Kesaksian Aktivis Betawi Alami 3 Kali Tsunami Saat Gempa Palu

Imbong hadir mewakili Lembaga Kebudayaan Betawi dalam acara Workshop Best Practice Penguatan Peran Tokoh Informal dan Lembaga Adat Nusantara yang disatukan dalam rangkaian Festival Palu Nomoni.

oleh Fadjriah Nurdiarsih diperbarui 01 Okt 2018, 13:00 WIB
Diterbitkan 01 Okt 2018, 13:00 WIB
Kondisi pantai di dekat Swiss Bel Hotel Silae usai Gempa Palu
Kondisi pantai di dekat Swiss Bel Hotel Silae usai Gempa Palu (foto: Imron Hasbullah)

Liputan6.com, Jakarta Mengalami tiga kali tsunami dan puluhan guncangan gempa tentu tak pernah terbayangkan sebelumnya bagi Imron Hasbullah alias Imbong (46). Ia berkunjung ke Palu pada Jumat pagi dengan penerbangan pertama Jakarta-Makassar-Palu untuk menghadiri Festival Pesona Palu Nomoni yang direncanakan berlangsung pada Jumat (28/09/2018) hingga Senin (1/10/2018).

Imbong hadir mewakili Lembaga Kebudayaan Betawi dalam acara Workshop Best Practice Penguatan Peran Tokoh Informal dan Lembaga Adat Nusantara yang disatukan dalam rangkaian Festival Pesona Palu Nomoni. Undangan diterimanya dari Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

“Pesertanya seluruh raja-raja adat se-Nusantara. Namun, karena itu workshop, maka saya mengajukan diri berangkat,” ujarnya membuka cerita pada Minggu (30/09/2018).

Imbong dan kawan-kawan ditempatkan di Swiss Bel Hotel Silae, Palu. Ia mengaku, sore hari saat makan di restoran yang di pinggir pantai, ia mengamati bahwa ombak di pantai sangat cepat durasinya, bahkan pohon nyiur itu sampai bergoyang karena kencangnya angin.

“Namun, waktu itu saya masih tak berpikir apa-apa walau siang harinya sempat terasa gempa di kamar hotel, dan teman sekamar saya, Putra Diansyah dari Lembaga Tatar Sunda, sempat bergurau, ‘asal jangan tsunami aja, Bang,’” katanya.

Imbong mengatakan saat itu dia mendapatkan kamar 201 di lantai 2 Swiss Bel Hotel yang menghadap ke parkiran. Saat Magrib tiba, dia segera salat Magrib karena setelahnya, sekitar pukul 20.00 Wita, akan ada pembukaan acara di Pantai Talise. Ia menyebut acara itu merupakan skala besar karena akan dihadiri Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palu, termasuk Mendikbud Muhajir Effendy, Agum Gumelar, dan Muhaimin Iskandar.

“Karena saya masih punya wudu, saya langsung jamak ke Isya. Namun saat sujud kedua, terasa gempa lagi. Teman saya panik. Saya langsung batalkan salat dan melihat melalui jendela ada air sudah masuk ke parkiran. Malah waktu itu ada orang di parkiran dan dia langsung kegulung ombak,” katanya.

Setelahnya Imbong langsung memakai sepatu, mengambil Hp yang sedang diisi daya, dan botol air mineral, langsung berlari mencari tangga ke lantai atas. Ia memperkirakan tsunami yang lebih besar akan segera datang. Saat di lantai 5, dia menghitung kira-kira ada 15 orang yang ikut bersamanya. Di lantai 5 inilah melalui kaca ia melihat tsunami yang kedua.

Langkahnya terhenti karena ia sulit mencari jalur evakuasi ke lantai selanjutnya. Setelah itu tsunami ketiga datang. Mereka langsung berjongkok dan saat itu orang-orang sangat panik, sampai ada yang berselawat, bernyanyi atau malah berteriak. Melalui ujung kaca, ia memperkirakan tsunami setinggi 6 meter menerjang hotel. Namun anehnya, tsunami yang datang itu pecah dan menuju ke parkiran, sehingga tidak meluluhlantakkan hotel.

Setelah tsunami ketiga, digerakkan oleh intuisi bahwa air laut surut, Imbong dan teman-temannya segera keluar hotel. Di lantai satu, keadaan sudah berantakan, dan sulit menemukan jalan keluar. Situasi gelap gulita dan penerangan hanya mengandalkan lampu handphone. Dia lantas memecahkan kaca dengan tatakan vas hingga tangannya terluka.

"Setelah itu kami lari ke arah pegunungan, sampai akhirnya di ketinggian yang kami rasa aman. Kira-kira jam sembilan malam, saya ditampung di halaman rumah mantan camat. Di situ saya terpisah dengan teman saya, Putra," dia mengisahkan.

 

 

 

Pengalaman Menggetarkan Menyelamatkan Diri

Swiss Bel Hotel Silae
Kondisi Swiss Bel Hotel usai tsunami (foto: Imron Hasbullah)

Kedatangan para pengungsi membuat warga mengulurkan tangan. Di sinilah ia mendapatkan pengobatan atas lukanya, memperoleh air, hingga terpal untuk berlindung. “Pak mantan camat itu punya genset sendiri, jadi kami bisa mendapat cukup penerangan. Dan meski tanah sudah retak-retak, tapi rumah si mantan camat ini masih tegak berdiri,” ujarnya.

Malam itu juga dia melihat ada ufuk merah di langit, tanda ada kebakaran. Selain itu, ada warga yang mengabarkan bahwa ada perumahan yang ambles ke dalam tanah. Malam itu juga gempa susulan masih terus terjadi.

Pagi tiba, Imbong dan beberapa orang memutuskan melihat kondisi hotel. Kira-kira pukul 06.00 Wita, mereka pergi ke hotel. Meski lantai satu porak-poranda, tapi lantai dua dan setelahnya cenderung tak terlalu banyak kerusakan. Ajaibnya, barang-barangnya juga masih utuh, termasuk laptop yang dibawanya.

Setelahnya mereka berdiskusi, apalagi panitia tak mempunyai solusi, sehingga masing-masing mengambil langkah mandiri. Sebagian memilih bertahan, sementara sebagian lagi mencari jalan ke bandara. Di tengah itu, hoaks beredar bahwa BMKG menyatakan bakal ada tsunami susulan sekitar pukul 12.00-15.00 Wita. Saat itu pukul 10.30 Wita, sehingga keputusan harus cepat diambil. Pukul 11.00, setelah mendapatkan mobil pick-up, mereka bergegas menujur Bandara Mutiara Sis Al Jufri.

“Saat itu bensin mobil hanya cukup untuk satu kali perjalanan, tak bisa bolak-balik. Sehingga yang ikut ya ikut dan yang tidak mau ya tidak dipaksa,” katanya.

Perjalanan ke bandara disebutkan sangat mendebarkan karena jalanan rusak parah dan berlubang. Mereka akhirnya menemukan jalur lain dan sampai di bandara pukul 13.00 Wita. “Ternyata isu tsunami itu tak terbukti, padahal kami waswas sepanjang perjalanan. Untung saya orang Betawi, jadi bisa bercanda,” ia menjelaskan sambil tertawa.

Bandara rupanya tutup karena runway rusak sebagian, jadi tak ada pesawat. Mereka pun menunggu di dekat musala, hingga akhirnya pesawat Hercules datang sekitar pukul 14.00 Wita. Namun, Imbong dan kawan-kawan tak menumpang pesawat pertama karena itu pesawat yang dikhususkan menjemput orang Kementerian. Beruntung, saat sedang tiduran, dia mendengar petugas pesawat Hercules setelahnya berteriak memanggil penumpang. “’Masih bisa sepuluh lagi, begitu yang saya dengar,’” dia berkisah.

“Itu benar-benar seperti naik bis. Saya berdiri dan penumpang terus dimasukkan ke dalam, setelah saya masuk diutamakan perempuan dan anak-anak. Ketika terbang pun panas dan pengap sekali sampai saya takut kehabisan nafas karena saya ada phobia di tempat sempit. Waktu itu saya benar-benar sudah pasrah, lillahi taala,” katanya.

Beruntung, dia selamat sampai di Makassar. Setelahnya ia didata dan mencari penerbangan ke Jakarta. Ia pun tiba di Jakarta pada Sabtu (29/09/18) malam.

 

Pengalaman Tak Terlupakan

Peserta Festival Palu Nomoni
Imbong Hasbullah (kanan) selamat setelah mengalami 3 kali tsunami di Palu (koleksi istimewa).

Imbong menyebut pengalaman itu tak terlupakan. Meski selamat, ia mengaku menyayangkan penanganan pemerintah daerah yang tergolong lambat. Meski hotelnya di pinggir pantai, tak satu pun alat peringatan dini tsunami yang terpasang, padahal itu berkaitan dengan nyawa ribuan orang.

“Alat peringatan tak ada, SOP tak jelas, bahkan petugas kelurahan dan polisi dalam jangka waktu enam jam setelah gempa juga sulit dicari,” keluhnya.

Hal itulah yang mengakibatkan situasi chaos, termasuk saat Jumat malam sudah ada rencana "menjarah" toko karena petugas di toko meminta warga korban gempa tetap membayar. Selain itu, sebagai tamu, dia tak tahu ke mana harus berlindung setelah gempa. Insting hanya menuntunnya mencari tempat lapang yang tak ada pohon.

Dihubungi terpisah, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan fakta mengejutkan di balik bencana gempa bumi dan tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah. Rupanya, alat deteksi dini tsunami atau Buoy Tsunami di Indonesia sudah tidak bisa dioperasikan sejak 2012.

"Jadi enggak ada Buoy Tsunami di Indonesia, sejak 2012 Buoy Tsunami sudah tidak ada yang beroperasi sampai sekarang, ya tidak ada," ujar Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo Purwo Nugroho di kantornya, Jakarta, Minggu (30/9/2018).

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya