Tips Cepat Lulus dari Barista Kota Daeng: Rajin ke Kampus dan Ngopi

Budaya minum kopi kini telah menjadi gaya hidup masyakat Indonesia, baik di kota maupun di desa.

oleh Ahmad Yusran diperbarui 03 Okt 2019, 12:00 WIB
Diterbitkan 03 Okt 2019, 12:00 WIB
Kopi Kampus
Foto: Ahmad Yusran/ Liputan6.com

Liputan6.com, Makassar - Budaya minum kopi telah berhasil menembus lintas generasi. Bahkan sudah menjadi gaya hidup (lifestyle) masyarakat, baik di desa maupun di kota. Dari orang tua, mahasiswa, pelajar, hingga milenial makin menggandrungi kopi.

Kota Makassar sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Selatan yang juga pintu masuk Kawasan Timur Indonesia (KTI) tak luput dari jalur kopi Nusantara.

Dalam sejarahnya, sekitar abad 16, Kota Daeng pernah jadi pusat perdagangan kopi di bagian Indonesia timur. Kota itu menjadi lalu-lintas komoditi kopi jenis Arabika dan Robusta dari Tana Toraja, Toraja Utara, Enrekang, dan Luwu.

Selain nikmat, ternyata kopi bisa menyatukan berbagai hambatan dalam bersosialisasi, bahkan banyak yang meyakini kopi mampu mempercepat preses studi di bangku kuliah.

Wahyu, barista Kopi Kampus di Universitas Negeri Makassar (UNM) kepada Liputan6.com, Selasa (1/10/2019) mengatakan, kenikmatan kopi bukan hanya cita rasa dan aroma, tapi juga cerita keakraban yang dihasilkannya. 

Bersama Sem dan Namnam, Wahyu merintis usaha kopi di kampus UNM. Mereka membeli satu per satu alat peracik kopi, termasuk mobil bekas Volkswagen kombi sebagai tempat berjualan. Kopi Kampus kini sudah mejeng di samping eks gedung rektorat UNM.

Wahyu meyakini, saat ini bisnis kopi termasuk kedai kopi sudah menembus lintas batas dan bergerak dinamis di dalam ruang kota. Seiring gaya hidup mahasiswa dan kaum milenial, kopi bukan hanya rasa tapi keakraban.

"Kami hadir dengan pesan filosofi kopi untuk memacu semangat mahasiswa. Maka itu lahirlah tagline kami dengan pesan berdialek lokal 'Kalau Mauko Cepat Sarjana Kopi Kampus' dan Alhamdulillah kami eksis hingga hai ini," katanya.

 

Barista Kota Daeng

Kopi Kampus
Foto: Ahmad Yusran/ Liputan6.com

Meski mengaku tak pernah mengenyam pendidikan tinggi, apalagi bersentuhan dengan pendidikan barista, nama Wandi, di kota Makassar begitu erat dengan kopi.

Satu-satunya perkenalan dengan kopi terjadi saat dirinya berguru sebagai pramusaji kopi dan belajar meracik kopi di Warkop Dottoro Haji Naba di Jalan Tinumbu, Kecamatan Ujung Tanah.

"Hingga kini 12 tahun saya berkiprah dalam dunia warung kopi. Awalnya di Lorong 155 Jalan Tinumbu, di Warkop Dottoro. Kemudian Warkop Sija hingga di Warkop 52 di Jalan Onta, Kecamatan Mamajang," jelas pemilik nama lengkap Ariwandi ini kepada Liputan6.com, Selasa (1/10/2019).

Menurut Wandi, menjadi barista tak semudah yang dibayangkan. Racikan kopi harus punya ukuran, dan tidak sekadar disiram air panas lalu diberi susu kental. Apalagi sesuai selera penikmat kopi ala Kota Daeng.

Berbekal pengalaman belajar dari warkop ke warkop di kota Makassar, Wandi kini menjadi barista andalan Kota Daeng Makassar. Bahkan dirinya pernah diundang ke Kota Berau, Kalimantan Timur, hanya untuk meracik kopi disajikan kepada sebanyak 700 orang atau 700 cangkir.

 

 

Institut Kopi di Sulsel

Sejarah kopi di Sulawesi Selatan diawali dari cerita tentang penjajahan Belanda yang menjadikan biji kopi sebagai komoditas utama perkebunan saat itu. Hasil panennya kemudian dibawa ke Eropa, dan terjadi ekspor besar-besaran oleh VOC melalui pelabuhan di Kota Makassar.

Pembentukan Institut Kopi pastinya punya tujuan agar masyarakat petani bisa mengelola kopi dengan profesional dan dapat berinovasi.

Wakil Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman sempat memaparkan terkait kebijakan terkait sektor komoditi kopi dan potensinya di Sulsel.

Indonesia merupakan negara penghasil kopi terbesar keempat dunia, setelah Brazil, Vietnam, dan Colombia dengan produksi 651 ribu ton biji kopi atau 8,9 persen dari produksi dunia. 

Sedangkan Sulawesi Selatan, menurutnya merupakan sentra pengembangan jenis kopi arabika dan robusta dari Toraja dan Kalosi.

"Luas perkebunan kopi nasional di Sulsel 12,5 persen. Produksi kopi robusta 9.804 ton dan kopi arabika 21.994 ton. Kami punberharap, produk kopi untuk dipromosikan dengan baik, seperti dipajang di kedutaan-kedutaan, serta harus ada gerakan membantu masyarakat petani terutama dalam kesejateraan mereka," jelas Amran Sulaiman.

Selain edukasi melaluimenstimulasi petani, agar tidak langsung melepas ke pasar saat panen. Tidak kalah pentingnya adalah, bagaimana promosi dan mengemas produk yang ada dengan baik.

"Selain itu yang harus diperhatikan adalah nilai kesehatan dari kopi. Bukan hanya kuantitas produk, tetapi kualitas produk juga harus diperhatikan," katanya menambahkan.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya