Liputan6.com, Yogyakarta - Bagaimana kisah kelahiran musik jazz di tanah Jawa? Melalui Messiom Jazz, sebuah program baru di Ngayogjazz 2019, cerita itu dipaparkan dan dipamerkan.
Sejarah kelahiran jazz di tanah Jawa versi Ngayogjazz ditampilkan dalam bentuk ilustrasi dan cerita singkat di sebuah ruangan. Linimasa disadur dari buku Jazz Lahir di Tanah Jawa karya Profesor Vendra Koving Je Piping yang diterbitkan oleh Primbon Yu Darmi Kota Baru dan didistribusikan oleh Leiden Verliet Perss (LVP) di Belanda.
Babad ini berawal dari peristiwa Perang Jawa yang terjadi dari 18.25 sampai 18.30. Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dilakukan pemerintah kolonial Belanda selama pendudukannya di nusantara. Pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa.
Advertisement
Baca Juga
Di tengah peperangan, di depan rumah Tegalreja terdapat dua bilah besi yang membujur dari barat ke timur. Benda asing itu membuat kondisi masyarakat semakin sengit, terlebih dengan diterapkannya kerja paksa yang tidak mengenal waktu. Banyak laki-laki dan perempuan, tua dan muda, menjadi korban.
Seiring berjalannya waktu, bilah besi di depan rumah Tergalreja semakin berkembang. Dari sini, jazz lahir di tanah Jawa.
Perang Jawa juga sempat membuat pembangunan istana residen Gedung Agung terbengkalai. Di ujung istana residen, masyarakat Belanda mendidirkan stadsklok untuk menghormati pemerintah kolonial Belanda yang pernah berkuasa di Jawa pada awal abad ke-19.
Penyebutan yang terlalu sulit untuk lidah Jawa, membuat masyarakat menjuluki tugu itu dengan sebutan Tugu Ngejaman. Dari tugu inilah jam session lahir.
Di Desa Ngaglik Sleman, Profesor Vendra menemukan nama-nama orang yang dipercaya sebagai bukti nyata pengaruh jazz dalam masyarakat Jawa. Dramaji, sang penggebuk drum, Basuki pemain gitar bass kebanggan desa, Gitarno pemain gitar yang rajin beribadah, dan Modarno ahli listrik panggung hiburan. Hal-hal ini memperkuat keyakinan jazz lahir di tanah Jawa.
Kegilaan Menanti Anda Jika Anda Percaya
Percaya dengan babad jazz di tanah Jawa? Tagline Messiom Jazz berarti tepat jika pengunjung mempercayai cerita yang sarat kengawuran itu. Kegilaan akan menanti Anda, jika Anda percaya.
Selain babad Jazz di Tanah Jawa, ada pula koleksi-koleksi pernak-pernik yang berhubungan dengan musik jazz dan artis jazz tanah air. Salah satunya, Koh Ken Dal Jipit. Lelaki kelahiran 1935 yang berasal dari Cina ini mengoleksi sebuah dasi kupu-kupu merek Cravat berwarna hitam yang dipercaya pernah dipegang Louis Armstrong.
Dia juga memiliki kursi piano yang terbuat dari rotan yang dipercaya pernah dijadikan tempat duduk Nick Mamahit dalam sebuah konser untuk pejabat daerah Ngawi, Jawa Timur. Sampai hari ini, Koh Ken Dal Jipit tercatat sebagai kolektor penting dan donatur besar untuk Majelis Kurator Jazz Nusantara.
Di Messiom Jazz juga terdapat sekat yang diberi nama Bintang Kejora. Stan ini menampilkan sejumlah arsip dan benda terkait 10 tokoh jazz di Indonesia. Bagian ini disusun berdasarkan arsip dalam penelitian Hendy Van Braok mengenai jazz dan masyarakat pasca kolonial di Asia.
Gunting kuku milik Ireng Maulana yang tidak pernah digunakan dipajang di stan ini. Selain itu, ada pula senar gitar milik Jack Lesmana yang berpengaruh dalam bentang musik jazz di Indonesia, sebab tanpa senar ini sebuah gitar tidak bisa menghasilkan bunyi.
Ada pula koleksi barang-barang pecah belah milik Embong Rahardjo yang semuanya berwarna ungu, mulai dari gelas, cangkir, dan sebagainya.
Advertisement
Parodi dan Pesan Tersirat
Sekali lagi, jangan menelan mentah-mentah apa yang ditampilkan di Messiom Jazz. Cukup tertawa saja, karena barang-barang dan tulisan di ruangan yang seolah-olah museum itu tidak pernah benar-benar nyata.
Ide membuat museum ini sudah lama, tetapi justru baru terealisasi di tahun ke-13 penyelenggaraan Nyagogjazz. Selain menunjukkan sosok Djaduk Ferianto yang humoris, keberadaan Messiom Jazz juga menampilkan pesan yang memprihatinkan.
“Di balik lelucon yang ditampilkan sebenarnya mengkritisi minimnya pengarsipan musik dan kurangnya apresiasi terhadap musisi jazz di Indonesia,” ujar Doni Maulistya alias Aul, salah satu tim penyusun Messiom Jazz di sela-sela Ngayogjazz 2019, Sabtu (16/11/2019).
Tampaknya pesan yang ingin disampaikan Djaduk berhasil. Tidak sedikit pengunjung yang terkecoh saat masuk ke Messiom Jazz. Orang awam yang menikmati pernak-pernik di dalamnya cenderung mempercayai informasi yang tertera di sana.
Tokoh Koh Ken Dal Jipit yang digadang-gadang sebagai kolektor adalah fiktif. Aul menuturkan, Djaduk melihat banyak tokoh musik jazz yang sulit dilacak data dan informasinya. Bahkan, mesin pencarian Google pun tidak menampilkan keterangan yang memadai.
Bermain-Main dengan Kekhasan Ngayogjazz
Ia bercerita diskusi serius dengan Djaduk membahas Messiom Jazz pada 21 Agustus lalu. Seniman asal Yogyakarta itu ingin bermain-main dengan gayanya yang khas.
Meskipun demikian, guyonan yang ditampilkan juga tidak asal-asalan. Djaduk mencari tahu karakter musisi jazz untuk ditampilkan di stan Bintang Kejora. Ireng Maulana yang diidentikkan dengan gunting kuku, misalnya, ternyata bermula dari obrolan Djaduk dengan Idang Rasjidi beberapa waktu lalu.
Ketika itu, Idang bercerita Ireng memiliki kebiasaan suka menggigit kuku. Dari situ, Djaduk mencetuskan benda berupa gunting kuku yang tidak pernah digunakan oleh Ireng. Demikian pula dengan Embong Rahardjo yang identik dengan warna ungu. Ternyata musisi itu maniak dengan warna ungu dan mengecat bagian rumahnya dengan warna ungu.
“Djaduk berusaha mengapresiasi jazz dengan caranya, guyonan yang sebenarnya serius,” kata Aul.
Saking seriusnya menggarap Messiom Jazz, Djaduk berangkat sendiri ke Klaten dan menemui pengepul barang bekas di sana untuk mendapatkan pernak-pernik yang mendukung idenya ini.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement