Liputan6.com, Semarang - Sejarah musik Indonesia sangat panjang. Apalagi jika membedah musik-musik tradisional dan juga lagu-lagu lawas yang berupa kidung, tetembangan, macapat, dan banyak lagi lagu-lagu kearifan lokal yang bertebaran di seluruh pelosok nusantara. Ini adalah ulasan tentang pergeseran makna sebuah kidung lawas, sehingga dari doa bisa berubah menjadi mantra.
"Ana kidung rumekso ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
Advertisement
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
niwah panggawe ala
gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirno"
Baca Juga
Itu adalah kutipan kidung atau tembang Rumeksa Ing Wengi gubahan Raden Mas Said atau Sunan Kalijaga. Berisi doa permohonan kepada Tuhan agar dijauhkan dari segala gangguan dan godaan.
Dalam terjemahan bebas, lagu ini bermakna "Ada lagu yang dikumandangkan tengah malam / Yang menjadikan kuat selamat / terbebas dari semua penyakit / Terbebas dari segala petaka / Jin dan setanpun tidak mau / Segala jenis sihir tidak berani / Apalagi perbuatan jahat / guna-guna tersingkir / Api menjadi air / Pencuripun menjauh dariku / Segala bahaya akan lenyap."
Belakangan lagu Rumeksa Ing Wengi muncul dalam versi berbeda. Ia menjadi musik latar sebuah film horor. Roh lagu yang semula memohon perlindungan Tuhan menjadi seperti mantra pemanggil makhluk halus. Dipastikan itu bukan lagu gubahan Sunan Kalijaga.
Beda Dengan Lingsir Wengi
Lirik yang berubah menjadi sebab. Ada pilihan kata yang menyebutkan bahwa jin menjadi utusan si pelantun tembang. Lagu ini lalu dikenal dengan judul Lingsir Wengi.
Lingsir wengi sliramu tumeking sirno [Menjelang malam, dirimu(bayangmu) mulai sirna]
Ojo Tangi nggonmu guling [Jangan terbangun dari tidurmu]
awas jo ngetoro (Awas, jangan terlihat (memperlihatkan diri)]
aku lagi bang wingo wingo [Aku sedang marah dan gelisah]
jin setan kang tak utusi [Jin setan ku perintahkan]
dadyo sebarang [Jadilah apapun juga]
Wojo lelayu sebet [Namun jangan membawa maut]
Dari pemilihan kata saja sudah sangat jelas berbeda. Lagu ini sering dianggap sebagai mantera memanggil lelembut. Kesalahpahaman ini ternyata meluas.
"Setahu saya, Lingsir Wengi itu lagu pengundang makhluk halus," kata Hendra, mahasiswa Undip saat ditanya Liputan6.com apakah ia mengetahui lagu itu.
Jawaban serupa juga masih banyak. Ini tak bisa dilepaskan karena lagu yang bukan gubahan Sunan Kalijaga itu dijadikan lagu latar sebuah film horor.
Simak video pilihan berikut:
Advertisement
Mengapa Durma?
Belakangan lagu Rumeksa Ing Wengi dengan lirik lagu yang benar digunakan untuk musik latar sebuah film bergenre horor, diproduseri Andy Arsil. Judulnya tak main-main Wengi Anak Mayit.
Mengisahkan seorang istri yang membawa anaknya lari dari sang suami. Dalam pelariannya itu berbagai horor mulai dari jeritan, tangisan, suara-suara, hingga teriakan gaib dieksplorasi.
Kidung Rumeksa Ing Wengi ini merupakan tembang macapat, yakni Durma. Lagu-lagu yang memakai pakem Durma harus mencerminkan suasana yang keras, sangar, suram, kesedihan, bahkan bisa mengungkapkan sesuatu yang mengerikan dalam kehidupan. Oleh sebab itu, lagu Rumeksa Ing Wengi juga dilantunkan dengan lembut, bertempo lambat dan sangat menyayat hati.
Doa ampuh berupa tembang ini biasanya dilantunkan Sunan Kalijaga setelah salat malam. Fungsinya untuk menolak bala atau mencegah perbuatan makhluk gaib yang ingin mengganggu. Film "Wengi Anak Mayit" sukses mengembalikan kidung keramat Sunan Kalijaga ini menjadi doa. Bukan pemanggil makhluk halus.
Kidung Rumeksa Ing Wengi memilih Durma karena menggambarkan periodisasi manusia sedang berada dalam puncak kedigdayaan. Saat itu manusia akan mudah untuk sombong, mudah untuk merasa paling.
Ini berbeda dengan Asmaradana yang menggambarkan manusia sedang memasuki usia belasan tahun dan sedang berkobar api asmara di jiwanya. Durma bernuansa syahdu sehingga mampu mengingatkan manusia yang sedang berada di puncak kekuatannya, akan keterbatasannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan.