Liputan6.com, Yogyakarta - Tim Respons COVID-19 UGM merekomendasikan sejumlah solusi untuk membantu pemerintah dalam menangani pandemi Corona COVID-19. Salah satunya, mengembangkan pola skenario untuk penanganan kasus Corona COVID-19 di Indonesia.
Pertama, direct moderate social distance dan 5 persen detection. Pola intervensi ini bisa dilakukan ketika ada kasus temuan pertama dan langsung ditindaklanjuti dengan kebijakan pembatasan sosial dan fisik serta deteksi lima persen.
Advertisement
Baca Juga
Durasi epidemi atau outbreak akan berlangsung sekitar 69 hari dengan puncak epidemi pada hari ke-16. Model ini bisa mengurangi persentase kasus Corona COVID-19 sampai 70 persen.
"Tapi pola ini sudah tidak bisa diterapkan di Indonesia, karena kebijakan baru diimplementasikan dua minggu setelah temuan kasus, jadi bisa dilihat pola intervensi selanjutnya," ujar Riris Andono Ahmad, Koordinator Tim Respons COVID-19 UGM dalam video conference, Senin (30/3/2020) petang.
Kedua, delayed moderate social distance dan 5 persen deteksi. Hal ini sedang diterapkan di Indonesia dan yang perlu ditingkatkan adalah persentase deteksi. Ia tidak mengetahui secara pasti berapa kemampuan deteksi Indonesia, akan tetapi peneliti dari Inggris menyebutkan kemampuan deteksi Indonesia sekitar 2 persen.
Dengan pola ini durasi epidemi akan berlangsung 50 hari dan puncak outbreak pada hari ke-16. Intervensi seperti ini bisa mengurangi 18 persen kasus Corona COVID-19.
Ketiga, delayed moderate social distance dan 50 persen deteksi. Durasi epidemi dengan pola ini berlangsung 24 hari dan puncak outbreak pada hari ke-16. Intervensi ini bisa menurunkan kasus 53 persen.
Keempat, delayed karantina wilayah dan 50 persen deteksi. Pola intervensi ini paling cepat menganani wabah karena durasi hanya 22 hari dan puncak outbreak pada hari ke-16. Pengurangan kasus jika diterapkan pada pandemi Corona COVID-19 bisa mencapai 77 persen.
Simak video pilihan berikut ini:
Jangan Pukul Rata
Menurut Riris, pola intervensi itu bisa diterapkan di Indonesia, tetapi tidak bisa disamaratakan di setiap daerah. Epidemi Corona COVID-19 di Indonesia bergantian di setiap daerah.
"Ada daerah yang belum terjadi wabah dan puncaknya pun berbeda-beda tergantung dari kapan outbreak itu terjadi," ucapnya.
Ia menegaskan yang perlu dijaga saat ini adalah jangan sampai ada daerah yang bukan epidemi Corona COVID-19 menjadi wabah karena ada perpindahan manusia dari daerah wabah (zona merah) ke bukan wabah (zona hijau).
Riris menilai wilayah yang belum masuk kategori zona merah bisa menerapkan kebijakan moderate social distancing, minimal selama empat minggu untuk kemudian dievaluasi.
Sedangkan, wilayah yang masuk kategori zona merah perlu melakukan karantina wilayah, minimal selama tiga minggu, diikuti melanjutkan kebijakan yang melarang lalu lintas keluar masuk wilayah hingga setelah lebaran. Penduduk dapat kembali melakukan moderate social distancing setelah karantina selesai.
"Bagi wilayah yang masuk kategori zona merah tetapi sudah melewati puncak outbreak dapat melakukan pelarangan lalu lintas keluar masuk wilayah, kecuali transportasi logistik, hingga setelah lebaran, penduduk tetap melakukan moderate social distancing,” tuturnya.
Ia juga menyarankan kapasitas diagnosis dan screening ditingkatkan minimal 10 kali lebih besar dari yang tersedia saat ini. Untuk kapasitas layanan kesehatan bisa ditingkatkan melalui penyediaan fasilitas isolasi karantina non-rumah sakit untuk memisahkan pasien yang tidak membutuhkan perawatan dari populasi umum.
Selain itu juga, meningkatkan kapasitas rumah sakit untuk mengantisipasi lonjakan jumlah pasien yang memerlukan perawatan intensif, seperti ICU atau ventilator serta memastikan kecukupan alat pelindung diri bagi tenaga medis untuk dapat menangani jumlah pasien yang meningkat.
Advertisement