Terbanyak di Kabupaten Bogor, Puluhan Ribu Warga Jabar Terdampak Kekeringan

Tidak hanya di Kabupaten Bogor, daerah lain yang terdampak hal serupa adalah Kabupaten Bekasi, Kota Sukabumi, Kota Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Garut, Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung.

oleh Arie Nugraha diperbarui 07 Sep 2023, 09:00 WIB
Diterbitkan 07 Sep 2023, 09:00 WIB
Tanam Padi Musim Kemarau
Kondisi tanah yang pecah-pecah saat petani melakukan penanaman bibit padi pada area persawahan kering di Desa Muara Bakti, Kampung Muara Sepak, Babelan, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (5/9/2023). (merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Bandung - Sebanyak 51.607 Kepala Keluarga (KK) yang merupakan warga Provinsi Jawa Barat terdampak kekeringan ekstrim yang kini tengah terjadi periode 1 Januari - 4 September 2023.

Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat, jumlah warga yang paling banyak terdampak berada di Kabupaten Bogor yakni 27.299 KK.

Menurut Kepala Seksi Kedaruratan BPBD Jawa Barat, Hadi Rahmat, seluruh warga terdampak kekeringan ekstrem itu tersebar di 71 desa.

"Bantuan air bersih sebanyak 693 ribu liter diperlukan di Kecamatan Jasinga, Citeureup, Nanggung, Jonggol, Rancabung, Cijeruk, Cibungbulang, Sukajaya, Cisarua, Leuwisadeng, Tanjungsari, Cariu, Tenjo, Ciseeng, Ciampea, Megamendung, Rumpin dan Kecamatan Sukamakmur," terang Hadi, Bandung, Rabu, 6 September 2023.

Tidak hanya di Kabupaten Bogor, daerah lain yang terdampak hal serupa adalah Kabupaten Bekasi, Kota Sukabumi, Kota Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Garut, Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung.

Bantuan air juga dilakukan di Kabupaten Purwakarta, Cirebon, Majalengka, Subang, Karawang, Ciamis dan Pangandaran.

Total untuh jumlah bantuan air bersih yang diperlukan ke 51.607 KK yang terdampak akibat kekeringan sebanyak 1.472.480 liter.

"Terdapat 63 kecamatan di Jawa Barat yang terdampak, 156 desa yang berada di 15 kota dan kabupaten yang terdampak," kata Hadi.

Selama masa kekeringan ekstrem ini, otoritasnya terus melakukan koordinasi dengan BPBD di tingkat kota dan kabupaten.

Salah satunya untuk memberikan bantuan air besih kepada warga yang memerlukan melalui BPBD setempat dengan perusahaan daerah air minum (PDAM).

Namun, hingga saat ini belum ada laporan soal lahan pertanian maupun perkebunan yang kekurangan pasokan air.

"BPBD kota dan kabupaten terus melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk kekeringan yang berdampak kepada lahan pertanian," Hadi menegaskan.

Sebaran Karhutla

Sementara untuk sebaran kejadian bencana kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Jawa Barat dari 1 Januari - 4 September 2023 terjadi di 15 daerah.

Total seluas 313.9 hektare lahan yang tersebar di 46 kecamatan di Jawa Barat mengalami kebakaran. Daerah yang paling banyak luasan kebakaran berada di Kabupaten Majalengka yakni 40.3 hektare.

Sebelumnya, Ilmuwan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan suhu global Planet Bumi mendidih sebelum waktunya.

Itu berdasarkan dari hasil seluruh model proyeksi mengenai perubahan iklim baru menunjukkan Bumi akan mencapai suhu 1,5 derajat Celsius nanti pada tahun 2050.

Mencuplik kanal Regional Liputan6.com, menurut Peneliti Klimatologi Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Erma Yulihastin, pantauan saat ini menunjukkan bahwa pada bulan Juli rata-rata suhu Bumi mencapai 1,35 derajat Celsius.

"Faktanya saat ini 2023, masih 17 tahun lagi kita sudah di titik 1,35 derajat (Celsius) yang mengindikasikan bahwa kenaikan terjadi lebih cepat dari yang diproyeksikan, diperkirakan. Inilah yang menggelisahkan para ilmuwan saat ini, bahwa pada kenyataannya suhu global bumi ini ternyata jauh lebih cepat peningkatannya dari pada yang diperhitungkan oleh para ilmuwan," ujar Erma dalam akun YouTube pribadinya, Bandung, Selasa, 8 Agustus 2023.

Erma mengatakan dampak dari peningkatan suhu 1,1 derajat Celsius saja sudah menyebabkan banjir besar.

Seperti rentetan kejadian banjir dahsyat bulan sekitar Mei-Juni 2023 yang terjadi di Pakistan, India, Korea dan baru-baru ini terjadi juga di Jepang, China, dan Amerika Serikat.

Berbagai dampak kenaikan suhu global ini, lanjut Erma, tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh para ilmuwan.

"Bahwa kenaikan 1,1, 1,2 atau 1,3 derajat Celsius itu bisa demikian parah efeknya. Dari satu sisi menunjukkan bahwa badai-badai siklon atau siklon-siklon tropis terjadi lebih parah, lebih kekuatannya, lebih dahsyat tornado, terjadi lebih mematikan dan seterusnya mungkin dua sampai tiga kali lipat. Itu di satu sisi itu kalau kita bicara banjir," kata Erma.

Erma menerangkan terjadi pula peningkatan kejadian siklon tropis atau badai siklon dengan pesat. Sehingga, tornado yang dihasilkan di atas daratan pun lebih kuat sifatnya.

Ketika terjadi badai, berbagai infrastruktur hancur bahkan memakan korban beberapa puluhan bahkan ratusan orang karena sifatnya katastropik berupa banjir yang luar biasa besar ketika badai tersebut terjadi.

Erma menegaskan hal ini menjadi sesuatu yang menggelisahkan bagi ilmuwan khususnya dan kelompok masyarakat luas.

"Jadi ada ancaman banjir dahsyat dan juga di sisi yang lain ada ancaman dari gelombang panas. Ini yang sedang terjadi di negara-negara maju di belahan bumi utara. Dan itu juga yang sedang dinyatakan oleh Sekjen PBB," ucap Erma.

Peringatan mengenai fase bumi yang mendidih ketika 1,35 darajat Celsius nanti semakin meningkat, menjadi 1,4, 1,5 derajat Celsius dalam waktu yang tidak lama lagi. Mungkin dalam waktu yang mungkin lebih cepat dari yang diperkirakan.

Gelombang Panas

Sejumlah negara dibelahan Bumi Utara akan mengalami apa yang dikatakan atau disebut dengan gelombang panas.

Mereka terancam dengan gelombang panas ini yang tadinya 45 - 50 derajat Celsius, mungkin akan ada peningkatan yang terjadi secara cepat.

"Mungkin peningkatannya bisa sampai 50 sampai 55 derajat Celsius. Dan inilah yang dikatakan dengan mendidih itu ketika negara negara di belahan bumi utara mengalami ancaman yang serius," tukas Erma.

Bukan hanya mengancam, Erma menegaskan ancaman tersebut kini sudah terjadi di beberapa negara yang kini diterpa suhu yang sangat panas.

Banyak negara bagian Bumi Utara saat ini berada pada situasi mengalami tantangan menghadapi gelombang panas.

Dampak nyata terpaan suhu panas ini adanya hotspot (titik panas) yang memicu hutannya terbakar karena suhu yang panas tadi di sisi yang lain juga terjadi.

"Kondisi bumi saat ini telah memasuki titik yang dinamakan dengan tipping point. Tipping point adalah suatu kondisi saat bumi berada pada fakta suhu yang sangat panas dan anomali suhu global tersebut menyebabkan sesuatu yang berdampak pada cuaca dan iklim dunia yang tidak bisa terkontrol lagi," ungkap Erma.

Suhu dan iklim dunia global sebut Erma, selain memanas juga berubah menjadi sangat liar karena tipping point ini adalah puncaknya.

Setelah bumi berada pada kondisi tipping point, maka kondisi selanjutnya adalah titik decline atau bisa dikatakan dalam tanda kutip kehancuran.

Atas dasar data dan kejadian ini yang telah digaris bawahi dan juga ditekankan oleh Sekjen PBB agar menjadi keprihatinan sekaligus kewaspadaan seluruh pihak.

"Tidak hanya berhenti pada keprihatinan, melainkan juga harus diikuti oleh langkah langkah real, kebijakan - kebijakan yang nyata untuk mengendalikan agar krisis iklim tidak semakin lama semakin parah," tegas Erma.

Penyebab krisis iklim ini menjadi semakin parah atau Bumi dikatakan diambang kehancuran, yaitu ketika anomali global, suhu global bumi mencapai lebih dari satu derajat Celsius.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya