Perusahaan Terduga Pembakar Lahan Bebas, Hakim: Tanggung Jawab Masyarakat

PT Gandaera Herdana sebagai perusahaan terdakwa kebakaran lahan di Riau divonis bebas oleh majelis hakim dengan alasan tanggung jawab kebakaran di areal perusahaan disebabkan masyarakat.

oleh M Syukur diperbarui 27 Jan 2022, 12:00 WIB
Diterbitkan 27 Jan 2022, 12:00 WIB
Upaya keras pemadam kebakaran lahan di Riau menjinakkan api di perkebunan sawit yang terbakar beberapa waktu lalu.
Upaya keras pemadam kebakaran lahan di Riau menjinakkan api di perkebunan sawit yang terbakar beberapa waktu lalu. (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, Pekanbaru - Divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Rengat, Indragiri Hulu, karena kebakaran lahan, PT Gandaera Herdana malah dihukum bebas di Pengadilan Tinggi Pekanbaru. Akibatnya, vonis denda Rp8 miliar dan denda lainnya Rp208 miliar tidak berlaku jika nantinya putusan itu berkekuatan hukum tetap.

Vonis bebas untuk korporasi diduga terlibat kebakaran lahan mendapat kecaman dari aktivis lingkungan, Senarai. Majelis hakim di Pengadilan Tinggi yang mengadili kasus ini dinilai tidak berpihak pada lingkungan hidup.

Koordinator Umum Senarai Jeffri Sianturi menyatakan majelis hakim tidak peduli dengan nasib masyarakat atau korban kabut asap beracun dari konsesi PT Gandaera Herdana. Termasuk kepada petugas pemadam kebakaran dari kelompok masyarakat, pemerintah desa maupun pemerintah daerah.

"Mereka berjibaku hampir satu bulan, karena perusahaan membiarkan lahannya terbakar," kata Jeffri, Rabu siang, 26 Januari 2021.

Dalam vonisnya, majelis hakim Pengadilan Tinggi Pekanbaru membebankan tanggungjawab kebakaran lahan di konsesi perusahaan pada masyarakat.

Majelis beralasan, areal hak guna usaha (HGU) perusahan dikuasai masyarakat dengan kepemilikan Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR).

Kemudian, perusahaan juga sudah berupaya menguasai lahannya melalui pendekatan maupun jalur hukum namun tidak berhasil. Majelis juga beralasan, pada areal terbakar belum ditentukan status kepemilikan tanah sehingga perusahaan dianggap tidak mungkin mengeluarkan areal tersebut dari HGU-nya.

Sebelum terjadi kebakaran, perusahaan disebut membuat parit pemisah untuk menentukan areal yang dikuasainya langsung dengan penguasaan masyarakat.

 

*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Simak video pilihan berikut ini:

Alasan Dangkal

Menurut Jeffri, alasan-alasan majelis hakim di tingkat banding sangat dangkal dan tidak mempedulikan fakta persidangan. Misal, perusahaan mengakui areal terbakar merupakan bagian dari HGU-nya, tapi perusahaan tidak melakukan upaya-upaya pencegahan kebakaran bahkan tidak bertindak cepat ketika kebakaran terjadi.

"Padahal jauh sebelumnya konsesi perusahaan juga pernah tebakar ribuan hektare," tegas Jeffri.

Selain itu, perusahaan sudah mengetahui areal HGU-nya dikuasai masyarakat sejak 2005 tapi tetap berupaya mempertahankan lahannya. Hal tersebut tampak dari langkah-langkah mediasi, musyawarah hingga gugatan ke pengadilan untuk merebut kembali lahan dari masyarakat.

Ketika terjadi kebakaran dan proses hukum tengah berjalan, sambung Jeffri, perusahaan baru memohon pelepasan atau mengeluarkan sebagian HGU terbakar ke Kanwil BPN Riau dan Kantor Pertanahan Indragiri Hulu.

"Kenapa tidak sejak 2005 atau dalam tiap-tiap musyawarah dengan masyarakat yang difasilitasi pemerintah desa, camat hingga bupati, perusahaan langsung mengeluarkan areal yang dikuasai masyarakat itu dari HGU-nya?" tanya Jeffri.

Berdasarkan fakta sidang, sebelum kebakaran, perusahaan memang tidak berniat melepas atau lebih condong mempertahankan areal tersebut. Sejak 3 September 2012, hingga pascakebakaran 22 Oktober 2019, perusahaan masih aktif berkirim surat ke Camat Lirik, DPRD, Bupati, BPN Inhu, dan BPN Riau agar memediasi status penguasaan lahan.

Beberapa tawaran yang selalu diusulkan PT Gandaera pada masyarakat adalah, ganti rugi, pembebasan lahan atau kerjasama pola kemitraan. Padahal, dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, sudah ada perintah melepas areal atau enclave bila terlanjur ada penguasaan masyarakat di atasnya.

"Dalih atau alibi perusahaan untuk lepas dari tanggungjawab itulah yang dijadikan dasar majelis hakim tingkat banding membebaskan PT Gandaera Herdana tanpa pertimbangan, padahal majelis tingkat pertama sudah mengurai dan menganalisanya berdasarkan keterangan saksi dan bukti surat," ungkat Jeffri.

Desak Kasasi

Oleh karena itu, Jeffri mendesak penuntut umum Kejaksaan Tinggi Riau dan Kejaksaan Negeri Indragiri Huli mengajukan kasasi, Mahkamah Agung membatalkan putusan PT Pekanbaru dan menguatkan kembali putusan PN Rengat.

"Kemudian Badan Pengawasan Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial mesti memeriksa majelis tingkat banding yang membebaskan perusahaan," kata Jeffri.

Berdasarkan catatan Senarai, PT Gandaera Herdana dihadapkan ke persidangan atas kebakaran di atas lahan konsesinya pada tahun 2019. Saat itu lahan terbakar mencapai 580 hektare di Desa Seluti, Kecamatan Lirik, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu).

Di Pengadilan Negeri Rengat pada 10 November 2021 lalu, perusahaan tersebut dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat (1) jo Pasal 116 ayat (1) huruf a jo Pasal 118 ayat (1) jo Pasal 119 ayat (1) Undang-undang (UU) RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Untuk itu, majelis hakim yang diketuai Nora Gaberia Pasaribu SH menjatuhkan vonis berupa pidana denda sebesar Rp8 miliar.

Selain itu, perusahaan juga dikenakan pidana tambahan berupa perbaikan lahan yang rusak akibat kebakaran seluas 580 hektare dengan menyetorkan kepada negara biaya sebesar Rp208.848.730.000.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya