'Malamang', Tradisi Warga Minang yang Tak Lekang Dimakan Zaman

Malamang tradisi turun temurun warga Minang.

oleh Novia Harlina diperbarui 13 Mei 2021, 12:00 WIB
Diterbitkan 13 Mei 2021, 12:00 WIB
Warga Kecamatan Pauh malamang atau membuat lemang menyambut Hari Raya Idul Fitri. (Liputan6.com/ Novia Harlina)
Warga Kecamatan Pauh malamang atau membuat lemang menyambut Hari Raya Idul Fitri. (Liputan6.com/ Novia Harlina)

Liputan6.com, Padang - Lebaran tiba, saatnya bagi warga Minangkabau untuk malamang. Malamang adalah salah satu kebiasaan masyarakat menyambut hari raya.

Malamang dalam bahasa Minangkabau berarti membuat lemang. Tak seluruh daerah di Sumatera Barat punya tradisi ini, hanya beberapa kabupaten dan kota saja, seperti Padang Pariaman, Pariaman, Padang, dan sejumlah daerah lain.

Menjelang Hari Raya Idul Fitri 1442 Hijriah ini, masyarakat di sejumlah daerah tersebut sudah malamang sedari pagi.

Salah seorang warga Kelurahan Lubuk Minturun, Kecamatan Koto Tangah Kota Padang, Elmi (48) mengatakan dirinya dan keluarga sudah beres malamang.

"Sudah selesai, setiap tahun kami malamang untuk menyambut lebaran," ujarnya, Rabu (12/5/2021).

Ia menyebut, lemang yang sudah dimasak ini nantinya akan dibawa ke rumah sanak saudara dan juga mertua, setelah melaksanakan salat Idul Fitri.

Proses membuat lemang hingga matang bisa memakan waktu sekitar lima jam, dengan api kecil dan bisa tiga jam dengan api yang besar, namun bambu akan cepat hitam.

Saat ini, lemang tak hanya rasa original yakni beras ketan dan santan, tetapi juga terdapat beberapa varian lain yakni rasa pisang, lamang galamai yang terbuat dari tepung beras.

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

Asal Mula Malamang

Banyak tetua bilang, tradisi malamang telah berlangsung sejak ratusan tahun silam dan diwariskan secara turun temurun sampai sekarang.

Menurut Tambo atau kisah yang meriwayatkan tentang asal usul dan kejadian masa lalu di Minangkabau, tradisi malamang bermula saat Syekh Burhanuddin rajin berkunjung ke rumah-rumah penduduk untuk bersilaturahmi dan menyiarkan agama Islam.

Oleh warga, beliau sering disuguhi makanan. Namun, sepertinya Syekh Burhanuddin agak meragukan kehalalan makanan yang dihidangkan.

Ia pun menyarankan kepada setiap masyarakat yang dikunjunginya agar mencari bambu, lalu mengalasinya dengan daun pisang muda. Beras ketan putih dan santan lalu dimasukan ke dalamnya, kemudian dipanggang di atas tungku kayu bakar.

Syekh Burhanuddin menyarankan kepada setiap masyarakat agar menyajikan makanan lamang ini menjadi simbol makanan yang dihidangkan dalam silaturahmi.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya