupa dengan pengeboman menara kembar World Trade Centre 11 September 2001 -- membajak pesawat dan menabrakannya ke area bandara.
Baca Juga
Terlahir sebagai Encep Nurjaman di Desa Sukamanah, Cianjur, Jawa Barat pada 4 April 1966, Hambali diyakini sebagai pimpinan organisasi bayangan kelompok Jamaah Islamiyah (JI) Asia Tenggara.
Advertisement
Oleh CIA ia bahkan dijuluki 'Osama bin Laden Asia Tenggara'.
Pelarian Hambali berakhir pada 11 Agustus 2003, saat ia dan istrinya ditangkap di Ayutthaya, Thailand.Â
Hambali kemudian dibawa ke jaringan penjara rahasia CIA, di mana ia diinterogasi selama 3,5 tahun, sebelum dikirim ke Penjara Teluk Guantanamo pada 2006. Gembong teroris itu ditahan tanpa dakwaan.Â
Belakangan, nama Hambali kembali jadi pemberitaan. Jaksa militer AS akhirnya mendakwa Hambali dengan dua kasus terorisme mematikan di Indonesia.
Langkah itu bisa saja menjadi kasus tribunal pertama pada era pemerintahan Donald Trump.
Hambali didakwa sebagai dalang Bom Bali 2002 yang menewaskan 202 orang, termasuk 7 warga Amerika Serikat dan pemboman Hotel Marriott di Jakarta pada 2003 yang menewaskan 11 orang dan melukai 140 lainnya.
Pada malam terjadinya Bom Bali, Hambali dilaporkan memberikan instruksi pada anteknya dari sebuah kamar hotel di Kamboja. Namun, belakangan, ia diduga "tak mengira orang sebanyak itu tewas" dan bahwa ia "terkejut dengan dampaknya".
Seperti dikutip dari ABC Australia, Senin (3/7/2017), dalam surat dakwaan juga menyebut sejumlah plot serangan teroris di Australia, Singapura, Indonesia, Filipina, dan Thailand.
Dengan dakwaan tersebut, Hambali bisa saja dituntut mati.
Reporter Miami Herald, Carol Rosenberg, yang menguak pemidanaan kembali Hambali mengabarkan, para pejabat Pentagon mempertimbangkan apakah kasus tersebut akan berakhir pada tuntutan mati.
Namun, seorang pembela militer AS, Brigadir Jenderal Korps Marinir John Baker mengatakan, jaksa penuntut perang AS tidak berusaha menjatuhkan tuntutan tersebut pada Hambali.
Baker mengatakan, dirinya akan mengajukan permintaan tambahan sumber daya untuk "secara efektif mewakili" Hambali, namun keputusan untuk tidak mengusahakan penerapan hukuman mati berarti dia tidak perlu mencari pengacara hukuman mati yang berpengalaman. Pengacara semacam itu biasanya adalah warga sipil.
Juru bicara Departemen Pertahanan AS menolak berkomentar karena dakwaan tersebut belum diteruskan ke pihak yang berwenang.
Pemidanaan Hambali disambut baik Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop. Negeri Kanguru, kata Bu Menlu, bersedia memberi bantuan pada jaksa AS.
"Mereka yang bertanggung jawab atas kematian 202 orang, termasuk 88 warga Australia harus diadili, dijatuhi hukuman terberat, dan tak boleh dibiarkan bebas," kata dia.