Kejati Sulsel Periksa Satgas A dan B di Kasus 'Mafia Tanah' Bendungan Paselloreng

Tim Penyidik Pidsus Kejati Sulsel memeriksa maraton sejumlah saksi dalam kasus dugaan praktik mafia tanah pembangunan Bendungan Paselloreng

oleh Eka Hakim diperbarui 02 Agu 2023, 10:33 WIB
Diterbitkan 02 Agu 2023, 10:29 WIB
Kasi Penkum Kejati Sulsel, Soetarmi menyebutkan, Penyidik akan mendalami semua peran Satgas A dan B dalam kasus dugaan praktik mafia tanah di Bendungan Paselloreng (Liputan6.com/Eka Hakim)
Kasi Penkum Kejati Sulsel, Soetarmi menyebutkan, Penyidik akan mendalami semua peran Satgas A dan B dalam kasus dugaan praktik mafia tanah di Bendungan Paselloreng

Liputan6.com, Wajo Pasca ditingkatkan ke tahap penyidikan, sejumlah saksi dalam kasus dugaan praktik mafia tanah pada kegiatan pembayaran ganti rugi pembebasan lahan pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo menjalani pemeriksaan secara maraton.

Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel), Soetarmi menyebutkan sudah ada puluhan saksi diperiksa dalam penyidikan kasus tersebut. Utamanya, kata dia, mereka yang tergabung dalam Panitia Pengadaan Tanah. Di mana Panitia Pengadaan Tanah ini juga membentuk yang namanya Satgas yakni ada Satgas A dan Satgas B.

Satgas A diketahui membidangi pengumpulan data fisik tanah yang dalam hal ini pengukuran dan pemetaan bidang. Sementara Satgas B memiliki tugas pengumpulan data yuridis tanah yang berkaitan dengan nama pemegang hak, bukti hak, letak lokasi status tanah, nomor identifikasi bidang, data tanaman yang ada di atasnya atau secara sederhana segala hal yang berkaitan dengan administrasi serta apa saja yang ada di atas tanah tersebut.

"Iya pemeriksaan jalan terus. Semua yang terlibat dalam Satgas A dan Satgas B akan diperiksa semuanya. Termasuk pihak BPN dan para kades kita akan dalami perannya," singkat Soetarmi ditemui di Kantor Kejati Sulsel, Selasa (1/8/2023).

 

Kronologi

Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kajati Sulsel) Leonard Eben Ezer Simanjuntak menjelaskan, awal kasus ini bermula di Tahun 2015.

Di mana, kata Leonard, saat itu Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang sedang melaksanakan pembangunan fisik Bendungan Paselloreng di Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo.

Adapun untuk kepentingan pembangunan bendungan tersebut, lanjut Leonard, Gubernur Sulawesi Selatan (Gubernur Sulsel) telah mengeluarkan Keputusan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Pembangunan Bendungan Paselloreng yang dimaksud.

"Lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Paselloreng memerlukan lahan atau tanah yang terdiri dari lahan yang masih masuk dalam Kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT) Lapaiepa dan Lapantungo yang terletak di Desa Paselloreng, Kabupaten Wajo yang telah ditunjuk oleh pemerintah sebagai Kawasan HPT," ucap Leonard.

Dia mengatakan, selanjutnya dilakukan proses perubahan kawasan hutan dalam rangka Review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulawesi Selatan yang salah satunya untuk kepentingan Pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo yang dimaksud.

Pada 28 Mei 2019 kemudian, kata Leonard, diterbitkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.362/MENLHK/SETEN/PLA.0/5/2019 tentang perubahan kawasan Hutan menjadi bukan Hutan Kawasan Hutan seluas 91.337 Ha, perubahan fungsi kawasan hutan seluas 84.032 Ha dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas 1.838 Ha di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel).

Setelah dikeluarkan sebagai kawasan hutan dan mendengar bahwa dalam lokasi tersebut akan dibangun Bendungan Paselloreng, kemudian dimanfaatkan oleh oknum di Kantor BPN Kabupaten Wajo yang selanjutnya memerintahkan beberapa honorer di kantor tersebut untuk membuat Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Sporadik) secara kolektif sebanyak 246 bidang tanah pada 15 April 2021.

Sporadik tersebut, kata Leonard, lalu diserahkan kepada masyarakat dan Kepala Desa Paselloreng dan Kepala Desa Arajang untuk ditandatangani, sehingga dengan sporadik itu seolah-olah masyarakat telah menguasai tanah yang dimaksud padahal diketahuinya bahwa tanah tersebut merupakan kawasan hutan.

"Sebanyak 246 bidang tanah kemudian dinyatakan telah memenuhi syarat untuk dilakukan pembayaran ganti kerugian oleh satgas A dan Satgas B yang dibentuk dalam rangka pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum," ungkap Leonard.

Namun, kata dia, berdasarkan foto citra satelit yang dikeluarkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) tampak bahwa eks kawasan hutan tersebut di Tahun 2015 masih merupakan kawasan hutan dan bukan merupakan tanah garapan sebagaimana klaim masyarakat.

Dengan demikian lahan tersebut, menurut Leonard, tidak termasuk dalam kategori sebagai lahan garapan sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.

"Setelah Satgas A dan Satgas B menyatakan 246 bidang tanah yang dimaksud telah memenuhi syarat untuk dibayarkan ganti ruginya, selanjutnya dituangkan dalam Daftar Nominatif Pengadaan Tanah Bendungan Paselloreng yang berikutnya diserahkan kepada Konsultan Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk menilai harga tanahnya, tanaman, jenis serta jumlahnya," tutur Leonard.

Tapi dalam pelaksanaannya, beber Leonard, KJPP yang ditunjuk hanya menilai harga tanah dan tidak melakukan verifikasi jenis dan jumlah tanaman, akan tetapi hanya berdasarkan sampel.

Berdasarkan hasil penilaian harga tanah dan tanaman tersebut, BBWS Pompengan kemudian meminta LMAN (Lembaga Manajemen Aset Negara) Kementerian Keuangan sebagai lembaga yang membiayai pengadaan tanah untuk selanjutnya melakukan pembayaran terhadap bidang tanah sebanyak 241 bidang tanah seLuas 70,958 Ha dengan total pembayaran sebesar Rp75.638.790.623.

Namun karena 241 bidang tanah tersebut merupakan eks kawasan hutan yang merupakan tanah negara dan tidak dapat dikategorikan sebagai lahan atau tanah garapan, maka, kata Leonard, pembayaran 241 bidang tanah telah berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp75.638.790.623.

"Pengadaan tanah yang berstatus kawasan hutan oleh instansi yang memerlukan tanah seharusnya cukup mengajukan permohonan pelepasan status kawasan melalui gubernur kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan," Leonard menandaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya