Normalisasi Sungai, Pendukungnya Malah Terusir

Warga Tambakrejo mendukung adanya normalisasi Banjir Kanal Timur Semarang, ironisnya mereka akhirnya malah terusir dan kehilangan sumber pendapatan sebagai nelayan.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 26 Feb 2018, 21:00 WIB
Diterbitkan 26 Feb 2018, 21:00 WIB
rusunawa bkt
Kampung nelayan selalu berdekatan dengan laut. (foto: Liputan6.com / edhie)

Liputan6.com, Semarang - Rencana normalisasi Sungai Banjir Kanal Timur (BKT) dipastikan akan mengusir 148 KK di Dusun Tambakrejo RT 5/RW 16 Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang. Warga yang terusir ini adalah warga asli yang membuka tambak ikan dan udang sejak 1973.

Menurut Nico Wauran, dari LBH Semarang, pihaknya mendampingi warga yang pasti terusir itu karena diminta. Prinsipnya, warga tidak menolak normalisasi Sungai Banjir Kanal Timur.

"Tiba-tiba ada sosialisasi dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali-Juana dan Pemkot Semarang, Senin (22/01/2018). Disampaikan bahwa Banjir Kanal Timur akan dinormalisasi, dan 148 KK yang tinggal di sepanjang aliran sungai diminta menempati Rusunawa Kudu tanpa ganti rugi apapun," kata Nico, Senin (26/2/2018).

Sosialisasi itu diperkuat oleh Camat Semarang Utara, Aniceto Magno da Silva. Aniceto menyampaikan bahwa maksimal tanggal 5 Maret 2018, seluruh bangunan milik warga akan dibongkar.

Menurut Aniceto, status tanah warga ada di bantaran sungai. Sehingga ketika ada normalisasi, bangunan harus dibongkar. Solusi paling realistis adalah pemindahan ke Rusun. Pemberian ganti rugi atau ganti untung atau apapun namanya harus ada dasar hukumnya.

"Itu kan bukan tanah pribadi tapi bantaran sungai jadi kita hanya bisa berikan relokasi ke rumah susun. Jika kita beri ganti rugi atau ganti untung malah bisa beresiko hukum karena tidak ada dasar hukumnya," kata Aniceto.

Saat ini sudah surat peringatan ketiga sudah dilayangkan. Dari sekitar 148 kepala keluarga, baru separuh kurang yang siap pindah ke Rusunawa.

"Kita beri waktu sampai 5 Maret. Jika warga tidak membongkar sendiri rumahnya maka Satpol yang akan bertindak," kata Aniceto.

Meski surat sudah dilayangkan, namun warga belum merasa diajak dialog. Warga Tambakrejo menyebut bahwa sebagai warga negara, posisinya sebagai elemen negara adalah sama. Pemerintah tak bisa asal perintah tanpa berembug.

"Tak ada diskusi dan dialog untuk mendengarkan suara warga. Warga tak tahu ada rencana normalisasi sungai. Namun warga mendukung," kata Nico.

 

Kebijakan Tanpa Keterbukaan?

rusunawa bkt
Warga memasang spanduk yang menolak di relokasi ke Rusunawa karena jauh dari laut, meskipun mereka menyetujui adanya normalisasi Banjir Kanal timur Semarang. (foto : Liputan6.com / edhie)

Aniceto menyebut Pemkot Semarang masih berbaik hati dengan menggratiskan biaya sewa Rusunawa selama satu tahun.

Kampung Tambakrejo sendiri mulai dibangun warga sejak tahun 1989. Saat itu karena warga yang memiliki tambak menginginkan agar lebih dekat ke tambak milik mereka.

Marzuki, salah satu warga menyebutkan bahwa perkampungan itu muncul tak bisa dipisahkan dengan adanya tambak. Sehingga dengan mengusir warga, bukan hanya merobohkan bangunannya saja, namun juga akan mematikan mata pencaharian mereka.

"Tahun 1973 ada tambak. Terus sedimentasi sungai yang tinggi, menjadikan bisa untuk mendirikan bangunan. Masalahnya bukan kami menolak normalisasi, kami setuju normalisasi. Tapi mbok ya diajak rembugan," kata Marzuki.

Hal yang sama disampaikan Rahmadi, warga setempat. Menurut Rahmadi, sikap pemerintah kota Semarang tidak memberikan ganti rugi terhadap bangunan itu juga bentuk kesewenangan atas nama hukum.

"Bangunan itu kami bangun dan jadi aset kami. Ini sudah puluhan tahun. Lagipula, nelayan kok tinggalnya jauh dari tambak, dari laut. Pindah itu bukan solusi. Solusi itu berembug. Pindah itu pemaksaan," kata Rahmadi.

Baik Rahmadi maupun Marzuki menyebutkan bahwa yang dimaksud ganti rugi adalah beaya untuk membangun dahulu yang tak sedikit. Jika tak ada penggantian, itu sama saja dengan penggusuran.

Karena dinamika warga dan sempitnya waktu, LBH Semarang, Pattiro Semarang menilai bahwa negara abai terhadap hak warga. Utamanya dalam pengambilan keputusan yang tanpa melibatkan warga.Selain itu, BBWS Pamali juana dan Pemkot Semarang juga tidak transparan.

Hasil uji akses dokumen kontrak pembangunan dan Dokumen Pelaksana anggaran (DPA) 14 hari akses tidak diberikan sebagaimana dijamin UU Informasi Publik.

Dia mengatakan ini membuktikan bahwa BBWS Pemali Juana dan Pemkot Semarang tidak transparan. Tuntutan yang utama adalah memberi ganti rugi sebagai bentuk kehadiran negara dalam masalah warga. Salah satunya relokasi ke lokasi yang dekat dengan laut dan bukan Rusunawa.

"Selain itu, kami minta ada musyawarah untuk pembongkaran. Jangan membongkar bangunan, memutus aliran listrik, jembatan, dan akses jalan ke Tambakrejo sebelum tuntutan tersebut dipenuhi," kata Nico.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya