Liputan6.com, Aceh - Suasana tampak tak seperti biasanya. Akibat krisis kesehatan global, orang-orang yang dulunya selalu memenuhi ruang sidang untuk memberi dukungan moral tidak terlihat sama sekali hari itu. Kursi-kursi panjang dengan tanda silang warna merah dari selotip —yang sengaja direkatkan sebagai prosedur pencegahan yang dikenal juga dengan sebutan physical distancing atau "penjarakan fisik"— pun dibiarkan kosong tidak terisi.
Di pintu depan tertempel pemberitahuan bahwa yang diperbolehkan masuk hanya para pihak yang berkaitan langsung dengan yang orang yang berperkara saja, di antaranya, petugas keamanan dan wartawan. Sebenarnya, pengadilan juga telah memberlakukan sidang via telekonferensi sejak beberapa hari yang lalu, kecuali bagi terdakwa yang tidak berstatus sebagai tahanan.
Advertisement
Baca Juga
Siang itu, Selasa (31/03/2020), total yang duduk di kursi peserta sebanyak tujuh orang, sudah termasuk wartawan dan dua orang pegawai pengadilan. Persidangan yang sebelumnya digelar di ruang Candra pun telah dipindahkan ke ruang Cakra yang kapasitasnya pengunjungnya jauh lebih kecil karena ruangan sidang yang sebelumnya telah dialihgunakan sebagai ruangan khusus untuk persidangan secara telekonferensi saja.
Sidang di Pengadilan Negeri Banda Aceh Kelas 1A itu pun berlangsung dengan suasana yang terasa agak ganjil. Hakim Ketua, Eti Astuti, dan salah seorang anggota majelis hakim yang duduk di depan terlihat mengenakan masker, begitu pun dengan jaksa penuntut umum, kecuali keempat tim penasihat hukum (PH) dari YLBHI - LBH Banda Aceh yang duduk satu deretan, di sisi kiri depan meja hakim.
Orang yang duduk di kursi pesakitan ialah Saiful Mahdi, yang terlihat mengenakan masker dibalut kemeja berwarna putih dengan lengan yang telah disingsingkan. Ketenangan yang ditampakkan di wajahnya itu adalah hasil perjalanan panjang yang telah dilaluinya selama proses persidangan yang dimulai sejak Desember tahun lalu, sebagai terdakwa atas kasus demafasi atau pencemaran nama baik.
Keadaan memang di luar ekspektasi. Suasana pembacaan pleidoi Saiful Mahdi yang mestinya menjadi salah satu momen penting hari itu sepi belaka dari orang-orang yang biasanya menyesaki kursi pengunjung.
Namun, segala sesuatunya telah dipersiapkan. Dengan sang istri, Dian Rubianty, yang saban sidang selalu mendukungnya dari kursi pengunjung, lulusan program doktoral Cornell University Amerika Serikat yang telah mengabdi sebagai dosen selama 33 tahun itu pun mulai membacakan pleidoi dalam kondisi yang terkesan sunyi.
Â
**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Poin Pleidoi
Di dalam pleidoinya tersebut, Saiful mengatakan bahwa kritik merupakan bagian dari manajemen perubahan untuk kepentingan umum yang diakui oleh konstitusi. Adapun kritik berbuah pelaporan yang telah menyeretnya ke meja hijau itu menyoroti mekanisme rekrutmen CPNS di Fakultas Teknik Unsyiah, yang menurutnya tidak meritokrasi.
"Meritokrasi atau sistem berbasis merit atau kompetensi atau kinerja menghargai kerja keras, kejujuran, objektivitas, dan penjaminan kesempatan yang sama bagi semua orang yang berhak. Karena itu, meritokrasi adalah kepentingan umum. Hanya mereka yang tidak punya kompetensi atau kinerja atau yang 'berutang', baik utang materiel maupun morel, yang takut pada atau tidak bisa menjunjung meritokrasi. Karena itu, mereka yang terakhir ini sering memilih jalan pintas seperti lewat korupsi, kolusi, dan nepotisme," ujarnya.
Berbekal kegundahan yang telah menganggu pikirannya itu, Saiful pun mencoba mengonfirmasi kepada Rektor Unsyiah, Samsul Rizal, hingga Taufik Saidi, dekan fakultas teknik yang belakangan melaporkan dirinya setelah mendapat kiriman berupa hasil tangkapan layar pesan yang ditulis oleh Saiful dari seseorang yang berada di dalam WAG bernama "UnsyiahKita." Karena kegundahannya itu tak jua terjawab, setelah mendapat data yang meyakinkan, ia pun akhirnya memutuskan untuk melempar pesan berisi kritikan di WAG sebelum akhirnya mendapat surat panggilan dari Polresta Banda Aceh pada 2 September 2019 karena pesan yang telah ditulisnya itu.
"Pada tanggal tersebut saya mendapat dua undangan, yaitu undangan peringatan dies natalis Unsyiah sekaligus peresmian gedung baru FMIPA, tempat saya mengabdi secara resmi sebagai dosen pegawai negeri sipil sejak 26 tahun yang lalu, dan 'undangan' alias panggilan dari Polresta Banda Aceh sebagai tersangka," kata Saiful, yang akhirnya memilih untuk menuruti surat panggilan dari kepolisian ketimbang ikut merayakan dies natalis.
Setelah kritikannya menjadi bahan pembicaraan di kalangan civitas akademica, Saiful mengaku menjadi bulan-bulanan fitnah orang-orang yang merasa tidak berkenan dengan kritikannya tersebut. Ia pun sempat disebut sebagai penyebar hoaks oleh mereka yang berseberangan dengannya itu.
"Dikatakan melawan institusi, mangkir dari panggilan senat, arogan, tidak mau dimediasi, penyebar hoaks, sering di luar kampus, dan sebagainya. Semua itu telah saya bantah dengan data dan fakta saat dan setelah saya diperiksa sebagai terdakwa," katanya.
Saiful pun mengatakan bahwa dirinya tidak pernah menuding fakultas tertentu telah melakukan korupsi seperti yang selama ditafsirkan. Kata "korup" yang ditulisnya itu diawali dengan frasa "determinisme teknik" bukan "fakultas teknik", yang menurutnya merujuk pada kondisi depedensi dari sebuah sistem bukan merujuk pada institusi tertentu.
"Saya hanya mempertanyakan matinya akal sehat yang sangat mungkin terjadi ketika kita sangat tergantung pada sistem yang secara teknis sangat deterministik. Sistem dan institusi yang sangat deterministik secara teknis akan baik jika ditopang meritokrasi, tapi jika tanpa meritokrasi institusi dan sistem demikian sangat mudah rusak dan atau dirusak atau dikorup. Penggunaan istilah-istilah yang umum di dunia akademik dalam postingan itu membuktikan dengan sendirinya bahwa ini bagian dari diskusi atau ajakan diskusi akademik," jelasnya.
Selain itu, tambahnya, Taufik telah mengaku di bawah sumpah saat duduk sebagai saksi di depan pengadilan bahwa nama baiknya sama sekali tidak pernah tercemar oleh apa yang telah ditulis olehnya. Ia melaporkan Saiful dengan dalih untuk melindungi institusi, dan menurut Saiful, ini mestinya menjadi dasar agar ia dibebaskan dari segala tuntutan karena orang tersebut sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk melaporkan dirinya atas nama institusi.
"Postingan saya di WAG UnsyiahKita itu tidak menunjuk orang per orang atau sebuah jabatan tertentu. Tulisan itu ditujukan sebagai diskusi dan kritik untuk kepemimpinan, institusi, dan sistem demi kepentingan umum. Dengan data dan fakta demikian, saya, Saiful Mahdi selaku terdakwa, memohon agar majelis hakim memutuskan saya tidak bersalah dan dibebaskan dari segala dakwaan, dan nama baik saya diperbaiki," pungkas lelaki yang pernah menjabat sebagai direktur eksekutif International Centre of Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) itu.
Pada pengantar pleidoinya, Saiful sempat berkilas balik pada waktu masih menjadi calon dosen di Unsyiah dulu. Saat itu, oknum pimpinan mengatakan bahwa di kampus itu telah ada musik yang jauh-jauh hari sudah ditabuh, di mana semua orang mesti ikut menari sesuai irama musik tersebut saja.
"Waktu itu, sekitar sepuluh orang calon dosen FMIPA Unsyiah dengan tegas menjawab, bahwa bagi kami, musik yang sudah ditabuh itu terdengar sumbang, dan, karena itu, kami memilih tidak ikut menari dengan musik tersebut. Kami memilih untuk membuat musik sendiri yang menurut kami lebih indah dan lebih baik," tuturnya.
Advertisement