Liputan6.com, Serang - Vihara Avalokitesvara, di Kelurahan Pabean, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Banten, menggelar perayaan Imlek 2570 dengan sederhana.
Di wihara yang berdekatan dengan Masjid Agung Kesultanan Banten dan Masjid Pecinan itu masyarakat Tionghoa berharap pada tahun babi tanah, Pilpres 2019 berjalan dengan aman dan lancar.
"Harapannya di tahun ini, kita damai semua, pilpres damai," kata Daliah, saat ditemui usai beribadah di Wihara Avalokitesvara, Kota Serang, Banten, Selasa (5/2/2019).
Advertisement
Baca Juga
Warga Jakarta Barat ini tak lupa melepas 58 burung emprit, sebagai simbol kebebasan dari malapetaka. "Kebebasan, berderma intinya. Jumlah burung yang dilepas sesuai umur, tapi ada juga yang melepas delapan, ada juga yang 10," terangnya.
Wihara ini dibangun hampir bersamaan dengan Masjid Agung Kesultanan Banten itu. Di dalamnya, terdapat beduk yang merupakan simbol Islam dan neng-neng yang menjadi simbol agama Buddha. Biasanya, pada perayaan Imlek, beduk ditabuh 108 kali, sementara neng-neng ditabuh tiga kali.
Keduanya sudah berusia ratusan tahun di Vihara Avalokitesvara. Ornamen ini menjadi simbol toleransi antaragama dan etnis.
"Nyambut Imlek saja, itu sudah tradisi. Kalau beduk (ditabuh) 108, neng-neng (ditabuh) tiga kali. Neng-neng sudah tua, kayaknya ada 100 tahun," kata Tek An, pemukul beduk dan neng-neng, saat ditemui di Bukhara Avalokitesvara, Kota Serang, Senin malam (4/2/2019).
Sejarah Kependudukan Warga Tionghoa di Banten
Berdasarkan informasi yang dihimpun Liputan6.com, Wihara Avalokitesvara, awalnya berdiri tahun 1759 dan berlokasi di Loji Belanda. Lalu pada tahun 1725, pindah ke selatan menara Masjid Pecinan Tinggi. Hingga akhirnya pada 1774 Masehi menempati lahan di Kampung Pamarican, Desa Pabean, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, hingga saat ini, yang jaraknya sangat dekat dengan Masjid Agung Kesultanan Banten.
Banten yang saat itu sebuah kesultanan besar dengan Pelabuhan Karangantu yang mendunia, membuat seorang putri bernama Ong Tin Nio bersama Anak Buah Kapal (ABK), dalam perjalanan dari China menuju Surabaya, memutuskan bermalam di Pamarican. Daerah itu merupakan penghasil merica.
Putri Ong pun merasa betah tinggal di Banten dan mendirikan wihara yang awalnya berada di bekas kantor bea (douane). Namun, kehadirannya oleh masyarakat sekitar dianggap dapat merusak akidah dan kebudayaan mereka.
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah pun menegur keras masyarakat Banten dan memediasi antara kedua belah pihak. Sunan Gunung Jati menjelaskan tidak ada paksaan untuk memeluk agama dalam Islam.
Setelah masalah dapat diselesaikan, Sunan Gunung Jati menawarkan kepada sang putri dan pengikutnya untuk memeluk Islam tanpa adanya paksaan. Hingga akhirnya, sang putri yang cantik jelita beserta pengikutnya menjadi mualaf.
Kedatangan masyarakat Tiongkok ke Banten memiliki banyak versi. Ada yang menyebutkan, masyarakat Tionghoa datang ke Kesultanan Banten sekitar abad 17 masehi dengan bukti banyak ditemukan perahu China yang berlabuh di Banten dengan tujuan berdagang dan barter dengan lada pada abad itu.
Berdasarkan catatan sejarah dari JP Coen, banyak perahu China yang membawa dagangan senilai 300 ribu real. Di mana, dalam kelanjutannya, masyarakat China tak hanya berdagang, tapi bermukim di Banten dengan jumlah lebih dari 1.300 kepala keluarga (KK).
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement