Petani di Gorontalo Persoalkan Kebijakan Sistem Tanam Padi Sawah 3 in 1

Bayang-bayang krisis pangan yang diprediksi akan terjadi pada akhir 2022 hingga awal 2023 mendatang menjadi alasan utama lahirnya ragam kebijakan.

oleh Arfandi Ibrahim diperbarui 03 Okt 2022, 22:00 WIB
Diterbitkan 03 Okt 2022, 22:00 WIB
Petani Sawah di Gorontalo (Foto: Arfandi Ibrahim/Liputan6.com)
Petani Sawah di Gorontalo (Foto: Arfandi Ibrahim/Liputan6.com)

Liputan6.com, Gorontalo - Pemerintah saat ini tengah gencar-gencarnya membuat kebijakan baru di sektor pertanian. Bayang-bayang krisis pangan yang diprediksi akan terjadi pada akhir 2022 hingga awal 2023 mendatang menjadi alasan utama lahirnya ragam kebijakan.

Belum lagi perang Rusia–Ukraina yang memberi dampak sangat besar terhadap kondisi kelangsungan ekonomi global. Inflasi dan deflasi, potensi naiknya harga kebutuhan dasar, naiknya persentase kemiskinan, hingga terancamnya ketersediaan pangan secara nasional.

Meski begitu, tidak semua kebijakan pemerintah, bisa diterima di kalangan petani. Salah satunya petani sawah di Bone Bolango (Bonebol).

Saat ini, Pemerintah Bonebol bakal menerapkan musim tanam padi tiga kali dalam setahun atau dikenal dengan 3 in 1. Namun, hal itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan petani, praktisi, politikus, akademisi, serta mahasiswa dan aktivis pertanian.

Menurut Rudy Adam, Pegiat Pertanian di Bonebol, kebijakan 3 in 1 yang dinilai ambisius ini akan diterapkan secara serentak di Bonebol mulai Januari 2023 tahun depan.

Menurutnya, rencana itu dirasakan aneh dan lucu, serta sangat bisa diperdebatkan untuk konteks pengelolaan pertanian padi sawah di Bonebol yang saat ini masih jauh panggang dari api. Selain itu, kebijakan ini dinilai tendensius bermuatan politis oleh berbagai kalangan, dan juga diduga hanya berorientasi pada proyek yang menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Simak juga video pilihan berikut:

Tidak Mempertimbangan Faktor SDM

Rudy Adam petani hidroponik Gorontalo yang usahanya bertahan meski di tengah pandemi (Liputan6.com/Gorontalo)
Rudy Adam aktivis/pegiat pertanian di Gorontalo (Liputan6.com/Gorontalo)

Selain itu, program ini dinilai tidak melihat dan mempertimbangkan lebih jauh kemungkinan besar dampak kerugian sistemik yang akan menimpa petani, konsumen, bahkan pemerintah itu sendiri. Mengapa?

Penerapan musim tanam 3 in 1 tidak lebih spesifik mempertimbangan keadaan permasalahan sektor pertanian saat ini, baik permasalahan pada aspek perlakuan budi daya, kemampuan SDM, dan ekonomi petani.

"Permasalahan ketersediaan benih dan pupuk imbas dari naiknya harga BBM, ancaman degradasi ekologis pertanian akibat jarak waktu panen dan tanam. Penggunaan pestisida yang meningkat, serta instrumen fundamental pendukung lainnya yang menjadi satu kesatuan standar Pengelolaan Pertanian Berkelanjutan, Sustainable Agriculture Management," kata Rudi. 

Pemerintah, dalam hal ini Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Bonebol, perlu mengadaptasi sedikit saja poin kesepakatan global KTT Bumi Rio de Jeneiro tahun 1992 terkait Agenda 21 konsep Sustainable Agriculture and Rural Development (SARD) yang diterjemahkan dalam segitiga konsep pembangunan pertanian berkelanjutan.

"Maka saya berpendapat, skema 3 ini 1 ini tidak harus dipaksakan karena tidak relevan dengan kondisi dan model pengelolaan pertanian saat ini yang masih cenderung berorientasi pada hasil dan bukan pada kualitas hasil produksi." ungkapnya.

Konsep di atas bertumpu pada 3 pilar strategis, Ekonomi, Sosial dan Ekologi/Lingkungan, nyaris sama seperti gerakan pembangunan pertanian Bonebol selama ini. Seperti pertanian organik, pertanian terintegrasi, dan berkelanjutan.

Namun, jika orientasi atau wujud ketahanan pangan dalam perspektif pemerintah hanya diterjemahkan pada ketersediaan atau stok bahan pangan saja, maka dengan sendirinya mengaburkan pilar lain dari konsep pembangunan pertanian itu sendiri.

Terlebih lagi melanggar ketentuan Konferensi Nasional Pertanian Berkelanjutan (KNPB). Butir kedelapan point a) dan c) yang berbunyi; a). meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan pelaku pertanian, dan c) meningkatkan produktivitas lahan dan media lingkungan serta merehabilitasi tanah-tanah rusak untuk meningkatkan produksi pangan dalam rangka ketahanan pangan dengan tetap berpihak pada petani.

Sangat jelas terbaca, bahwa skema tanam 3 in 1 ini berpotensi besar mengabaikan prinsip kesejahteraan petani, melanggar nilai keadilan dan kearifan (sosial) masyarakat, serta berpeluang besar merusak ekologi dan fisik lingkungan lahan pertanian.

"Mungkin ada yang bertanya, kok bisa sesederhana itu saya menyimpulkan lemahnya argumentasi skema 3 in 1 ini? Mari kita lanjutkan pembahasannya," tuturnya.

Tidak Memiliki Basis Argumen

Hiruk-pikuk Petani Gorontalo Sambut Musim Panen dengan Bergotong royong
Petani membawa hasil panen padi dari sawah di Desa Bube Baru, Kecamatan Suwawa, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo (Liputan6.com/Arfandi Ibrahim)

Dalam konteks implementasi sistem tanam 3 in 1 ini, kata Rudy, DKPP dinilai tidak memiliki basis argumen yang kuat, dan justru lebih tertarik pada hipotesis aneh terkait peningkatan produksi padi sawah dengan janji kesejahteraan yang sama sekali belum pernah diujicobakan.

Ironisnya lagi, justru pada waktu yang bersamaan, sudah diklaim 'pasti' berhasil dan untung disampaikan dengan penuh kepercayaan diri.

"Bagaimana mungkin sesuatu yang tidak pernah terjadi, namun hasilnya sudah bisa kalian ketahui.? Saya merinding dengan kalimat yang kalian tegaskan itu," ujarnya.

Lantas dirinya membantah teori ini, karena pengelolaan pertanian secara nasional maupun di daerah tidak semudah yang diharapkan. Percaya atau tidak, ada dimensi lain yang mutlak diyakini.

"Kuasa Sang Pencipta, di mana seluruh elemen kehidupan dengan mudah dikendalikan. Agar hipotesa keberhasilan di atas menjadi nyata tentu kita wajib secara terus-menerus mengolaborasikannya dengan perkembangan pengetahuan," katanya.

Keilmuan di bidang pertanian itu sendiri, dalam rentang waktu 5-10 tahun terakhir berbagai cara telah dilakukan, tetapi belum membuahkan hasil maksimal, tentu itu perlu diperbaiki. Tentu pula dengan mendesain gagasan yang lebih realistis dan relevan dengan kondisi saat ini.

"Tidak harus dengan ambisi yang menggerus akal sehat, apalagi mematikan kewarasan berpikir kita kaum milenial," imbuhnya. 

Pertimbangan Penolakan

Hiruk-pikuk Petani Gorontalo Sambut Musim Panen dengan Bergotong royong
Petani memisahkan gabah saat panen padi di sawah Desa Bube Baru, Kecamatan Suwawa, Kabupaten Bone Bolango (Liputan6.com/Arfandi Ibrahim)

DKPP mengklaim kepastian keberhasilan musim tanam 3 ini 1 ini sesuai kalender tanam adalah untuk menangkal penyusutan hasil produksi yang mencapai 50-70 persen atau hanya 30-50 persen hasil produksi per periode tanam dengan strategi merubah jarak tanam.

"Sesederhana itukah konsepnya? Sudah diujikah konsepnya? Ataukah DKPP sedang memastikan khayalannya untuk tidak perlu diuji secara konsepsi?" tegas Rudy.

Berikut Analis Petani

  • Dengan jarak tanam 30x30 cm; dukungan iklim 100% baik, budi daya 100% maksimal, intensitas matahari masuk 100%, kebutuhan pupuk hanya 50% dipenuhi, hasil 50% diperoleh, meskipun jarak tanam renggang,
  • Dengan jarak tanam 25x25 cm; dukungan iklim 100% baik, budi daya 100% maksimal, intensitas matahari masuk hanya 75%, kebutuhan pupuk 100% dipenuhi, maka hasil akan naik 100%, meskipun jarak tanam sempit.
  • Dengan jarak tanam 30x30 cm; dukungan iklim 100% baik, budi daya 100% maksimal, intensitas matahari masuk 100%, kebutuhan pupuk 100% dipenuhi, hasil naik 100% diperoleh, karena jarak tanam yang renggang.
  • Dengan jarak tanam 25x25 cm; dukungan iklim 100% baik, budi daya 100% maksimal, intensitas matahari masuk hanya 75%, kebutuhan pupuk hanya 50% dipenuhi, hasil 50% diperoleh, karena jarak tanam yang sempit.

Belum lagi secara spesifik menyasar pola kultural dan kebiasaan-kebiasaan petani kita yang cenderung distigmakan malas, remeh, tidak canggih, dan masih memegang teguh budaya kearifan lokal.

Potensi serangan hama dan penyakit yang cenderung meningkat dari waktu-kewaktu, gangguan pertumbuhan gulma, perubahan iklim/cuaca yang sulit ditebak. Ketergantungan pembiayaan dari tengkulak, termasuk didalamnya kemampuan dan keterlibatan aktif penyuluh yang kurang produktif.

Implementasi kebijakan dan sistem yang tidak sistematis serta dugaan adanya permainan mafia pertanian dalam pengadaan benih, pupuk, alsintan hingga penyajian data fakta yang sulit dipertanggungjawabkan.

"Itulah sebagian indikator dan bobot pertimbangan lahirnya penolakan gagasan dan rencana tanam 3 in 1 ini," ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Bonebol Yusbar Ismail menanggapi singkat soal itu. Menurutnya kebijakan itu akan dilihat dan dievaluasi kedepan.

"Nanti kita lihat dan evaluasi bersama ya," ia menandaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya