Liputan6.com, Maluku - Masyarakat di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara, memiliki sajian kuliner khas olahan dari singkong yang mengandung racun sianida. Kuliner bernama enbal ini diproses sedemikian rupa agar dapat menjadi bahan dasar makanan yang layak konsumsi.
Mengutip dari berbagai sumber, konon singkong enbal bukan merupakan tanaman asli yang tumbuh di Kepulauan Kei. Pada 1921, keberadaan enbal muncul setelah dibawa oleh Raja Kepulauan Kei, Abdul Hamid, usai merantau dari Bali.
Nama enbal juga berasal dari bahasa setempat yang berarti ubi dari Bali. Singkong yang awalnya dibudidayakan di Kepulauan Kei Besar itu akhirnya tersebar ke seluruh Kepulauan Kei dan menjadi makanan khas masyarakat setempat.
Advertisement
Baca Juga
Batang singkong enbal biasannya distek atau dipotong dengan ukuran 13 sampai 14 sentimeter. Selanjutnya, siap dipanen kembali saat berumur delapan bulan hingga satu tahun.
Masyarakat Kei mengolah enbal untuk menghilangkan rasa pahit dan kandungan racun di dalamnya. Enbal diproses menjadi tepung yang kemudian diolah menjadi berbagai kudapan ringan, seperti bunga enbal, enbal bubuhuk, dan pisang enbal. Dahulu, kudapan tersebut pernah menjadi makanan pokok pengganti nasi di kawasan Kei.
Sebelum menjadi tepung enbal, proses pengeluaran racun dimulai dengan mengupas, membilas, dan merendam singkong enbal. Setelah bersih, umbi yang masih memiliki kandungan racun diparut dengan parutan konvensional.
Hasil parutan singkong enbal selanjutnya dikumpulkan dalam kain kasa dan dimasukkan ke dalam alat penekan. Proses ini adalah kunci dalam proses pengeluaran racun.
Saat ditekan, singkong akan mengeluarkan air dan patinya. Tahap pemerasan ini dilakukan hingga semalam atau hingga singkong enbal kering.
Hasil proses tersebut bernama enbal gepe. Untuk mendapatkan hasil tepung dengan tekstur yang lebih halus, biasanya enbal gepe akan melalui proses selanjutnya dengan dijemur dan diayak.
Penulis: Resla Aknaita Chak