Tuntut Kenaikan Upah Minimum 10 Persen, Buruh di Jabar Ancam Mogok Kerja

Serikat buruh di Jabar sepakat untuk melakukan mogok daerah dan nasional apabila tuntutan upah minimum tahun 2022 sebesar 10 persen tidak dikabulkan pemerintah.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 17 Nov 2021, 13:00 WIB
Diterbitkan 17 Nov 2021, 13:00 WIB
KASBI
Ratusan buruh yang tergabung dalam Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) menyerukan sepuluh tuntutan rakyat (sepultura) dalam rangka memperingati ulang tahun World Federation of Trade Unions (WFTU) di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Kamis (14/10/2021). (Foto: Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Bandung - Serikat buruh di Jawa Barat (Jabar) sepakat untuk melakukan mogok daerah dan nasional apabila tuntutan upah minimum tahun 2022 sebesar 10% tidak dikabulkan pemerintah. Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP TSK SPSI) Roy Jinto mengatakan, aksi mogok kerja akan dilakukan di Jabar pada awal Desember 2021.

"Mogok akan kita lakukan sebelum penetapan upah minimum tahun 2022 dan di bulan Desember 2021, apabila Mahkamah Konstitusi (MK) tidak membatalkan UU Cipta Kerja yang menurut kami bertentangan dengan UUD 1945 dan UU 12 Tahun 2011," tutur Roy melalui keterangan tertulis, Rabu (17/11/2021).

Roy mengatakan, buruh menuntut pemerintah untuk menetapkan upah minimum tahun 2022 tidak menggunakan formula perhitungan Peraturan Pemerintah (PP) 36 No 2021 tentang pengupahan dengan alasan UU Cipta Kerja yang statusnya masih diuji secara formal dan materiel di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Dan kita sedang menunggu jadwal sidang pembacaan putusan, karena PP 36/2021 merupakan aturan turunan UU Cipta Kerja dan Uu-nya sedang diuji. Sehingga pemerintah harus menghormati proses hukum di MK dengan menunda pelaksanaan UU Cipta Kerja, termasuk peraturan turunannya sampai adanya putusan MK baik secara formil dan materil," katanya.

Roy menuturkan, penetapan upah minimum berdasarkan PP 36/2021 telah menghilangkan hak buruh melalui dewan pengupahan untuk berunding karena semua data-data sudah diputuskan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Sehingga, fungsi dewan pengupahan hanya melegitimasi dan mengamini saja.

Padahal, menurut Roy, langkah tersebut telah bertentangan dengan Konvensi ILO 98 tentang hak berunding bersama dan juga Keputusan Presiden (Kepres) 107/2004 tentang dewan pengupahan. Dalam PP 36/2021, mensyaratkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi kab/kota dalam tiga tahun terakhir. Sedangkan, tidak semua kab/kota menghitung dan merilis pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan tersebut.

 

*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini:

Penerapan Ambang Atas dan Bawah

Roy mengatakan, sejak jauh hari para buruh di kab/kota sudah mencoba meminta data-data tersebut ke BPS kab/kota. Namun BPS tersebut menyatakan tidak mempunyai data-data yang dibutuhkan.

"Lalu tiba-tiba muncul Surat Edaran (SE) Menaker RI pada 9 November 2021 mengenai data-data pertumbuhan ekonomi se-Indonesia. Kami sangat meragukan data-data yang disampaikan Menaker tersebut dalam sejarah pengupahan sebab baru kali ini di Indonesia dalam penetapan upah minimum diatur mengenai ambang atas dan ambang bawah," ungkap Roy.

Roy mengatakan, bila penerapan ambang batas dan ambang bawah diterapkan, sudah dapat dipastikan upah buruh beberapa tahun ke depan tidak akan naik. Kalaupun naik, lanjut dia, hanya berkisar Rp18 ribu rupiah.

"Oleh karena itu serikat pekerja di tingkat nasional dan tingkat daerah sepakat untuk melakukan mogok daerah dan mogok nasional," katanya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya