Liputan6.com, Bandung - Pajak karbon dinilai dilematis. Satu sisi, pengenaan pajak tersebut memang dapat meningkatkan pendapatan negara, tapi juga dianggap seolah-olah bentuk penerimaan terhadap polusi udara yang terus meningkat.
Hal itu disampaikan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof. Dr. Memed Sueb.
Baca Juga
Menurut hasil riset, kata Memed, diperoleh data bahwa potensi penerimaan pajak karbon dari sektor energi pada 2021-2025 adalah sekitar Rp 23 Triliun.
Advertisement
Namun, nilai itu justru dianggap bukan kabar yang menggembirakan. Pasalnya, menurut Prof. Memed, pemasukan pajak itu menandakan bahwa kualitas lingkungan terus menurun.
"Secara berjenjang diharapkan pajak karbon itu terus menurun tetapi kualitas lingkungan akan semakin meningkat,” kata Memed dikutip dari laman Unpad, Kamis (25/1/2024).
Pajak karbon semestinya difungsikan sebagai sebuah hukuman (punishment) yang diharapkan ke depannya terjadi pengurangan emisi gas rumah kaca.
“Pajak karbon tentunya ditunjukkan untuk memberikan punishment kepada penyelenggara atau kegiatan yang menghasilkan karbon itu sendiri," katanya.
Kurangi Emisi Karbon
Selain sebagai bentuk punishment, pajak karbon juga dapat digunakan untuk menambah dana, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, investasi ramah lingkungan, dan dukungan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dalam bentuk bantuan sosial.
Berkaca pada pengalaman sejumlah negara, penerapan pajak karbon ini dinilai berhasil menurunkan emisi karbon, seperti Finlandia dan Polandia.
“Negara-negara tersebut ternyata berhasil menurunkan emisi karbonnya walaupun tentunya penerimaan pajak dari karbonnya akan menurun,” kata Memed.
Menurutnya, mengurangi jejak karbon tidak dapat dilakukan seorang diri. Setiap masyarakat diharapkan bekerja sama dalam upaya mengurangi emisi karbon.
Ia mengungkapkan, ada beberapa cara untuk mengatasi terjadi emisi karbon yaitu menanam pohon, menghidari terjadi kebakaran hutan, penggunaan teknologi ramah lingkungan, dan pengenaan pajak.
Memed menegaskan pentingnya untuk bijak dalam memperlakukan alam karena generasi selanjutnya perlu juga memanfaatkan alam ini dengan baik.
“Eksploitasi alam demi kepentingan ekonomi telah merusak tatanan alam semesta. Nilai ekonomis alam semesta menjadi target dan prioritas utama daripada kesadaran diri akan kebergantungan hidup manusia pada alam semesta,” katanya.
Advertisement