Liputan6.com, Palembang - Meja persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Palembang kembali digelar, dengan kasus dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) akuisisi kontraktor tambang batu bara PT Satria Bahana Sarana (SBS), Jumat (26/1/2024) lalu. PT SBS sendiri diakuisisi oleh anak perusahaan PT Bukit Asam Tbk, yakni PT Bukit Multi Investama (BMI).
Dalam sidang tersebut, para saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) adalah Direktur Investment PT Bahana Securities RE Rudy Widjanarka dan Managing Partner Kantor Jasa Penilaian Publik (KJPP) Ruky, Safrudin & Rekan, Rudi Muhamad Safrudin.
Di persidangan, para saksi menyebut PT SBS layak untuk diakuisisi dalam rangka investasi PT Bukit Asam Tbk. Saksi Rudi juga menjelaskan perbedaan antara akuisisi dan investasi. Karena tidak semua investasi itu bersifat akuisisi. Namun akuisisi pasti bersifat investasi.
Advertisement
Baca Juga
Pengacara pemilik lama PT SBS, Ainuddin mengatakan, kliennya tidak terlibat sama sekali dengan proses persetujuan atau kajian, yang dilakukan oleh PT Bukit Asam Tbk maupun PT BMi.
“Klien kami cuma pihak pemberi alih yang beritikad baik. Sederhananya, merupakan penjual yang beritikad baik,” ujarnya, Minggu (28/1/2024).
Dia percaya jika PT Bukit Asam Tbk maupun PT BMI sudah melakukan dan memenuhi prosedur yang dipersyaratkan, terutama dalam sebuah akuisisi cucu perusahaan plat merah tersebut.
Ainnudin juga heran dengan perhitungan kerugian negara dari ekuitas negatif, pada saat diakusisi yang sifatnya baru potensi.
Padahal dari keterangan beberapa saksi, baik PT Bukit Asam Tbk maupun PT BMI yang mendapatkan keuntungan dengan akuisisi PT SBS tersebut.
“Bahkan per tahun 2023, PT SBS sudah mencatat untung ratusan miliar dengan ekuitas yang sudah positif sebesar Rp60 miliar,” ujarnya.
Tuduhan terkait kerugian negara yang sifatnya potensi tersebut, lanjut Ainuddin, sangat bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghilangkan kata ‘dapat’ pada ketentuan pasal dalam Undang-Undang (UU) Tipikor.
Bahkan kontribusi yang dilakukan oleh PT. SBS setelah diakusisi oleh PT BMI, jauh lebih besar melampaui perhitungan dari konsultan itu sendiri.
Simak Video Pilihan Ini:
RJPP Bukit Asam
Kasus dugaan korupsi tersebut, menjerat lima terdakwa, yakni Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk periode 2011-2016 Milawarma, eks Direktur Pengembangan Usaha PT Bukit Asam Tbk Anung Dri Prasetya dan Ketua Tim Akuisisi Penambangan PT Bukit Asam Tbk Saiful Islam.
Lalu, Analis Bisnis Madya PT Bukit Asam Tbk periode 2012-2016 yang merupakan Wakil Ketua Tim Akuisisi Jasa Pertambangan Nurtima Tobing dan pemilik SBS Tjahyono Imawan.
Mereka diduga merugikan negara (BUMN) sebesar Rp162 miliar dalam akusisi tersebut. Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumsel menyebut, dalam proses akuisisi PT SBS oleh PT Bukit Asam Tbk melalui PT BMI pada 2015 tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan maupun peraturan internal PT Bukit Asam Tbk. Serta tidak menerapkan prinsip Good Corporate Governance (GCG).
Gunadi Wibakso, kuasa hukum dari pihak 4 terdakwa lainnya mengatakan, langkah akuisisi PT SBS sendiri diklaim sebagai realisasi atas Program Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) PT Bukit Asam Tbk Tahun 2013-2017.
Dalam RJPP perseroan periode 2013-2017, perusahaan tambang batubara milik negara dan salah satu pemegang izin usaha tambang batu bara terbesar nasional, PTBA belum punya kontraktor tambang sendiri. Namun dia mengklaim PT Bukit Asam Tbk justru mencatatkan laba yang signifikan paska akuisisi SBS.
“Selama ini pekerjaan penambangan diserahkan ke perusahaan lain PT Pamapersada Nusantara (Grup Astra). PT Bukit Asam Tbk berstrategi mengembangkan nilai tambah perusahaan, dengan mengakuisisi perusahaan kontarktor tambang yang sudah ada seperti PT SBS,” ungkapnya.
Advertisement