Liputan6.com, Batam - "Pung we wooi ilang wak berita nak timbul," suara Mak Seni melengking tinggi bertaut suara gong.
Para penari memasuki panggung, bergerak ritmis sebagai penanda pertunjukan akan dimulai. Mak Seni kemudian bertutur, menceritakan sebuah lakon yang akan dipentaskan.
Selamat datang di pertunjukkan Makyong, seni teater klasik tanah Melayu. Mak Seni adalah salah satu karakter yang selalu ada dalam teater Makyong. Kadang ia merangkap sebagai penari juga.
Advertisement
Abdul Basir, salah satu aktivis dan pemain Makyong menyebutkan bahwa ucapan Mak Seni itu sejatinya semacam mantera. Selain agar pertunjukkan menjadi lebih hidup, juga agar penonton bisa larut dalam pertunjukkan dan tak beranjak sebelum selesai.
Baca Juga
"Itu hanya salah satu kalimat pembuka saja," kata Abdul Basir kepada Liputan6.com di Dendang Melayu, Jembatan Barelang, Batam, Rabu Petang (11/9/2019).
Sebagai kesenian klasik, teater Makyong terus bertransformasi agar bisa bertahan. Namun tetap saja ada hal-hal yang dipertahankan. Saat ini tak ada lagi ritus berbau mistik yang dilakukan sebelum pertunjukkan.
"Sekarang hanya doa-doa biasa saja. Berdoa agar pertunjukan lancar dan sukses," kata Basir.
Lagu-lagu semacam Pungwe, Sayang Cik mile, Selendang Mayang nyaris menjadi lagu andalan pembuka pertunjukkan. Lagu-lagu ini selain berfungsi sebagai pengantar pertunjukkan juga semacam media untuk berkenalan dengan penghuni semesta lain.
Menurut Abdul Basir, setiap tempat pasti ada penghuni dari dimensi yang berbeda. Karenanya ijin juga dilakukan. Sebelum pentas selalu ada sesaji dan membakar kemenyan.
Makyong merupakan seni teater Klasik Melayu. Bisa juga dikategorikan ke dalam bentuk drama tari. Kelompok makyong Pulau Panjang dan makyong Pulau Mantang Arang, Bintan, adalah kelompok makyong di Kepulauan Riau yang paling mendekati alur asli teater tradisional Melayu tersebut. Kelompok lain sudah jauh memakai alur modifikasi meski masih tetap menampilkan inti dari seni teater itu.
Â
Ada Karakter Wajib Bertopeng
Makyong bukan sekadar teater rakyat. Melalui makyong bisa menikmati hampir semua bentuk kebudayaan Melayu dalam satu panggung. Di Kepulauan Riau, makyong memang bukan satu-satunya teater rakyat yang dikenal. Di Lingga, Kepri, pernah hidup wayang bangsawan, sementara di Natuna ada Mendu. Namun, hanya makyong yang relatif lengkap merangkum dan menyajikan bentuk-bentuk seni Melayu dalam satu panggung.
Menurut Basri, konon Makyong berasal dari Pattani di Thailand Selatan. Di Kepulauan Riau, teater rakyat itu dibuka dengan musik dan dilanjutkan dengan lagu yang lebih menyerupai mantra. Selepas lagu disampaikan, sambil menari lebih dari 15 menit, barulah dialog dimulai.
"Itulah ritus buka tanah. Bagian awal yang paling mistis," kata Basri.
Saat pementasan, para pemain kerap berbalas pantun. Pantun dalam kebudayaan Melayu punya berbagai fungsi. Pantun, antara lain, menunjukkan tingkat kecendekiawanan seseorang. Semakin kaya pengalaman dan pengetahuan seseorang, semakin beragam pantun disampaikan.
Dalam pertunjukan Makyong, di tampilkan cerita rakyat. Kisah selalu berkisar tentang kehidupan kerajaan seperti cerita raja-raja, permaisuri, putri, putra mahkota yang ditimpa musibah dan berakhir dengan kemenangan dengan melalui perjuangan.
Untuk memperkuat karakter, pertunjukkan ini membutuhkan topeng, rotan, parang, keris, kapak, panah, tongkat kayu, cangai (kuku palsu yang panjang) dibuat dari bahan yang berkilat seperti emas dan lain-lain. Sedangkan alat-alat musik yang di perlukan adalah nafiri, gong, gedombak, gendang, mong.
Saat menari adalah ritus mistis berikutnya. Gesture menjunjung sambah, gembak, memanggil awang, tanduk dan lain-lain.
"Yang di haruskan memakai topeng dalam pertunjukan Makyong, Raja, Inang pengasuh (Mak Seni ) dan para wak-wak seperi wak Perambuan, wak Perak Utan, wak Perang Agung, Wak Payak, Wak kunyit," kata Basri.
Simak video pilihan berikut:
Â
Advertisement
Terlupa di Tanah Asal
Dalam sekali pentas, pertunjukan Makyong melibatkan 28 hingga 30 orang. Kostum juga tak spesifik, ada yang mengenakan khas Teluk Belanga, Tanjak. Pertunjukan Makyong biasanya tidak selesai satu malam, sebuah cerita dapat berlanjutnya berhari-hari bahkan sampai 15 dan 44 malam. Namun pada masa sekarang sebuah cerita Makyong berlangsung 1-3 jam saja.
Dialog yang muncul juga kebanyakan spontan. Sulit membayangkan beberapa perkataan spontan yang terucap dalam pentas asli kesenian yang disebut berasal dari Pattani, Thailand selatan, itu. Namun, hal itu pilihan rasional untuk terus menghidupkan kesenian yang sudah hidup ratusan tahun tersebut.
Makyong tak hanya merangkum seni Melayu dalam satu panggung. Perjalanan makyong dari Thailand ke Kepulauan Riau sekaligus jadi salah satu bahan kajian sejarah suku Melayu. Pernah jadi primadona di Thailand selatan dan Malaysia, kini makyong nyaris hilang di tanah kelahirannya itu.
Di Thailand, Makyong sulit bertahan. Bukan hanya karena dianggap kuno, melainkan karena Makyong dianggap kebudayaan Melayu. Akibatnya, kurang diterima di Thailand.
Masyarakat Melayu Thailand kurang menerima Makyong karena dianggap tak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Padahal, Melayu, saat ini, dianggap identik dengan Islam. Alasan serupa juga pernah menenggelamkan makyong di Malaysia. Di sana, makyong dilarang karena pemain-pemain wanitanya memerankan tokoh pria. Selain itu, dalam cerita asli, ada bagian inses atau hubungan sedarah.