Krisis Bank di Amerika, Pakar Ekonomi UGM: Peringatan Serius bagi Perbankan

Pengamat Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Eddy Junarsin, MBA, Ph.D., menilai krisis perbankan yang terjadi di Amerika Serikat dalam beberapa waktu belakangan ini perlu menjadi peringatan serius bagi pengelolaan perbankan di Indonesia. 

oleh Yanuar H diperbarui 11 Mei 2023, 21:00 WIB
Diterbitkan 11 Mei 2023, 21:00 WIB
Nasabah Ramai-ramai Tarik Dana Usai Silicon Valley Bank Bangkrut
Orang-orang berbaris di luar kantor Silicon Valley Bank di Santa Clara, California, Senin (13/3/2023). Perusahaan perbankan ini mengalami krisis pada Jumat (11/3/2023), sehingga terjadi kebangkrutan yang dialami SVB dan salah satunya karena krisis modal. (Justin Sullivan/Getty Images/AFP)

Liputan6.com, Yogyakarta Pengamat Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Eddy Junarsin, menilai krisis perbankan di Amerika Serikat seperti bangkrutnya Silicon Valley Bank (SVB), Signature Bank dan Silvergate Bank yang  mendanai pinjaman ke perusahaan rintisan atau startup harus diwaspadai perbankan di Indonesia. Menurutnya perbankan di dalam negeri harus selektif sekali dalam memberikan pinjaman baik ke perusahaan kecil maupun besar agar tidak terjadi gagal bayar. 

“Nampaknya bank yang bangkrut ini ingin mendapatkan return besar sehingga berani meminjamkan dana ke startup dalam jumlah besar. Karenanya bank harus berhati-hati, risiko kredit bisa terjadi di manapun, baik perusahaan startup hingga perusahaan besar,” kata Eddy Junarsin, Senin  8 Mei 2023.

Hingga saat ini, krisis perbankan di Amerika Serikat menurutnya tidak memberikan dampak langsung ke perbankan maupun kondisi ekonomi di Indonesia.

 

“Dampak langsung tidak ada, tetapi kita harus hati hati. Saya melihat belum ada dampak ke bank yang ada di Asia dan Indonesia, tetapi kita harus belajar dari peristiwa ini,” imbuhnya.

Lebih lanjut Eddy mengatakan bahwa krisis di sebuah perbankan tidak hanya soal risiko gagal kredit namun juga bisa terkena dampak dari isu sentimen negatif di pasar keuangan. Selain itu dampak kenaikan suku bunga acuan juga bisa menyebabkan adanya risiko likuiditas.  

“Dunia perbankan sebenarnya menghadapi banyak risiko dari risiko kredit yang mengalami gagal bayar dan isu yang buruk di pasar sehingga terjadi penarikan uang secara besar-besaran dan bank kekurangan likuiditas,” jelasnya.

Soal dampak risiko kenaikan suku bunga, menurutnya mempengaruhi masuk dan keluarnya dana investasi di sebuah negara. Apalagi belakangan ini bank sentral Amerika kerap menaikkan suku bunga acuan bagi perbankan. 

”Kenaikan suku bunga tentu tidak menarik bagi dunia bisnis. Akan tetapi naik dan turunnya suku bunga dari The Fed jadi acuan bank sentral negara lain di seluruh dunia,” jelasnya.

Belajar dari kasus kebangkrutan bank di Amerika, Eddy menekankan pentingnya perbankan mempraktikkan manajemen risiko perbankan dengan benar, konsisten dan disiplin. Menurutnya pengelola perbankan harus menerapkan manajemen risiko perbankan dengan baik dan benar. 

“Apabila perbankan tidak melakukannya dengan disiplin, maka risiko kredit, risiko kenaikan suku bunga dan risiko likuiditas, serta risiko pasar bisa berdampak pada risiko kecukupan modal,” paparnya.

Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Bank Indonesia (BI), OJK, Kementerian Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan menurutnya juga harus mampu mengawal stabilitas keuangan dan perekonomian nasional dari sisi perbankan dalam menjalankan manajemen risiko dengan baik. Selain itu komite ini juga harus mengawal angka inflasi dan nilai suku bunga jangan sampai memberatkan perbankan dan pelaku usaha dan terjadi krisis perbankan.  

"Saat kondisi misalnya inflasi dan suku bunga tinggi ibarat kondisi badan lagi demam maka kita tidak bisa lari tapi hanya bisa bertahan. Bila kondisi ekonomi kita sehat atau indikator keduanya turun, maka ekonomi kita bisa berlari kencang kembali,” katanya.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya