Liputan6.com, Sampang - Setelah video pembersihan kuburan KH Ahmat Baidowi, viral di media sosial karena jasadnya masih utuh bahkan kafannya masih seperti sedia kala, Sufyan Ahmat, putra ke empat almarhum, sempat didera bimbang, antara khawatir keviralan itu memunculkan persepsi negatif atau sebaliknya justru membuat sosok Kiai Ahmat bisa menjadi suri tauladan bagi siapa pun.
Baca Juga
Advertisement
Namun, Sufyan telah memantanpakan hati. "Tapi tak apalah, semoga keviralan video itu, bisa menjadi suri tauladan bagi siapa pun, terutama bagi kami anak-anaknya," kata dia, ketika dihubungi Liputan6.com, Senin (30/11/2020).
Namun siapakah Kiai Ahmat Baidowi? Dia adalah pendiri Pondok Pesantren Dakwatut Tauhid di Desa Batoporo Barat, Kedungdung, Sampang. Ia wafat pada 2018 pada usia sekitar 90 tahun.
Sepekan setelah haul hari ke-1.000 wafatnya almarhum, makam Kiai Ahmat tiba-tiba ambles diduga karena terkikis derasnya air hujan. Ketika makam digali dan diperbaiki, saat itulah diketahui bahwa jasad almarhum masih utuh setelah wafat tiga tahun lamanya.
"Saya sendiri yang turun memastikan bahwa jasad abah masih utuh, lalu yang mengafani lagi itu (seperti dalam video) adalah dua ponakan saya," tutur Sufyan.
Dan leher Sufyan seperti tercekat. Dia tak mampu berkata-kata, ketika ditanya perasaannya tentang jenazah ayahnya yang masih utuh itu.
"Saya enggak tahu mau bilang apa. Semoga saya dan seluruh keluarga bisa mengambil hikmah di balik peristiwa ini," ucap dia.
Setelah ambles itu, keluarga ingin makam Kiai Ahmat yang terletak di pinggir jalan desa itu diperbaiki. Aparat Desa Batoporo mendukung niat tersebut.
Kepala Desa Batoporo Barat, Nurul Jadid usul agar makam Kiai Ahmat diberi bangunan semi permanen yang disebut congkop.
Congkop nantinya tidak hanya membuat makam aman dari longsor, tetapi memudahkan masyarakat ketika datang berziarah.
Simak Video Pilihan Berikut:
Ulama yang Penyayang
Tak seperti kebanyakan ulama yang menimba ilmu kepada banyak guru. Ahmat Baidowi muda hanya nyantri di Pesantren Prajjan, Camplong.
Di sela-sela mengaji, ia mendapat tugas khusus menggembala kambing milik gurunya.
Selama nyantri di sana, perutnya pun lebih sering lapar ketimbang kenyang karena jarang dikirim uang oleh orangtuanya.
"Abah pernah cerita, kalau sudah lapar, beliau akan mengganjal perutnya dengan batu yang disimpan dalam gulungan sarungnya," ungkap Sufyan Ahmat.
Selepas menimba ilmu di pesantren, Ahmat Baidowi pulang ke Batoporo Barat dan mengajar hingga mendirikan Pondok Pesantren Dakwatut Tauhid yang kini diteruskan putra-putranya.
Sufyan menambahkan, bila jasad orang meninggal masih utuh adalah pertanda amal perbuatannya diterima oleh Yang Maha Kuasa. Yang paling dikenang Sufyan tentang sosok ayahnya, selain bahwa ayahnya seorang muqoddam tarekat An Naqsabandiyah, semasa hidup, Kiai Ahmat dikenal sebagai orang yang penyayang dan sangat rendah hati.
Dua sifat itu, tak hanya ditunjukkan Kiai Ahmat kepada orang dewasa, tetapi juga ke pemuda hingga anak kecil di mana pun berjumpa.
"Abah kalau ketemu orang, tak hanya salaman tapi sering memeluk orang itu. Kalau di jalan ada anak kecil, abah tak sungkan bersalaman serta berucap permisi di mana pun," tutur Sufyan.
Kepala Desa Batoporo Barat, Nurul Jadid yang cukup dekat dengan Kiai Ahmat membenarkan cerita ini. Bila ia sowan, Kiai Ahmat pasti memeluknya, kemudian bertanya kabar dan mendoakannya.
"Beliau sosok yang penyayang. Saya tahu betul karena cukup dekat dengan beliau. Empat tahun sebelum beliau wafat, aura penyayangnya tampak sekali," kenang Nurul Jadid.
Advertisement
Sumur Kiai Ahmat
Terletak di Kecamatan Kedundung. Secara Geografis, Desa Batoporo Barat termasuk wilayah yang gersang dan sulit air saat kemarau. Namun, kondisi ini justru menampakkan salah satu sisi keistimewaan Kiai Ahmat Baidowi.
Meski tak pernah belajar tentang ilmu pertanahan. Semasa hidupnya Kiai Ahmat dikenang sering menggalikan sumur di rumah-rumah warga yang kesulitan air bahkan tanpa diminta.
Kepala Desa Batoporo Barat Nurul Jadid mengaku dua kali menyaksikan sendiri saat Sang Kiai menggali sumur hanya dibantu pemilik rumah.
Tak ada ritual khusus ketika mata air. Kiai Ahmat biasanya hanya mendatangi rumah warga begitu saja, kemudian langsung menunjuk lokasi sumur yang akan digali.
Anehnya, kata Nur, sumber air sudah muncul pada kedalaman dua atau tiga meter. "Banyak, beliau banyak membuat sumur untuk membantu warga," kata dia.
Soal sumur itu, Sufyan juga membenarkan. Dia memperkirakan jumlahnya lebih dari seratus sumur.
Sebagian besar sumur itu masih digunakan hingga kini, walau sebagian sudah tidak dipergunakan, sejak ada program pipanisasi air dari desa langsung ke rumah warga.
"Warga menamai sumur-sumur itu dengan nama abah. Sumurnya Kiai Ahmat," kenang Sufyan.