Liputan6.com, Jakarta - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, terlibat secara langsung dalam penyelesaian sengketa lahan yang terjadi di Desa Setia Mekar, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi. Ia menyatakan bahwa eksekusi lahan yang dilakukan oleh pengadilan di lokasi tersebut memiliki "cacat prosedur."
"Jadi ini proses eksekusi yang prosedurnya kurang tepat. Saya menganggap penghuni ini masih sah," ungkap Nusron dalam kutipan dari Antara pada Minggu (9/2/2025).
Advertisement
Baca Juga
Dalam situasi ini, diketahui bahwa lima rumah di Desa Setia Mekar telah mengalami penggusuran hingga rata dengan tanah, meskipun berada di luar objek sengketa dan pemiliknya memiliki bukti kepemilikan yang sah. Rumah-rumah tersebut milik Asmawati, Mursiti, Siti Muhijah, Yeldi, serta korporasi Bank Perumahan Rakyat (BPR), yang semuanya memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah tempat bangunan mereka berdiri.
Advertisement
Nusron juga menjelaskan bahwa ada beberapa langkah yang tidak diikuti oleh pengadilan terkait eksekusi di Tambun Selatan. Salah satunya adalah ketidakadaan pengajuan pembatalan sertifikat tanah milik warga kepada Kantor BPN Kabupaten Bekasi sebelum eksekusi dilaksanakan.
Pengajuan tersebut seharusnya merujuk pada amar putusan gugatan yang tidak mencantumkan perintah dari pengadilan kepada BPN untuk membatalkan sertifikat tanah. Hal ini menunjukkan bahwa prosedur yang seharusnya diikuti belum dilaksanakan dengan benar.
Nusron menegaskan bahwa pengadilan wajib untuk mengajukan pembatalan sertifikat kepada BPN terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan eksekusi. Hal ini penting karena tidak adanya amar putusan yang sesuai.
"Di dalam amar putusan itu tidak ada perintah dari pengadilan kepada BPN untuk membatalkan sertifikat. Harusnya ada perintah dulu," tegasnya.
Tiga Tindakan yang Dihindari oleh Pengadilan
Selanjutnya, pengadilan memiliki tanggung jawab untuk mengirimkan surat permohonan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) di wilayah setempat. Surat ini berfungsi untuk meminta bantuan dalam pengukuran lahan yang akan disita, agar pengadilan dapat mengetahui batas lahan yang akan dieksekusi.
Selain itu, pengadilan juga diwajibkan untuk mengirimkan surat pemberitahuan kepada BPN mengenai pelaksanaan eksekusi. Dari keseluruhan proses tersebut, Nusron menegaskan bahwa tidak ada satu pun tahapan yang dilalui dengan baik oleh pengadilan saat eksekusi berlangsung. "Ini tiga-tiganya tidak dilalui dengan baik oleh pengadilan," ucapnya.
Eksekusi terhadap lima rumah warga di wilayah tersebut dilakukan pada tanggal 30 Januari 2025, berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi dengan nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS yang dikeluarkan pada tanggal 25 Maret 1997.
Putusan ini merupakan hasil dari gugatan yang diajukan oleh Mimi Jamilah, yang merupakan ahli waris Abdul Hamid, pemilik kedua tanah induk dengan nomor sertifikat 335 yang dibeli dari Djuju Saribanon Dolly pada tahun 1976.
Isu mengenai tanah ini menjadi semakin rumit karena sertifikat hak milik yang mencakup total luas 3,6 hektare tersebut telah berpindah tangan beberapa kali. Awalnya, tanah tersebut dimiliki oleh Djuju, sebelum akhirnya dijual kepada Abdul Hamid.
Advertisement
Berganti-ganti pemilik secara terus-menerus.
Abdul Hamid ternyata menjual kembali tanah tersebut kepada Kayat, yang kemudian membagi sertifikat itu menjadi empat bidang dengan nomor SHM 704, 705, 706, dan 707. Kayat menjual SHM nomor 704 dan 705 kepada Toenggoel Paraon Siagian, sementara SHM 706 dan 707 dijual secara acak tanpa pemilik yang jelas.
Setelah beberapa kali berganti pemilik, Mimi menggugat semua pihak yang memiliki hak atas tanah tersebut. Dari gugatan tersebut terungkap bahwa transaksi jual beli antara Djuju dan Abdul Hamid memiliki masalah yang serius. Djuju membatalkan perjanjian jual beli secara sepihak karena Abdul Hamid tidak berhasil melunasi pembayaran lahan tersebut.
Dalam gugatannya, Mimi menggunakan Akta Jual Beli (AJB) yang ada antara Djuju dan Abdul Hamid sebagai dasar hukum. Pada tahun 2019, Toenggoel menjual lahan SHM 705 kepada Bari setelah mengetahui bahwa Mimi telah mengajukan eksekusi pengosongan lahan pada tahun 2018. Dengan transaksi ini, nama pemilik SHM 705 berpindah dari Toenggoel ke Bari, yang kemudian membangun perumahan Cluster Setia Mekar Residence 2 di atas lahan tersebut.
Selain itu, terdapat tiga bidang tanah lain yang juga dieksekusi oleh pengadilan, yaitu SHM nomor 704, 706, dan 707.