Liputan6.com, Jakarta - Rencana yang disampaikan Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni tentang membuka jutaan hektare hutan untuk lahan pangan dan energi tidak hanya dikritik sejumlah aktivis lingkungan lokal, tetapi juga disorot media Jepang. Japan Today menurunkan laporan tentang hal itu dengan judul 'Activists slam 'destructive' Indonesia forest conversion plan' pada Minggu (2/2/2024).
Media tersebut mengambil sudut pandang dari para aktivitas lingkungan. Koalisi Transisi Bersih dalam sebuah pernyataan menyatakan bahwa rencana pembukaan hutan seluas hampir dua kali ukuran Pulau Jawa itu bertentangan dengan tujuan ketahanan pangan dan energi yang dicanangkan pemerintah Presiden Prabowo Subianto.
Advertisement
Baca Juga
Aktivis menilai usulan Raja Juli telah menimbulkan kekhawatiran akan lebih banyak areal hutan yang ditebang untuk membuka jalan bagi perkebunan kelapa sawit sebagai komoditas ekspor utama Indonesia sekaligus pendorong utama deforestasi di Nusantara.
Advertisement
"Rencana untuk membuka 20 juta hektare lahan secara signifikan meningkatkan risiko perluasan perkebunan kelapa sawit," kata direktur eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo, mengutip AFP. Penelitian LSM lingkungan Satya Bumi menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit yang eksis telah mencapai 17,77 juta hektare di seluruh Indonesia.
Kementerian Kehutanan dan juru bicara kepresidenan tidak segera menanggapi permintaan komentar AFP. Namun, Menhut sebelumnya membantah usulannya akan menyebabkan deforestasi. Ia berdalih usulannya itu bukanlah untuk membuka jalan penebangan hutan tetapi memaksimalkan fungsinya melalui sistem agroforestri.
Â
Klaim Menhut Raja Juli soal Pembukaan Lahan Hutan
Menhut Raja Juli menyebutkan bahwa target utama lahan yang dikonversi untuk pemenuhan pangan dan energi bukanlah hutan perawan, melainkan lahan konsesi. Meski begitu, para ahli lingkungan memperingatkan bahwa bahkan konversi massal lahan pertanian untuk tanaman ekspor akan merugikan.
"Alih-alih menebang hutan, pemerintah harus fokus pada optimalisasi lahan pertanian yang ada, menghormati hak-hak masyarakat adat, dan menerapkan reformasi agraria yang sebenarnya," kata koalisi tersebut.
Para aktivis juga menilai bahwa rencana Indonesia untuk mengonversi 20 juta hektare hutan sebagai lahan pangan dan energi tidak logis secara lingkungan dan merusak, serta berisiko menyebabkan kerugian lingkungan dan keanekaragaman hayati yang tidak dapat diperbaiki.
Sebelumnya, Raja Juli menyatakan bahwa pemerintah telah mengidentifikasi 1,1 juta hektare lahan yang dapat menghasilkan hingga 3,5 juta ton beras per tahun, setara dengan total impor beras Indonesia pada 2023. Pemerintah juga berencana untuk menanam pohon kelapa sawit sebagai sumber bioetanol. Presiden Prabowo Subianto telah berjanji untuk meningkatkan swasembada pangan dan energi di negara tersebut, termasuk dengan memperluas bahan bakar berbasis bio untuk mengurangi impor bahan bakar.
Advertisement
Kepentingan Jepang atas Hutan Indonesia
Mengutip rilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 12 November 2024, Jepang memiliki kepentingan besar atas keberadaan hutan Indonesia, begitu pula sebaliknya, karena kedua negara sepakat memulai penerapan Mutual Recognition Arrangement (MRA) terkait pelaksanaan kerja sama perdagangan karbon bilateral antarkedua negara.
Kesepakatan MRA itu menjadi model kerja sama bilateral antar negara pertama di dunia dalam kerangka Perjanjian Paris, khususnya Pasal 6.2.
"Pemerintah Indonesia siap menjalankan kesepakatan yang telah ditandatangani. Saya mewakili Presiden Prabowo menyampaikan komitmen beliau untuk melanjutkan semua pekerjaan yang telah dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya," ujar utusan khusus Presiden Indonesia untuk COP 29 UNFCCC, Hashim S. Djojohadikusumo, di sela kegiatan di Baku, Azerbaijan.
Melalui MRA, Pemerintah Indonesia dan Jepang dapat mengambangkan kolaborasi dan kerja sama menuju net zero emission diantara kedua negara. "Melalui MRA ini, kami ingin memformulasikan dan mengembangkan proyek konkret untuk pengurangan emisi di Indonesia, dan berdasarkan pengalaman tersebut, kedua negara juga bisa berkontribusi untuk pengurangan emisi global," kata Wakil Menteri Urusan Lingkungan Global, Kementerian Lingkungan Hidup Jepang, Matsuzawa.
Kesepakatan MRA Antara Indonesia dan Jepang
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia dan Kementerian Lingkungan Jepang, selaku otoritas penanggungjawab sistem kredit karbon di masing-masing negara, telah menyiapkan Mutual Recognition Arrangement (MRA) tersebut melalui serangkaian dialog dan pembahasan tingkat Menteri, Wakil Menteri dan tim teknis kedua belah pihak yang dilaksanakan sejak Agustus 2024. Â
Penandatanganan dokumen MRA dilaksanakan secara sirkular pada 18 Oktober 2024 oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia dan pada 28 Oktober 2024 oleh Menteri Lingkungan Jepang. Sesuai kesepakatan, MRA mulai berlaku pada 28 Oktober 2024.
MRA dibangun atas prinsip kesetaraan antara sistem kredit karbon Indonesia dan negara mitra. Komponen sistem kredit karbon yang saling diakui oleh kedua negara mencakup metodologi aksi mitigasi, penghitungan pengurangan emisi, sistem pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV) serta sertifikasi kredit karbon.
Di Indonesia, sertifikasi ini dikenal dengan nama Sertifikasi Pengurangan Emisi GRK Indonesia (SPEI). MRA ini memastikan bahwa sistem kredit karbon Indonesia diakui oleh otoritas negara mitra, demi mendukung pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) yang diamanatkan oleh Perjanjian Paris.Â
Advertisement