Liputan6.com, Jakarta Di tahun 2025 ini Universitas Padjadjaran (Unpad) membuka jalur khusus disabilitas pada proses seleksi masuk unpad program sarjana dan sarjana terapan. Kuota yang disediakan maksimum dua persen dari total daya tampung.
“Unpad ingin menjadi inclusive hub, kami terbuka untuk siapapun yang ingin kuliah ke Unpad. Pada tahun ini kami membuka jalur baru untuk teman-teman disabilitas dan berkebutuhan khusus,” ujar Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Unpad Prof. Zahrotur Rusyda Hinduan, saat membuka kegiatan Sosialisasi SNPMB dan Seleksi Masuk Unpad Tahun 2025 di Jatinangor, Sumedang, Jumat 31 Januari 2025.
Baca Juga
Sementara, Direktur Akademik Unpad Prof. Aliya Nur Hasanah, menjelaskan, Unpad membuka kesempatan bagi calon mahasiswa penyandang disabilitas untuk program studi mana pun yang tersedia.
Advertisement
“Mulai tahun ini Unpad membuka jalur disabilitas, kami sediakan kuota dengan persentase maksimum dua persen. Saat pendaftaran, peserta akan mengisi form khusus untuk disabilitas,” ujar Aliya mengutip laman Unpad, Selasa (4/2/2025).
“Terkait detail persyaratan, akan diumumkan kemudian di laman SMUP menjelang pelaksanaan seleksi mandiri Unpad,” tambahnya.
Aliya menerangkan, peserta disabilitas bisa mengikuti seleksi mandiri dengan skema nilai ujian (SMUP atau UTBK) dan minat bakat (prestasi non akademik).
Jika memilih menggunakan nilai UTBK, selama ini panitia nasional telah memiliki fasilitas untuk peserta difabel. Sementara ujian SMUP dilakukan secara daring dan bisa dilakukan di lokasi mana pun.
Siap Sediakan Pendamping Saat Ujian
Aliya juga menyampaikan, pihak Unpad siap menyediakan pendamping bagi penyandang disabilitas yang hendak mengikuti Seleksi Masuk Universitas Padjadjaran (SMUP).
“Jika peserta disabilitas mengambil skema dengan nilai ujian SMUP dan ingin melaksanakan ujian dengan lokasi di Unpad, maka kami akan fasilitasi, termasuk menyediakan pendamping. Namun fasilitas itu tersedia by request,” jelas Aliya.
SMUP-Mandiri 2025 memiliki beberapa jalur masuk. Pertama yang disebut dengan Seleksi Mandiri, dengan dua skema yaitu skema nilai ujian dan skema minat bakat.
Kedua melalui jalur Seleksi International Undergraduate Program (IUP) atau Kelas Internasional. Ketiga melalui jalur Seleksi Kerja Sama dengan menggunakan nilai ujian (SMUP atau UTBK).
Lalu keempat adalah seleksi khusus untuk peserta disabilitas dengan skema nilai ujian dan minat bakat.
Advertisement
Angka Penyandang Disabilitas yang Kenyam Pendidikan Tinggi Masih Rendah
Kabar pembukaan seleksi jalur disabilitas menjadi angin segar bagi dunia pendidikan inklusif.
Seperti diketahui, dunia pendidikan bagi penyandang disabilitas di Indonesia masih perlu banyak dibenahi terutama dalam jenjang perguruan tinggi.
“Ketika kita bicara tentang pendidikan inklusif di perguruan tinggi, di Indonesia ini masih sangat jauh ya. Karena dari data statistik tahun 2018 menyebutkan bahwa hanya 2,8 persen dari 22 juta penyandang disabilitas di Indonesia yang menyelesaikan pendidikan tinggi,” kata dosen penyandang disabilitas di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Wuri Handayani, dalam temu media bersama British Council di Jakarta, Kamis (5/12/2024).
Minimnya angka penyandang disabilitas yang berhasil mencapai pendidikan tinggi memicu terjadinya lingkaran kemiskinan, tambah Wuri.
“Kalau saya menyebutnya sebagai lingkaran kemiskinan. Biasanya penyandang disabilitas itu akan terhambat dari lingkungan, dari infrastruktur sehingga dia tidak bisa mengenyam pendidikan dengan baik.”
Pendidikan Inklusif Harus Dimulai dari Tingkat Paling Dasar
Ketika infrastruktur pendidikan tidak bisa berjalan dengan baik, maka penyandang disabilitas tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.
“Ketika dia tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, maka dia masih dalam kondisi di mana dia selalu harus di-support dan kondisi ini masuk ke dalam lingkaran kemiskinan yang menurut saya ini harus diatasi dengan pendidikan yang memadai,” jelas perempuan pengguna kursi roda itu.
Wuri pun menerangkan, pendidikan inklusif harus dimulai dari tingkat paling dasar. Artinya mulai dari sekolah dasar, menengah, sampai ke perguruan tinggi.
“Kita tidak bisa memulai langsung di perguruan tinggi tanpa harus menyiapkan di level-level yang dasar. Sehingga, 2,8 persen ini cukup bisa dipahami karena inklusivitas di level bawah masih sangat rendah,” ucap Wuri.
“Jadi ini yang menurut saya perlu ditingkatkan, bagaimana memperluas akses pendidikan bagi adik-adik, anak-anak disabilitas di Indonesia, karena data UNESCO pernah menyebutkan bahwa hanya dua dari 10 anak disabilitas yang pernah mengenyam pendidikan sekolah dasar.”
Maka dari itu, sambungnya, pekerjaan rumah atau PR pemerintah masih banyak terutama untuk memperluas akses pendidikan terutama bagi anak-anak penyandang disabilitas.
Advertisement