Hikayat Kitab Sakti Rujukan Kiai dan Santri di Pesantren

Keberadaan kitab kuning bagi para kiai dan santri di kalangan pesantren memang seolah jendela utama dalam mendalami ilmu agama bagi mereka.

oleh Jayadi Supriadin diperbarui 22 Mar 2019, 05:30 WIB
Diterbitkan 22 Mar 2019, 05:30 WIB
Beberapa contoh wafak yang berasal dari kitab kuning
Beberapa contoh wafak yang berasal dari kitab kuning (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Garut - Kitab kuning klasik, yang biasa dikaji kalangan pesantren tradisional Garut, Jawa Barat, dan wilayah Indonesia lainnya, seolah menjadi pedoman yang tak tergantikan bagi kalangan santri.

Namun dari jumlah itu, ada beberapa kitab kuning "sakti" yang selalu menjadi rujukan para kiai dan santri, untuk mengamalkan ilmu hikmah mereka.

Isi kitab itu biasanya banyak memuat soal wafak, isim, atau ajimat lain, yang bisa digunakan untuk memohon keberkahan. Mulai rezeki, asihan, jodoh, jabatan hingga kesaktian.

Kiai Haji Agus, salah satu pengurus Nahdlatul Ulama Garut mengatakan, sejak dulu rujukan utama ilmu agama yang digunakan kalangan pesantren tradisional berasal dari kajian kitab kuning. 

"Kenapa demikian?  Karena jelas sanad (asal-usul) dari kitab tersebut, hingga memberikan penjelasan yang lengkap bagi masyarakat," ujarnya saat ditemui Liputan6.com, Kamis (21/3/2019) petang. 

Menurut Agus, keberadaan kitab kuning bagi para kiai dan santri di kalangan pesantren, memang seolah jendela utama dalam mendalami ilmu agama bagi mereka.

"Dulu para kiai, santri, dan masyarakat mengusir penjajah berdasarkan ilmu yang pasti dari kitab kuning itu, bukan jampi atau lainnya," kata dia. 

Khusus kitab kuning "sakti" untuk mengajarkan berbagai ilmu agama, terutama kepentingan hikmah, ada beberapa rujukan relevan yang masih digunakan hingga kini. "Sebagian besar sanadnya berasal Iman Ghozali dan Syeh Abdul Qodir Aljailani," kata dia.

Bahkan, untuk kepentingan santri dan tamu yang membutuhkan bantuannya, Agus tak sungkan mengeluarkan beberapa kitab "sakti" di pesantren tersebut. "Sebenarnya banyak, tetapi minimal lima kitab ini yang biasa dipelajari dan digunakan," kata dia.

Pertama, kitab Syamsul Maarif Kubro. Kedua, Abu Masar Al Aufa. Ketiga, Majmuah, Kitab Tanjul Muluk. "Biar tertib, diusahakan ngajinya berurutan dari satu dua dan seterusnya biar nyambung," ujar Agus menerangkan. 

Dalam praktiknya, kelima kitab kuning klasik itu digunakan sesuai fungsi dan kebutuhan, mulai doa untuk mencari rezeki, jodoh, pengaruh, jabatan, hingga soal kesaktian, yang bisa digunakan untuk menjaga diri pribadi dan keluarga.

"Tentu ada ritual khusus yang dilakukan sesuai yang dibutuhkan," ujarnya. 

Agus meyakinkan jika seluruh doa, ajimat, yang ataupun sumber doa yang akan digunakan untuk wafak, sumber utama rujukannya berasal dari kitab suci Al-Quran, bukan jampi atau mantra buatan manusia. "Bahkan membacanya pun dapat nilai ibadah, " kata dia. 

Bagi Anda yang memiliki minat untuk mengkaji kita kuning ‘sakti’ tersebut, Agus meminta agar keyakinan yang ada harus difokuskan untuk beribadah kepada Allah. “Kitab itu wasilah atau jalan syariat bukan tujuan utama, paling utamanya tentu percaya kepada pertolongan Allah,” ujarnya.

Cara Mempelajari Kitab Kuning

Beberapa kitab kuning 'sakiti' yang kerap digunakan untuk ilmu hikmah
Beberapa kitab kuning 'sakiti' yang kerap digunakan untuk ilmu hikmah (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Bagi kalangan pesantren atau kaum santri, mempelajari kitab kuning adalah kewajiban. Tak mengherankan beberapa pola dan strategi untuk mempelajari kitab kuning diberikan pesantren. "Intinya agar santri memahami isi kitab kuning yang gundul dengan teliti," ujar.

Agus menerangkan, untuk mempelajari dan memahami kitab kuning, terutama untuk kepentingan hikmah, ia menyarankan agar para santri atau masyarakat umum, memiliki pemahaman soal gramatikal bahasa Arab.

"Karena hurupnya gundul ya harus bisa nahwu dan sorof, kalau tidak bisa sulit," ujar dia mengingatkan.

Kitab kuning yang diaji dalam mempelajari ilmu hikmah, rata-rata berasal dari pengarang sufi zaman dulu yang hidup pada abad VI hingga XI Hijriah. "Bukan kitab sekarang yang dibuat kekinian, tetapi memang sudah lama," ujarnya.

Tidak hanya itu, seluruh santri dan mereka yang akan mempelajari kitab secara autodidak, diwajibkan memiliki dasar keyakinan yang kuat. “Dan ingat mempelajari ilmu hikmah itu harus ada guru atau mursidnya, sehingga ada yang membimbing,” ujarnya mengingatkan.

Dengan upaya itu, maka seluruh ilmu hikmah yang dipelajari dari kita kuning ‘sakti’ itu memiliki asal-usul yang jelas, dalam mengamalkan ke masyarakat. "Tidak asal mengkaji, nanti jika sudah khatam ada istilah ijazah (menurunkan), apakah kiai atau gurunya ikhlas tidak," kata dia.

Tak mengherankan dalam metode mempelajari ilmu hikmah dari kitab kuning, membutuhkan kesadaran dan pemahaman agama yang memadai,dari mereka yang akan mempelajarinya. "Tidak sembarangan, asal buka kitab diamalkan, tetapi ada ritual dulu," ujarnya.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya