Miris, Banyak Warga Petobo Alih Profesi Jadi Pemulung

Pascabencana gempa bumi yang disertai likuefaksi, banyak warga Kelurahan Petobo, Kota Palu, Sulawesi Tengah, kehilangan pekerjaan.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Nov 2018, 12:00 WIB
Diterbitkan 07 Nov 2018, 12:00 WIB
Mencari yang tersisa dari gempa Palu
Warga memeriksa puing-puing di mana rumah mereka berdiri sebelum gempa dan tsunami di Petobo, Palu, Kamis (4/10). Wilayah Kelurahan Petobo di Palu menjadi salah satu daerah yang terkena dampak parah karena 'ditelan bumi'. (AFP/ ADEK BERRY)

Liputan6.com, Palu - Pasca-bencana gempa bumi yang disertai likuefaksi, banyak warga Kelurahan Petobo, Kota Palu, Sulawesi Tengah, kehilangan pekerjaan.

"Tidak sedikit harta benda hilang akibat bencana ini. Banyak yang jadi pengangguran termasuk saya," kata Rudi, salah seorang warga setempat yang sebelumnya bekerja sebagai penjaga gudang kakao di Petobo, seperti dikutip Antara, Rabu (7/11/2018).

Fatmawati, warga Petobo lainnya, yang dahulu berdagang kios barang campuran mengatakan, dirinya tak lagi punya modal untuk membangun usahanya karena harta bendanya habis diterjang lumpur.

"Saya tidak bisa berbuat banyak. Saya hanya bisa bersabar, kondisi kami tinggal di tenda pengungsian sambil menunggu hunian tetap dari pemerintah," tutur Fatmawati.

Gempa bumi bermagnitudo 7,4 yang mengguncang Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala mengakibatkan tsunami dan likuefaksi bukan hanya menghancurkan harta benda, melainkan juga menelan lebih dari 2.000 jiwa serta memaksa puluhan ribu warga mengungsi.

Akibat bencana mahadahsyat itu, sebagian warga Petobo beralih profesi memungut puing-puing bangunan yang masih bernilai ekonomis untuk kemudian dijual dan hasilnya digunakan untuk bertahan hidup.

Hal tersebut dibenarkan Abdul Naim, Ketua RT 1 RW 5 Kelurahan Petobo. Dirinya mengakui, banyak warga terpaksa mengambil barang-barang bekas di bawah reruntuhan bangunan, besi-besi bangunan bahkan atap seng yang sudah berserakan di tanah untuk dijual.

"Seng dijual dengan harga Rp 15 ribu hingga Rp 25 libu per lembar," kata Abdul Naim.

Kini aktivitas warga di tenda pengungsian sangat terbatas. Mereka sehari-harinya saling membahu membangun tempat tinggal mereka yang bersifat sementara, meskipun pemerintah saat ini sedang membangun huntara untuk para pengungsi.

Dengan bahan material seadanya sebagian warga sudah mendirikan tempat tinggal mereka untuk jangka pendek menunggu kepastian pembangunan hunian tetap dari pemerintah.

"Kami butuh hunian, sebab lokasi pengungsian ini gersang sehingga jika siang hari hawanya sangat panas, belum lagi sumber air bersih tidak ada," ungkap Naim menambahkan.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya