'Bak Budik Kèe', dari Juara Balapan Trek Tanah Jadi 'Raja' Batu Akik

Kisah berikut ini tentang seorang lelaki eks juara pembalap trek tanah atau grass track yang belakangan hidup di dunia batu akik, sebuah dunia yang sama sekali berbeda dari dunianya yang sebelumnya. Simak kisah lengkapnya:

oleh Rino Abonita diperbarui 20 Okt 2020, 10:00 WIB
Diterbitkan 20 Okt 2020, 10:00 WIB
Batu alam yang telah diolah menjadi aksesoris yang dijual oleh Suhelmi (Liputan6.com/ Rino Abonita)
Batu alam yang telah diolah menjadi aksesoris yang dijual oleh Suhelmi (Liputan6.com/ Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - Sewaktu kecil, lelaki ini sering kedapatan sedang mengayuh sepeda dengan kencang di pojok lapangan sementara mulutnya menirukan suara mesin sepeda motor seolah-olah sedang berlomba di arena balapan.

Ia suka mengangkat ban depan sepedanya tinggi-tinggi atau melakukan aksi berbelok tiba-tiba sambil membanting arah setang sementara salah satu kakinya menjadi tumpuan atau poros ketika dirinya menyeret ban belakang setengah lingkaran yang menyebabkan tanah berhamburan.

Saat itu, ia kerap pulang ke rumah dalam keadaan lutut penuh luka lecet akibat terjatuh dari sepeda. Namun, anak ini tidak pernah mengadu kepada orangtuanya, bahkan luka-luka tersebut membuatnya bangga. Setelah beranjak dewasa, ia mulai serius menggeluti hobinya dan memutuskan untuk terjun ke arena balapan sungguhan dengan pilihan trek tanah atau grass track.

Ia masih berada di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) ketika dirinya menurunkan motor bebek hasil modifikasi (tune up) miliknya ke atas trek balapan untuk pertama kali. Kemudian, dia bergabung dalam Torax Motor Club (TMC) pada tahun 1995, lantas berhasil membawa pulang sejumlah piala dalam beberapa ajang yang diikutinya kelak. Piala-piala tersebut masih terpajang di sudut ruang tamu rumahnya sebelum hilang dibawa gelombang semong pada 2004 silam.

"Orangtua saya mendukung saat itu. Saya ikut ajang balapan grass track lebih kurang 50 kali, menang lebih kurang 20 kali," sebutnya kepada Liputan6.com, Senin (19/10/2020).

Lelaki bernama T Suhelmi (42) yang kini bertubuh tambun itu banyak bercerita tentang kehidupannya pada masa lalu, termasuk sebuah kecelakaan yang dialaminya akibat tersenggol lawan dalam sebuah ajang di trek Peunaga pada tahun 1998.

Liputan6.com berbeka-beka dengannya di emperan rumah toko berukuran 3x12, yang merupakan tempat tinggal Suhelmi bersama istri dan tiga orang anaknya.

Cedera tangan akibat kecelakaan yang terjadi pada hari itu membuatnya hiatus cukup lama dari dunia trek tanah, hingga dirinya memutuskan pensiun pada tahun 2000-an. Namun, Suhelmi sebenarnya tidak seratus persen angkat kaki dari dunia yang telah membesarkan namanya tersebut, hanya saja, saat ini dirinya lebih memilih duduk di balik pedok, sebagai manajer sebuah tim pebalap road race bernama Ayi Motor Team (AMT).

"2002 jadi manajer road race dengan juara umum 2017 satu kali. Tim saya ikut Kejurda (Kejuaraan Daerah) sama open turnamen di tahun 2016 sampai 2017," Suhelmi menuturkan kisah hidupnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:


Apabila Akhir Pekan Tiba

Bongkahan batu alam berjenis kalsedon asal Aceh Jaya yang dijual oleh Suhelmi (Liputan6.com/Rino Abonita)
Bongkahan batu alam berjenis kalsedon asal Aceh Jaya yang dijual oleh Suhelmi (Liputan6.com/Rino Abonita)

Selama tahun 2014 sampai 2015, terutama ketika akhir pekan tiba, Suhelmi dan beberapa orang temannya akan melaju di atas sepeda motor, melewati lintasan Meulaboh-Tapak Tuan menuju ke Kabupaten Nagan Raya. Namun, saat itu dirinya bukan sedang bernostalgia untuk mengenang masa-masa ketika masih kebut-kebutan dulu.

Beranjak dari sini, kita akan menuju antipode dari seorang Suhelmi, mantan jawara crosser yang berhasil meraih sejumlah penghargaan dari dunianya yang lain. Sebuah dunia yang sama sekali berbeda dari dunia seorang Suhelmi yang sebelumnya.

Sebagai pemantik, beberapa tahun silam, tepatnya antara tahun 2014-2015, Serambi Makkah sempat moncer dengan gioknya. Pada tahun-tahun tersebut, lapak penjual batu akik bermunculan hampir di setiap sudut trotoar, bak cendawan di musim hujan.

Di Aceh Barat, halaman sebuah mal yang sedang dalam tahap pembangunan tiba-tiba berubah menjadi pasar batu akik dadakan terutama ketika malam hari tiba. Suasana di tempat itu pun penuh sesak oleh penjual dan pembeli yang berdatangan silih berganti persis pasar malam.

Bongkahan-bongkahan batu alam baik dalam bentuk utuh maupun potongan-potongan kecil berserakan tidak teratur di atas terpal dan meja, sementara itu, beberapa lelaki terlibat tawar menawar sambil menyuluh bongkahan-bongkahan batu tersebut dengan senter kecil seukuran spidol. Di sudut yang lain, puluhan batu akik, baik yang sudah bergagang maupun tidak terlihat berjejer di dalam bufet kaca yang tengah dikerumuni oleh sejumlah pembeli.

Melambungnya permintaan telah mendorong banyak orang untuk menjadi pedagang batu akik musiman, toko-toko yang menaruh kata gemstone di belakang namanya pun mulai bermunculan tidak sampai setahun setelah fenomena 'demam batu akik' ini terjadi. Mengenakan batu akik pun tidak lagi hanya in de mode di kalangan pria berumur, namun merambah ke semua usia serta jenis kelamin.

Saban hari, terdengar mesin pemotong atau pengasah batu yang meraung-raung dari rumah-rumah penduduk. Kedai kopi tiba-tiba menjadi lebih ramai oleh pembahasan tentang batu akik di mana perhatian orang-orang tiba-tiba tertuju kepada seseorang yang baru saja datang membawa bongkahan batu bersamanya.

Seketika mata kolektor tertuju ke Serambi Makkah, terutama karena tertarik dengan batu berjenis Vesuvianit atau Idocrase, yang menjadi hasil alam khas provinsi yang berada di ujung utara Pulau Sumatera tersebut. Idocrase sendiri merupakan batu mineral silikat kristal tetragonal yang memiliki beberapa varian warna, namun, yang paling mencolok adalah batu yang berwarna hijau yang memiliki harga jual mencapai puluhan juta ketika itu.

Fenomena 'demam batu akik' ini sebenarnya juga terjadi di banyak daerah Indonesia, dalam waktu yang relatif serentak, kendati pada akhirnya meredup, persis seperti ramalan para psikolog finansial, yang menyebutnya sebagai euforia sesaat, atau irrational exuberance (kegembiraan irrasional), di mana orang berbondong-bondong membeli sesuatu karena adanya dorongan emosi kolektif. Contoh yang sering diajukan untuk menggambarkan fenomena ini adalah cerita tulip mania di Belanda yang terjadi ratusan tahun silam.

Kondisi ini terjadi pula di Aceh, di mana Suhelmi menjadi pelaku yang merasakan langsung bagaimana kilau 'si hijau' melejit tiba-tiba kemudian kehilangan cahayanya sama sekali. Kendati demikian, lelaki ini termasuk orang yang masih bertahan menjual batu akik sampai saat ini, dan dengan bangga menyebutnya sebagai "hobi yang menguntungkan."


Menjual Ragam Jenis Batu Akik

Beragam jenis batu akik yang dijual oleh Suhelmi (Liputan6.com/Rino Abonita)
Beragam jenis batu akik yang dijual oleh Suhelmi (Liputan6.com/Rino Abonita)

Sesampainya di Kabupaten Nagan Raya, Suhelmi dan teman-temannya akan menitipkan sepeda motor mereka ke perkampungan terakhir. Beranjak dari sini, mereka akan berjalan kaki karena jalan menuju lokasi pencarian bahan batu akik berupa jalan setapak yang tidak bisa dilalui kendaraan, dengan waktu tempuh untuk sampai ke tujuan mencapai 5 sampai 6 jam.

Apabila kecapaian, mereka akan berhenti sejenak sambil membuka bekal seadanya yang dibawa dari rumah. "Kita bawa mi instan, beras, dan ada alat masak seadanya," sebut Suhelmi.

Tujuan mereka sebenarnya bukanlah tempat yang khusus, tetapi hanya sebuah sungai bernama Krueng Isep. Batu-batu alam yang akan mereka bawa pulang nanti pun hanya bebatuan yang dikutil di sepanjang bantaran sungai tersebut, berbeda lagi ceritanya jika yang sedang mereka cari adalah batu gunung.

Suhelmi dan teman-temannya memerlukan pahat dan palu untuk mengambilnya, karena ukuran batu gunung jauh lebih besar dari batu yang biasa mereka temukan di pinggiran sungai. Di samping itu, mereka pun harus menginap beberapa hari di dalam hutan karena batu gunung cenderung lebih sulit ditemukan termasuk juga proses pengambilannya yang membutuhkan waktu agak lama.

Suatu ketika, saat sedang memahat batu di tengah hutan, Suhelmi dan teman-temannya tiba-tiba berhenti dan saling pandang satu sama lain kemudian tertawa secara bersamaan. Seseorang rupanya sedang memahat batu di kejauhan sana yang terdengar dari gema suara pukulan benda keras di tengah rimba.

Walaupun proses pencarian batu gunung cenderung lebih sulit ketimbang batu sungai, tetapi, jika berbicara soal kualitas, maka Suhelmi lebih memilih batu sungai. Untuk batu sungai, dirinya bisa membawa pulang barang tiga atau lebih bongkahan batu dalam bentuk utuh seukuran dua kali telapak tangan orang dewasa yang ditaruh ke dalam ranselnya.

"Untuk memastikan bahwa batu itu bagus, kita terawang pakai senter, kita suluh. Kalau bagus batu akan bening atau cerah dan jelas kelihatan kristalnya. Permukaannya pun gelap, dan semakin gelap, semakin bagus. Paling kuat kita bawa pulang sebanyak tiga atau empat kilo karena beban," jelasnya.

Terkait izin untuk membawa pulang batuan-batuan alam ini, sebenarnya siapa saja boleh ambil manasuka, tidak ada larangan sama sekali. Oleh karena itu tidak pernah ada yang namanya pemeriksaan atau razia. Namun, belakangan ada rumor yang tidak terkonfirmasi bahwa terdapat ketentuan berapa bobot batu yang boleh dibawa pulang oleh para pemburu batu alam seperti Suhelmi.


Tetap Bertahan dan Menjadi Juara

Beragam jenis batu akik yang dijual oleh Suhelmi (Liputan6.com/Rino Abonita)
Beragam jenis batu akik yang dijual oleh Suhelmi (Liputan6.com/Rino Abonita)

Beberapa dari batu-batu tersebut akan dipotong-potong dadu kemudian diasah satu persatu dengan pelbagai ukuran setelah melewati tahap eliminasi, mana yang pantas dijual atau tidak, terlebih dahulu, sementara itu, sebagian lagi akan dibiarkan utuh begitu saja. Batu-batu yang dianggap bagus biasanya langsung diberi gagang.

Suhelmi saat ini memanfaatkan teras rumahnya sebagai lapak untuk mengasah serta menjual batu akik-batu akik miliknya. Rumahnya berada di Jalan Nasional, Kelurahan Kuta Padang, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh, sebuah lokasi yang dapat dikatakan strategis, karena posisinya yang menganjur keluar, satu deretan atau lebih tepatnya dihimpit oleh toko baju dan aksesoris.

Jika teliti, maka orang-orang yang berkendara lurus dari Tugu Pelor menuju ke arah gardu polantas bisa menemukan lapak milik Suhelmi yang berhadap-hadapan langsung dengan mal Meulaboh. Sebuah bufet kaca berisi batu akik pelbagai jenis dipampang menghadap ke jalan raya untuk menarik perhatian para pembeli.

"Yang ada di sini, hampir semua jenis batu. Ada kalsedon, nefrit, kecubung wulung, Idocrase, solar, Biosolar, ametis, Bacan, dan lain-lain. Yang paling orang cari, nefrit, solar, Idocrase. Harga dari ratusan ribu sampai jutaan rupiah," sebutnya.

Liputan6.com sempat bertanya apakah para pemilik toko pakaian dan aksesoris tersebut pernah mengeluh atau terganggu oleh aktivitas asah-mengasah yang dilakukan oleh Suhelmi karena mesin asah miliknya ditaruh tepat di samping toko orang lain yang cuma diberi plastik transparan sebagai pembatas sementara debu dari mesin tersebut bisa saja beterbangan mengenai barang dagangan orang lain, namun, ia menjawab dengan mantap, "tidak."

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, meredupnya animo masyarakat telah mengakibatkan penjual batu akik seperti Suhelmi harus memutar otak. Di samping kenyataan bahwa dirinya menganggap usahanya saat ini hanya sebagai hobi belaka, Suhelmi mau tidak mau harus mencari cara untuk menggaet pelanggan.

Keuntungan yang didapat saat ini pun terbilang jauh berbeda jika dibandingkan dengan beberapa tahun lalu. Jika dulu dirinya bisa mendapatkan uang berkali-kali lipat dari modal yang dikeluarkan, kini dirinya hanya mampu meraup rupiah yang tidak seberapa bahkan untuk sekelas batu Idocrase sekalipun.

"Sekarang cuma bisa dapat Rp 300 sampai 500 ribu dalam sehari. Dulu jutaan," kata dia.

Suhelmi pun tidak lagi mencari batu di bantaran sungai atau di gunung. Biasanya ada orang yang datang ke lapak miliknya untuk menjual bongkahan-bongkahan batu tersebut yang dibelinya per kilogram.

"Saya beli tergantung kualitas, sih. Paling mahal, Rp 8 sampai 10 juta. Baru-baru ini saya beli sama orang yang datang, 4 kilogram, itu Rp 8 juta," sebut Suhelmi.

Semangat Suhelmi untuk terus berkiprah di dunia batu akik pantang kendur kendati pembeli sudah berkurang jauh, terlebih apabila dirinya mendapat kabar bahwa sebentar lagi akan diadakan kontes batu akik, saat itu wajahnya langsung semringah. Lelaki ini mengaku bahwa naluri kompetisinya seperti terbakar ketika mendengar kabar bahwa tidak lama lagi akan diadakan kontes batu akik, dan ini persis ketika dirinya sedang menanti hari-hari dimulainya ajang balapan dulu.

Seperti halnya animo para pemburu batu akik, kontes yang menyaring para kolektor atau pemilik batu akik terbaik ini dulu juga sempat mati suri. Seiring dengan berkurangnya permintaan masyarakat, kontes batu akik yang pernah digelar maraton serta gila-gilaan antara tahun 2014-2015, sempat tidak diadakan sama sekali antara tahun 2016-2017.

"Namun, sejak 2018, mulai ada lagi. Ada tiga atau 4 kontes batu akik tahun itu. Dan, pada tahun 2019 ada 7 atau 8 kontes lagi. Untuk ikut kontes, kita mesti bayar uang pendaftaran terlebih dahulu, antara Rp 100 sampai Rp 300 ribu. Sementara yang ikut bisa 60 sampai 70 peserta. Saya selalu ikut, baik yang di dalam maupun luar Aceh," jelasnya.

Dalam kontes tersebut, satu orang boleh jadi akan membawa 50 sampai 100 batu akik bersamanya. Kelas yang diikutsertakan pun tidak tanggung-tanggung, lebih kurang terdapat 40 sampai 50 kelas, yang terbagi lagi ke dalam beberapa subskategori masing-masing.

"Misal, khusus untuk batu berjenis Idocrase, khusus untuk batu berjenis nefrit, solar, dan lain-lainnya. Ada lagi, misal, bentuknya, yang kecil, besar, dan sedang," tambah Suhelmi.

Selama mengikuti kontes, Suhelmi sempat beberapa kali menjadi juara dan mendapat penghargaan khususnya untuk kategori Idocrase dan solar. Dari kemenangan yang diperolehnya, Suhelmi pernah mendapat bonus uang sebanyak Rp 8 sampai 10 juta dari panitia.

"Sama Rp 5 juta juga pernah waktu kontes di Banda Aceh. Kita juga main ke luar, seperti Jakarta sama Bali, ada juara satu ada juara dua. Juara umum sekali dengan Tim Teuku Umar, kontes tahun 2019 di kafe Meulaboh. Semua kategori itu kita dapat poin, panitianya tidak menghitung satu poin saja, tapi, semua dari peserta yang ikut," Suhelmi terpaksa mengakhiri bincang-bincangnya dengan Liputan6.com karena seorang pembeli datang dan meminta lelaki berkepala plontos itu untuk segera mengasah batu akik miliknya.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya