Liputan6.com, Jakarta - Kamis 3 Juni 1994 menjadi hari yang kelam bagi warga Banyuwangi. Saat mereka terlelap, gelombang tsunami setinggi 7 meter datang menghantam pesisir selatan Jawa Timur. Kawasan pesisir Banyuwangi menjadi titik lokasi yang paling parah terdampak.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut, tsunami Banyuwangi 1994 dipicu gempa bumi tektonik yang berpusat di Samudera Hindia. Gempa terjadi pada Kamis 2 Juni 1994, sekitar pukul 18.00 WIB.
Advertisement
Usai gempa warga menyaksikan air laut surut hingga malam, suatu pemandangan aneh, karena biasanya air laut akan naik di malam hari. Tak disangka air laut tumpah ke perkampungan mereka. Pemukiman penduduk dan pantai-pantai rata dengan tanah. Tercatat 250 orang meninggal dunia dalam peristiwa nahas itu.
Advertisement
Jika dirunut, selain tsunami Banyuwangi 1994, tercatat ada 10 tsunami lain yang pernah terjadi di selatan Pulau Jawa. Yang paling jauh terjadi pada 1818 di Banyuwangi, Bantul (1840), Tulungagung (1859), Kebumen (1904), Jember 1921), Pangandaran (1921), Banyuwangi (1925), Purworejo (1957), Pangandaran (2006), dan selatan Jawa Barat (2009).
Masyarakat perlu menyadari, Indonesia negara kepulauan yang terletak persis di pertemuan empat lempeng tektonik, yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia, dan lempeng Samudera Pasifik. Tak hanya itu, pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau Sumatera, melintasi Pulau Jawa, hingga ke Sulawesi. Hal ini yang menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara paling rawan gempa bumi. Dan jika itu terjadi di tengah laut, akan berpotensi menjadi tsunami.
Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tsunami yang terjadi di Indonesia kebanyakan disebabkan gempa-gempa tektonik yang terjadi di sepanjang daerah subduksi dan seismic aktif. Tercatat, selama kurun waktu tahun 1.600 hingga 2.000 terjadi 105 peristiwa tsunami yang 90 persen di antaranya disebabkan gempa tektonik, 9 persen letusan gunung berapi, dan sisanya karena tanah longsor.
Sadar akan hal itu, BMKG terus mengingatkan warga, terutama yang berada di kawasan pesisir untuk lebih waspada terhadap potensi gempa bumi yang sewaktu-waktu bisa menimbulkan tsunami dahsyat.
Kepala BMKG Stasiun Geofisika Malang Ma’muri, saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (14/10/2021) mengatakan, di pesisir Jawa Timur misalnya, ada potensi gempa besar Magnitudo 8,7 yang bisa berdampak , dan ini perlu diwaspadai.
"Tapi bukan berarti di selatan Jawa Timur itu tiap seratus tahunan ada gempa. Tapi memang ada metode untuk menghitung periode ulangnya. Itu juga tidak pasti kebenarannya," katanya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Modeling Jika Gempa Magnitudo 8,7 Terjadi
BMKG sudah mengeluarkan juga kajian yang menyebut ada potensi gempa besar di selatan Jawa Timur, bahkan sebenarnya bukan hanya di selatan Jawa Timur, tapi juga di seluruh Indonesia. Ma’mur menyebut, berdasarkan kajian para ahli dan buku Pusat Studi Gempa Bumi Nasional tahun 2017, disebutkan ada potensi gempa Magnitudo 8,7 di selatan Jawa Timur.
'Kapan terjadinya, tidak ada yang tahu, tapi memang ada potensi seburuk itu," katanya.
Memang tidak ada yang tahu pasti kapan bencana akan terjadi, namun demikian, Ma’mur mengambil kemungkinan terburuk jika gempa Magnitudo 8,7 benar-benar terjadi, gelombang tsunami seperti apa yang bakal melanda pesisir Jawa Timur?
Ma’mur kemudian melakukan modelling tsunami. Tujuannya agar pemerintah daerah pemda benar2 siap menentukan jalur dan titik evakuasi yang benar-benar aman. Dan menentukan titik evakuasi akhir yang benar-benar aman.
"Makanya kemarin itu di Tulungagung saya melakukan verifikasi di Pantai Popoh. Ternyata dari hasil survei itu, pemda sudah ploting jalur evakuasinya. Dan ternyata kita cek, berdasarkan hasil modelingnya kan di Tulungagung tsunaminya kurang lebih 24-27 meter di bibir pantai. Waktu tibanya itu sekitar 27-30 menit setelah gempa," katanya.
Dari situ, Ma’mur melihat ternyata di Pantai Popoh, kira-kira saat dimodelingkan, rendamannya itu cukup tinggi, yaitu sekitar 22 meter. Ma’mur kemudian menghitung berapa waktu yang diperlukan warga untuk sampai ke titik evakuasi paling aman jika kemungkinan terburuk itu benara-benar terjadi.
"Setelah kita hitung, di Pantai Popoh, untuk sampai di titik evakuasi teraman butuh waktu sekitar 15 menit. Artinya masih cukup waktu bagi masyarakat untuk masuk ke jalur evakuasi. Itu jalan lambat, kalau dalam keadaan panik secara bergerombol itu akan lebih cepat," katanya.
Usai sampai di titik evakuasi, pemerintah daerah juga perlu memastikan titik itu benar-benar menjadi lokasi paling aman, mengingat rendaman air di lokasi itu berpotensi mencapai 22 meter.
"Nah saya mau luruskan, yang siklus 100 tahunan ini bukan di selatan Jawa Timur. Seperti yang heboh dibicarakan media-media, saya hanya memberi contoh ke media," katanya.
Meski begitu Ma’mur tidak menampik ada cara penghitungan gempa menggunakan periode ulang, ada yang seratusan, ada yang dua ratusan. Tapi tidak ada orang yang bisa memastikan kapan bencana itu akan terjadi. Makanya BMKG melakukan modelling dengan melihat survei di lapangan, topografinya seperti apa, dan dilakukan di semua wilayah Indonesia.
"Modeling tsunami ini dibuat untuk memudahkan pemda melakukan langkah mitigasi. Kalau tiak ada modelling seperti ini, kita akan bingung saat evakuasi," katanya.
Ma’mur menegaskan, modelling tsunami yang dilakukan ini sifatnya bukan untuk menakuti masyarakat. Namun tujuannya lebih kepada untuk menyiapkan mitigasinya, dan mengingatkan masyarakat bahwa ada potensi ini.
'Mudah-mudahan masyarakat sekarang sudah lebih teredukasi dengan ini semua. Ini adalah potensi, artinya bisa terjadi, bisa juga tidak," katanya.
Advertisement
Strategi Mitigasi
Ma’mur menilai, secara umum mitigasi yang dilakukan berbagai pemerintah daerah di Jawa Timur saat ini sudah bagus. Jalan evakuasi kebanyakan sudah beraspal, meski ada beberapa pesisir yang masih belum. Masyarakat di lokasi juga sudah mulai teredukasi dan mengetahui apa yang harus dilakukan saat terjadi gempa yang menimbulkan tsunami.
"Tapi kita sebagai pemda atau BMKG perlu terus mengingatkan, jangan sampai masyarakat lupa lagi. Edukasi secara kontinyu itu yang perlu dilakukan," katanya.
BMKG juga telah menyiapkan early warning system berupa sirine tsunami yang bakal berbunyi jika potensi itu ada. Ma’mur mengharapkan masyarakat merawat dengan baik sistem peringatan dini yang ada. Mengingat pihaknya selalu merawat dan melakukan simulasi setiap bulan. Pihak pemerintah daerah juga perlu turun tangan merawat dan memastikan sistem peringatan dini itu berfungsi dengan baik.
"Jangan sampai saat bencana terjadi, sistem tidak berfungsi, itu kan yang sering terjadi," katanya.
Dalam upaya memitigasi potensi megabencana itulah BMKG proaktif melakukan sosialisasi lapangan ke daerah-daerah rawan tsunami. Di Jawa Timur mulai Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang, Jember hingga Banyuwangi.
"Kami langsung turun lapangan guna melakukan verifikasi jalur evakuasi dan titik evakuasi akhir yang sudah ada di masing-masing daerah," ujarnya.
Hasilnya, lanjut dia, sejauh ini hampir semua daerah telah memiliki pemetaan dan sarana pendukung jalur evakuasi serta titik evakuasi dirasa sudah aman.
"Kami ukur ketinggiannya ternyata sudah aman dari tsunami," katanya.
Selain jalur evakuasi, yang terpenting menurut Ma'muri adalah edukasi terhadap masyarakat saat terjadi tanda-tanda bencana.Khusus untuk tsunami, masyarakat diharapkan mengingat rumus 20 20 20.
Rumus ini berarti, jika terjadi gempa lebih dari 20 detik, warga punya waktu 20 menit untuk mengungsi ke tempat dengan ketinggian di atas 20 meter.
"Edukasi 20 20 20 tepat, tapi yang terpenting harus secara kontinyu (berkelanjutan), sebab terjadinya kapan kita tidak tahu," katanya.
Potensi Bukan Prediksi
Sementara itu, Plt Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari, saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (14/10/2021) mengatakan, sebelum jauh bicara mitigasi, semua pihak harus tahu dulu karakteristik bahaya tsunami.
"Tidak cuma berapa tinggi tsunaminya, tapi juga di situ periode ulangnya berapa. Karena ini akan menentukan bentuk mitigasi seperti apa yang akan kita upayakan,” katanya.
Muhari mengatakan, dalam mengambil kebijakan penanggulangan bencana tsunami, BNPB selalu menggunakan data-data GPS dan data-data titik episenter gempa untuk bisa menentukan berapa energi tsunami yang dibawa. Olah data ini yang kemudian menjadi hitung-hitungan potensi, bukan prediksi seperti yang ramai dibicarakan belakangan.
"Kita juga menghitung ulang, mempelajari ulang, episenter-episenter kecil titik-titik gempa. Dapatlah kita dua segmen yang berpotensi menimbulkan tsunami, di sebelah selatan Banten itu 8,8 dan di pesisir selatan Jawa Timur bisa 8,9. Tapi ini yang perlu dijelaskan, magnitude sebesar itu bisa tercapai kalau pergerakan lempeng ini tidak lepas selama minimal 400 tahunan," kata Muhari.
Yang menjadi masalah, kata Muhari, Indonesia kekurangan informasi sejarah kejadian bencana tsunami atau gempa besar yang pernah terjadi di selatan Jawa. Sehingga sangat sulit untuk menentukan periode gempa. Kemungkinan lain yang bisa terjadi adalah, belum sampai periode tertentu, namun energinya sudah dilepas.
"Misal harusnya 400 tahun tapi baru 100 tahun energinya sudah dilepas, itu bisa saja terjadi, tapi kekuatannya tentu tidak sebesar jika 400 tahun," katanya.
Advertisement
Mitigasi Berbasis Vegetasi
Muhari lalu mempertanyakan, mitigasi untuk tsunami sebesar apa yang akan dirancang? Jika di media heboh ada yang mengatakan potensi tsunami 20 meter, hingga saat ini bahkan di Jepang sekalipun, belum ada teknologi mitigasi yang mampu menahan tsunami lebih dari 20 meter. Sehingga jika bicara mitigasi maka kita harus melihat most probable event (potensi yang paling mungkin terjadi). Paralel dengan mitigasi BNPB juga melakukan upaya kesiapsiagaan seperti penyiapan sarana dan prasarana evakuasi.
Belajar dari pengalaman buruk tsunami 1994 yang terjadi di Jawa Timur dan 2006 di Jawa Barat. Dari situ bisa diolah data untuk menemukan berapa tinggi air saat masuk daratan.
"Di Jawa Timur 1994 paling tinggi maksimal 12 meter, rata-rata sampai ke darat 4-5 meteran. Pangandaran maksimal 14 meter, sampai ke darat 4-5 meter. Jadi kita bisa ambil rata-rata yang harus kita mitigasi ketinggian 5-6 meter. Karena itu yang paling mungkin terjadi," katanya.
Lalu strategi mitigasi seperti apa yang bisa dilakukan? Muhari mengatakan, yang paling mungkin untuk saat ini adalah opsi mitigasi berbasis vegetasi. Itu menjadi opsi terbaik ketimbang membuat tanggul raksasa penahan tsunami. Mengingat struktur beton setelah 30 tahun fungsinya tidak lagi optimal.
"Jepang itu bangun tembok laut 1960, begitu masuk awal 2000 mereka bongkar bangun lagi yang baru. Artinya itu cuma satu generasi. Kalau kita bicara tsunami misal periode ulangnya 100 tahun, sudah habis nilai fungsinya. Tapi kalau kita bicara vegertasi, kita tanam cemara, pandan laut, mangrove. makin lama rantingnya makin rapat, makin mampu mengurangi daya rusak gelombang tsunami," katanya.
Muhari lalu menceritakan sebuah desa di selatan Tanjung Lesung, yang tidak terkena dampak signifikan saat tsunami Krakatau menerjang kawasan itu. Pasalnya ada hutan pantai setebal 180 meter yang melindungi desa itu. Saat tinggi gelombang tsunami sekitar 4 meter melanda, yang masuk ke pemukiman warga di desa tersebut hanya sekitar 30-40 cm.
"Dia naiknya kayak banjir dan tidak merusak. Tapi hutan pantainya hancur, energi tsunaminya kurang jauh. Rumah di desa itu semuanya dari bamboo tapi gak ada yang rusak," kata Muhari.
Inilah yang kemudian dilakukan BNPB, yaitu melakukan mitigasi vegetasi di banyak tempat dan lokasi yang berpotensi tsunami. Selain juga berkolaborasi dengan BMKG dan pemerintah daerah setempat untuk membangun jalur evakuasi yang terstruktur.
"Ke depan kita maunya itu tidak ada lagi sirene, tidak ada lagi namanya pengeras suara, kita maunya nanti lewat hape. Jadi tiap orang yang di radius tsunami akan otomatis mendapat peringatan langsung melalui ponsel saat potensi itu muncul. Mudah-mudahan ini bisa terealisasi sekitar 3-4 tahun lagi," katanya.
Infografis
Advertisement