Liputan6.com, Yogyakarta - Masakan Jawa dikenal dengan rasa manisnya yang dominan, khususnya di daerah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Beberapa orang dari daerah lain yang identik dengan rasa pedas atau lainnya, perlu beradaptasi agar lidah terbiasa dengan rasa manis pada masakan Jawa.
Namun, bagi orang Jawa, masakan Jawa Tengah manis merupakan suatu hal yang wajar. Ternyata, dominan rasa manis tersebut tak terlepas dari cerita masa lampau.
Advertisement
Hal ini bermula saat satu tahun setelah perang Diponegoro pada 1931, Gubernur Jenderal Van der Bosch yang berkuasa di Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia pada masa itu), dililit masalah keuangan yang cukup rumit. Hal itu menyebabkan persediaan dana mereka menipis.
Advertisement
Baca Juga
Ia pun menerapkan sistem tanam paksa dengan mewajibkan para petani menanam komoditas tertentu yang dapat menghasilkan uang. Saat itu, wilayah Jawa Barat diwajibkan untuk menanam kopi, sementara Jawa Tengah diwajibkan untuk menanam tebu.
Selama 9 tahun, 70 persen wilayah pertanian diubah menjadi ladang tebu, yang akhirnya menyebabkan bencana kelaparan di wilayah Jawa Tengah. Karena hanya tersedia tanaman tebu, akhirnya masyarakat pun terbiasa mengonsumsi tebu untuk bertahan hidup.
Air tebu tersebut digunakan untuk semua olahan masakannya, sehingga masyarakat Jawa Tengah akrab dengan gula. Hal ini pun bertahan hingga saat ini dan akhirnya menjadi selera masakan yang turun-temurun.
Tak hanya di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Solo juga memiliki cita rasa masakan dengan dominan rasa manis. Bahkan, masakan di wilayah Yogyakarta dan Solo memiliki cita rasa yang lebih manis daripada masakan di Jawa Tengah.
Hingga saat ini, di kalangan masyarakat Jawa, gula menjadi bumbu masakan wajib yang disertakan dalam masakan. Rasa manis tersebut bisa berasal dari gula pasir, gula jawa, atau gula aren.
Â
Penulis: Resla Aknaita Chak