Penuh Ketegangan, Penerbangan di Oksibil Tanpa Navigasi dan Pemantau Cuaca

Bunyi pesawat saat itu seperti terus menanjak dengan beban berat, seperti ingin keluar dari gumpalan awan.

oleh Katharina Janur diperbarui 02 Jul 2019, 09:00 WIB
Diterbitkan 02 Jul 2019, 09:00 WIB
Pesawat di Bandara Oksibil
Trigana Air yang setia melayani penerbangan di Bandara Oksibil. (Liputan6.com/Katharina Janur)

Liputan6.com, Jayapura - Margaretha tak bisa lupa dengan kejadian 5 tahun lalu, kala ia terbang dengan pesawat Trigana Air dari Bandara Oksibil, Papua menuju ke Bandara Sentani di Kabupaten Jayapura.

Etha, panggilan gadis manis yang bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemkab Pegunungan Bintang ingat betul, ia naik pesawat Trigana dengan penerbangan jam terakhir. Jam di tangannya menunjukkan waktu hampir pukul 14.30 WIT.

Hatinya memang was-was, ia agak khawatir, apakah pesawat Trigana penerbangan terakhir ini bisa tembus awan tebal yang terlihat menggelayut di luar sana.

"Cuacanya memang cerah, tapi gumpalan awan itu buat saya khawatir. Maklum saja, cuaca di Oksibil cepat berubah, apalagi di atas pukul 12.00 WIT," kata Etha, kepada Liputan6.com.

Sebelum pesawat lepas landas, Etha sempat bicara dengan sang pilot yang kebetulan sedang berada di luar pesawat. "Saya hanya tanya, ini bisa naik kah? Pilot hanya lihat ke atas awan dan sambil menunjuk, itu ada celah, terang di atas," kata Etha sambil menirukan ucapan sang pilot yakin.

Dengan keyakinan sang pilot, Etha pun yakin pesawat bisa tembus gumpalan awan di sekitaran Bandara Oksibil. Ia ingat hanya ada 6 orang dalam pesawat jenis Twin Otter yang harusnya bisa terisi penuh 10-12 orang penumpang.  

Lepas landas pun terjadi, sepanjang 3-5 menit usai lepas landas ia terus berdoa semoga saja pesawat terbang dalam keadaan aman. Tiba saatnya pesawat mulai memasuki banyaknya gumpalan awan yang ia lihat dari Bandara Oksibil sebelumnya.

"Bunyi pesawat saat itu seperti terus menanjak dengan beban berat, seperti ingin keluar dari gumpalan awan. Saya hitung ada sekitar 10-an menit kami berada di gumpalan awan yang putih semua tanpa terlihat langit biru. Saya terus berdoa, goncangan pun mulai terasa, kami seperti diayun ke kanan dan ke kiri. Apalagi kami naik pesawat berbadan kecil. Saya tak lepas dari doa," katanya.

Etha makin ketakutan saat ada seorang bapak yang duduk di depannya berteriak dan terus melihat ke kanan dan kiri. Sang bapak yang terlihat berumur setengah abad itu pun gelisah. "Dengan melihat tingkah si bapak yang khawatir akan keselamatan dirinya, saya ikut gelisah. Pikiran saya sudah aneh-aneh. Bagaimana jika pesawat ini jatuh," ujarnya saat itu dalam hatinya.

Lepas dari 10 menit waktu yang menegangkan, akhirnya sedikit celah warna biru mulai tampak. Etha pun terus melihat ke arah warna biru yang ia yakini sebagian langit Oksibil yang cerah dan membawa kedamaian.

"Akhirnya, saya memang melihat langit cerah saat itu. Hati saya plong. Tuhan buka jalan. Saya mulai meregangkan tubuh di kursi pesawat yang saya rasakan dari tadi dudukannya sangat keras," katanya.

 

Masih Manual

Pencarian Helikopter MI-17
Pesawat CN235 yang membantu melakukan pencarian helikopter MI-17 yang hilang kontak di Oksibil. (Liputan6.com/Katharina Janur)

Kabupaten Pegunungan Bintang berada di ketinggian 2000-an meter di atas permukaan laut. Kabupaten yang dikelilingi oleh pegunungan yang menjulang tinggi dengan ketinggian 4000-an meter di atas permukaan laut, belum memiliki transportasi jalur darat. Satu-satunya alat transportasi untuk keluar masuk ke Kabupaten Pegunungan Bintang hanya melalui jalur udara.

Kepala Dinas Perhubungan, Alferus Sanuari menyebutkan ada sejumlah maskapai penerbangan yang melayani masyarakat di Kabupaten Pegunungan Bintang yakni untuk pesawat komersial ada Trigana Air, lalu pesawat yang bisa disewa yakni Enggang Air, SAS, Demonim Air, dan ada untuk pelayanan ke masyarakat yakni pesawat AMA.

"Pesawat subsidi dari Kementerian Perhubungan yakni Demonim Air dengan rute Oksibil-Boven Digul-Oksibil. Jalurnya lebih pendek dibandingkan dengan ke Jayapura. Sementara untuk rute ke Jayapura, semua pesawat komersial," ujarnya.

Kata Alferus, jika cuaca tak bersahabat, berawan ataupun hujan, maka pesawat tak bisa masuk ke Bandara Oksibil dan masyarakat tetap harus menunggu hingga pesawat ada yang tiba di bandara.

"Seperti 3 minggu belakangan ini, setiap hari cuaca berawan dan curah hujan tinggi. Pesawat yang datang ke Oksibil harus menunggu sampai cuaca membaik," ujarnya.

Alferus menambahkan, seluruh fasilitas di Bandara Oksibil minim. Bandara Oksibil memiliki panjang landasan 1.800 meter dan panjang runway 1.350 meter. Hingga kini tak memiliki pemantau cuaca atau petugas BMKG di bandara, alat navigasi juga tak ada dan semua pesawat masuk atau keluar dari Bandara Oksibil dilakukan dengan cara manual.

"Kami seperti dianaktirikan, tidak diperhatikan pemerintah pusat. Ini sudah 5 kali pesawat jatuh di Oksibil," ujarnya.

Sebut saja tahun 2009 pesawat Merpati jatuh di Oksibil dengan korban 13 orang penumpang, lalu ada pesawat Trigana Air dengan membawa 48 penumpang jatuh sehari sebelum Hari Kemerdekaan Indonesia pada Agustus 2015.

Kemudian pada April 2017, pesawat kargo milik PT Spirit Avia Sentosa (SAS) juga mengalami kecelakaan. Lalu pada Agustus 2018 pesawat Demonim Air jatuh di Oksibil. Dalam kecelakaan itu, satu anak berusia 12 tahun, selamat dari kecelakaan yang menewaskan 8 orang penumpang dan kru.

"Pantauan cuaca dan navigasi masih dilakukan manual, secara kasat mata. Termasuk fasilitas radar di Bandara Oksibil juga belum ada," ujarnya.

Dinas Perhubungan Pegunungan Bintang mengklaim usai kecelakaan pesawat Trigana pada 2015, Kementerian Perhubungan berjanji akan melengkapi fasilitas itu semua, tapi sampai sekarang fasilitas yang dijanjikan tak kunjung tiba.

Alferus sudah sering mengajukan fasilitas apa saja yang harus dilengkapi di bandara Oksibil ke Kementerian Perhubungan, nyatanya surat pengajuan itu tak pernah dijawab. Sementara jika Pemda yang membangun fasilitas di bandara tak bisa, karena akan menjadi temuan BPK.

"Papua itu kalau mau bilang rawan ya Oksibil ini, karena sudah 5 kali kejadian pesawat jatuh dalam kurun waktu berdekatan. Apalagi jalur ke Oksibil banyak melewati celah gunung dan bukit yang ketinggian lebih dari 4000 meter di atas permukaan laut, misalnya Puncak Mandala yang harus dilewati jika ke Oksibil," ujarnya.

Padahal, Pegunungan Bintang menjadi salah satu kabupaten yang terletak pada daerah 3 T yakni tertinggal, terluar dan terpencil. Apalagi, Pegunungan Bintang terletak di perbatasan Negara Papua Nugini.

"Harusnya ada perhatian pemerintah dalam keselamatan transportasi di Oksibil, karena kabupaten ini masuk dalam programnya Pak Jokowi dengan 3T," dia menandaskan.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya