Liputan6.com, Bandung - Selama lima tahun terakhir, luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Jawa Barat mencapai lebih dari 100 ribu hektare. Data terbatas ini hanya merujuk laman sistem pengawasan karhutla atau SiPongi, Direktorat jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, Jumat (30/4/2021).
Belakangan, kebakaran hutan disebut rentan terjadi di sejumlah gunung di Jawa Barat. Penyebabnya diduga karena sejumlah faktor, dari mulai kelalaian para pendaki, petugas, masyarakat umum, hingga disinyalir sengaja disulut untuk kepentingan pembukaan pariwisata.
Advertisement
Baca Juga
Hal tersebut diungkap oleh aktivis lingkungan dari Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Jawa Barat, Dedi Gjuy Kurniawan. Kobaran api itu, kata Dedi, terjadi di sejumlah gunung seperti Kareumbi, Ciremai, Burangrang, Guntur, Panpandayan, hingga Tangkuban Perahu.
Dedi mengatakan, dalam pantauan FK3I titik mula api biasa ditemukan di jalur-jalur pendakian. Berdasarkan temuan itu, bisa saja kebakaran hutan dipantik oleh kebiasaan akut yang dianggap sepele, membuang sampah sembarangan.
"Bisa saja pendaki, petugas atau masyarakat lalai, membuang kertas, kaca, kaleng, atau sampah lainnya yang kemudian menjadi pemantik api," ungkapnya, ditemui Liputan6.com, di sela acara Fundemi Konservasi II, di Kedai Kopi 08, Juanda, Bandung, Rabu malam (28/4/2021).
Dalam amatan Dedi, di samping terjadi di jalur pendakian, kebakaran hutan juga kerap bermula akibat aktivitas pemburu. Sepengetahuannya, mereka biasa bermalam di hutan, menyisakan sisa pembakaran dan sampah.
"Contoh di Kareumbi, dugaan kami bukan pendaki karena itu bukan jalur pendakian, melainkan pemburu liar. Biasanya, mereka masuk ke sana, berburu, dan tidur di hutan. Nah, ada bekas api, sampah dan sebagainya," dia mengungkapkan.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Minim Mitigasi dan Kajian
Dedi juga menyebut ada indikasi pembakaran yang disengaja untuk kepentingan pembukaan kawasan pariwisata, beberapa titik di kawasan Bandung Selatan, misalnya di sekitar Kawah Putih, Ciwidey.
Dedi menuturkan, di kawasan wisata tersebut kini berdiri bangunan di lokasi yang sebelum bagian dari areal yang sebelumnya terbakar. "Indikasinya, kalaupun kepentingan investor di Jawa Barat itu lebih pada jasa pariwisata," katanya.
Pendapat Dedi, latar belakangnya cukup jelas. Dugaan pembakaran guna kepentingan pariwisata dilakukan sebagai cara mengakali aturan yang melarang perubahan fungsi kawasan. Dibanding menebang, membakar hutan atau lahan bisa jadi dianggap cara aman pembukaan lahan.
"Kalau dibakar kan jadinya tidak mengubah fungsi, tapi fungsinya memang (rusak) terbakar. Kalau sudah kebakaran, ya, mudah untuk dimanfaatkan (diubah fungsi)," katanya.
"Penebangan akan menjadi perhatian luas di masyarakat. Jangankan di hutan, bahwa di kota jika sebuah pohon menghalangi hotel, pohon itu akan disuntik racun agar tidak mengganggu pemandangan reklame. Ini indikasi, suuzan (prasangka buruk) yang semoga tidak benar," imbuh Dedi.
Sedangkan, mitigasi dan pencegahan kebakaran hutan di Jawa Barat dinilai minim, juga nyaris tak ada kajian komprehensif ihwal pascakebakaran. Dedi mengingatkan, kondisi ini harus dibenahi.
"Upaya mitigasi nyaris tidak ada. Upaya yang dilakukan KLHK, UPT-nya BBKSDA (Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam) Taman Nasional, punya fungsi membentuk masyarakat peduli api dan masyarakat mitra polhut (polisi hutan). Tapi, kalaupun sudah dibentuk mereka tidak mengerti, dikasih pelatihan tapi kemudian tidak diurus," katanya.
Padahal, pelibatan masyarakat dinilai penting baik pada tataran pencegahan maupun penanganan. BBKSDA mesti bersinergi dengan masyarakat. Di antaranya melakukan edukasi dengan serius agar masyarakat bisa merasa memiliki dan berkepentingan akan kawasan.
Kajian komprehensif terkait faktor-faktor kebakaran pun dianggap sangat minim. Padahal, kajian dibutuhkan agar nanti hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai dasar perencanaan pencegahan dan penanggulangan. Persoalan ini, hemat Dedi, terpengaruh akibat terbatasnya jangkauan pengawasan.
"Direktoratnya itu ada di Jawa-Bali khusus untuk kebakaran, Dirjen PPI dan Karhutla (Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan). Penting sekali untuk ada tingkat tapak, misalnya, ada Balai PPI dan Karhutla tingkat Jabar. Kalau sekarang, lima provinsi satu balai. Kira-kira, apakah pada saat kebakaran akan dia kaji?," katanya.
Dedi menegaskan, kebakaran hutan itu diyakini akibat ulah tangan manusia. Pasalnya, hutan tropis jarang sekali memiliki sifat alamiah terbakar sendiri secara tiba-tiba. Hutan tropis memiliki sistem hidrologi yang tinggi.
"Hutan tropis tidak mudah terbakar, tapi kalau dibakar mudah," kata Dedi.
"Kebakaran itu kesalahan manusia, terlepas sebagai institusi, korporasi maupun individu-individu," kata dia lagi.
Advertisement
Indonesia Kehilangan Hutan Seluas Delapan Kali Bali
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Muhammad Iqbal Damanik menyebut, berdasarkan riset Greenpeace sejak 2015 hingga 2019, seluas 4,4 juta hektare hutan di Indonesia sudah hangus dilahap api. Dalam kurun tersebut, Indonesia kehilangan hutan setara delapan kali pulau Bali.
Dari total luas yang hangus, kata Iqbal, sekitar 1,3 juta hektare atau 30 persen kebakaran terjadi di kawasan-kawasan konsesi perusahaan sawit serta perusahaan bubur kertas.
Iqbal menyampaikan, pola waktu kebakaran hutan di sejumlah provinsi sebetulnya terpetakan. Di daerah Riau, misalnya, kebakaran kerap terjadi pada rentang awal kemarau, Januari hingga Maret. Selanjutnya, kembali berlangsung pada Mei hingga September.
Di titik lain, kebakaran hutan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan biasanya pada kurun Juni hingga Oktober, sementara Jambi dari Juni hingga September.
"Artinya apa? Artinya, pemerintah sebenarnya sudah tahu kapan akan kebakaran," katanya. Dengan pemahaman pola waktu demikian, pemerintah seharusnya bisa lebih mengupayakan mitigasi dan pencegahan, maupun penanganan.
Iqbal menjelaskan, luasnya kebakaran hutan yang terjadi dipicu potensi kekeringan karena perubahan iklim dan persoalan kawasan gambut yang juga mengering sebagai dampak dari perkebunan industri.
"Semakin kering lahan gambut semakin mudah terbakar," katanya.
Menjaga Gambut
Oleh karena itu, menjaga kelembaban gambut agar tidak mudah terbakar menjadi sangat krusial. Pemerintah disebut memiliki kewenangan untuk menentukan mana lahan gambut yang bisa dikonsesi dan yang tidak, mengatur agar tidak semua lahan dibudidayakan.
"Gambut itu ekosistem, KHG (Kesatuan Hidrologis Gambut). Jadi, kalau satu terganggu yang lain terganggu. Gambut itu seperti kubah yang terisi oleh air, kalau satu kering maka sebelahnya ikut kering," ujarnya.
Gambut tidak akan mudah terbakar ketika kelembabannya baik. Lebih jauh, kata Iqbal, jika benar-benar diurus gambut potensial sebagai sumber mata air masa depan.
Di samping itu, kebakaran hutan juga dipicu oleh aktivitas berburu. Iqbal mencontohkan, di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, pemburu disebut kerap membakar lahan ilalang guna memancing buruan. Setelah dibakar lalu diguyur hujan, sambung Iqbal, akan tumbuh pucuk rumput baru yang mengundang rusa, lalu predator pun akan datang.
"Itu salah satu cara kriminal para pemburu," jelasnya.
Persoalan kebakaran hutan diakui sangat holistik, dibutuhkan peran dari semua, memang tidak hanya pemerintah. Setiap lapisan, penting untuk memikirkan langkah apa yang bisa dilakukan untuk mencegah timbulnya titik api.
"Namun, karena pemerintah punya kewenangan dan anggaran besar wajar kalau kita kritik pemerintah supaya bisa melakukan pencegahan lebih masif. Sehingga target emisi dan ruang hidup layak bisa dipenuhi," tegasnya.
Media Mesti Bicara
Dalam konteks kebakaran hutan, secara tidak langsung, media disebut terlibat melanggengkan titik bara ketika tidak memberitakan informasi dengan tepat. Media dinilai kerap mengerdilkan persoalan kebakaran hutan dengan meliputnya sebatas peristiwa belaka.
Kepala Departemen Komunikasi Massa, Fakultas Komunikasi Unpad, Herlina Agustin berpendapat, media sebetulnya bisa lebih jauh berbuat. Menilik persoalan secara dalam dan kritis, menyingkap apa yang ada di balik kabut asap.
Mampu menggelar dialog dalam rangka mencari solusi, serta punya daya desak terhadap pemerintah dalam mengambil kebijakan.
"Harusnya memberitakan hal yang tepat dan komprehensif. Sekarang media hanya mengangkat (kebakaran sebagai) peristiwa, bukan sebagai yang mengancam kehidupan masyarakat, mengancam bumi," katanya.
Dalam analisis Herlina, tumpulnya media tak terlepas dari kelindan gurita bisnis para pemilik media. Herlina menyebut, tak sedikit bos media yang berinvestasi du bisnis yang berujung deforestasi.
Jika media jadi irit bicara, maka jagat media sosial akhirnya dinilai patut dimanfaatkan sebagai saluran alternatif untuk mengampanyekan kelestarian hutan.
"Semoga banyak netizen lebih cerdas, mau belajar soal lingkungan, soal kesehatan, untuk kemudian mendesak pemerintah membuat kebijakan yang ramah lingkungan," katanya.
"Jangan sampai kebijakan itu muncul setelah terjadi bencana berkali-kali. Tapi, saya lihat bencana itu sudah banyak, dan pemerintah tidak berubah, ya," dia menegaskan.
Advertisement