Liputan6.com, Jambi - Masyarakat Melayu Timur di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, memiliki tradisi unik yang disebut dengan 'makan di kelung'. Tradisi ini merupakan sebuah ritual yang terdiri dari beberapa prosesi.
Mengutip dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, tradisi Jambi ini dilakukan masyarakat sebagai bentuk usaha menyembuhkan keluarga yang sakit. Makan di kelung hanya ada di daerah Melayu Timur yang mencakup Sabak Timur, Kampung Laut, Mendahara, dan Nipah Panjang.
Tradisi makan di kelung merupakan representasi dari kepercayaan masyarakat Melayu Timur. Dahulu, masyarakat setempat menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.
Advertisement
Baca Juga
Makan di kelung biasanya dilakukan di rumah atau di tempat-tempat yang dimungkinkan dalam pelaksanaan ritual. Tak ada pemilihan tempat secara istimewa, hanya saja peran sang dukun dalam prosesi ini sama pentingnya sebagai pemimpin ritual.
Proses tradisi ini diawali dengan menyiapkan sesajen berupa kue mue. Masyarakat yang bertugas menyiapkan sesajen tersebut adalah para ibu-ibu yang sedang tidak haid. Pasalnya, segala proses ritual ini harus dilakukan dengan bersih dan suci.
Selanjutnya, dukun kampung akan memilih waktu yang tepat untuk ritual. Nantinya, orang yang sakit akan ditempatkan dalam sebuah kamar yang telah diatur sedemikian rupa untuk melakukan prosesi.
Sementara itu, kelung merupakan sarana dilaksanakannya ritual yang berbentuk meja kayu berumur tua berbentuk persegi panjang. Kelung ini dipercaya dapat menjadi media perantara ketika berhubungan dengan kekuatan gaib.
Sebelum dilakukan ritual, kelung yang ditempatkan di tengah-tengah kerumunan masyarakat yang hadir dihias dengan beragam bahan makanan, seperti ketan hitam, ketan kuning, kue-kuean, dan sebagainya. Makanan-makanan tersebut dicampur menjadi satu dan dibentuk seperti seekor buaya.
Buaya disebut sebagai simbol penguasa laut atau air. Setelahnya, doa-doa pun didendangkan.
Hingga akhirnya, terjadi kerasukan roh sang leluhur yang dianggap sebagai penanda ritual pengobatan segera dimulai. Sang pasien pun didudukkan menghadap sesajen.
Pemimpin ritual mulai memainkan perannya, yakni mengusir segala kekuatan buruk dan mengharapkan datangnya kekuatan baik demi kesembuhan pasien. Setelahnya, batang tebu dipatahkan yang menandakan selesainya ritual buang penyakit.
Kemudian, pasien dipersilahkan makan di kelung. Setelah itu, masyarakat yang hadir mulai beranjak berebut berkah dengan memakan makanan di kelung.
Sekitar 1979, makan di kelung masih dipercaya dapat memberikan efek penyembuhan. Bahkan, tradisi ini juga dipercaya dapat membawa berkah, terutama untuk masyarakat yang ikut melakukan ritual.
Namun, saat ini tradisi ini sudah jarang terlihat. Perkembangan dan kemajuan zaman membuat tradisi ini perlahan ditinggalkan.
(Resla Aknaita Chak)