Liputan6.com, Bandung - Puluhan Warga Dago Elos yang tergabung dalam Forum Dago Melawan mendatangi kantor Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Selasa siang, 20 Februari 2024. Kedatangan mereka tak ayal sebagai juang melawan ancaman penggusuran.
Di luar maupun dalam ruang sidang, warga membentangkan spanduk-spanduk aksi di antaranya bertuliskan "Batalkan Surat Eksekusi Lahan". Warga juga lantang teriak "Dago bersatu, melawan setan tanah!".
Advertisement
Baca Juga
Rabu, 31 Januari 2024 lalu, warga dikejutkan dengan keluarnya surat Aanmaning atau teguran dari pengadilan perihal pelaksanaan putusan (eksekusi atau pengosongan lahan). Warga dipanggil menghadap ketua pengadilan pada 20 Februari 2024 di Pengadilan Negeri Bandung untuk diberi teguran dan diberitahukan batas waktu pelaksanaan eksekusi.
Advertisement
Warga pun mendesak agar pihak PN Bandung menghentikan eksekusi putusan sengketa tanah Dago Elos, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, yang telah ditetapkan melalui Putusan Nomor 454/PDT.G/2016/PN.Bdg tersebut.
Putusan PN Bandung pada 2016 soal sengketa tanah Dago Elos itu dinilai cacat hukum, diduga mengandung muslihat curang dan didasarkan pada keterangan-keterangan bohong. Putusan itupun dinilai turut jadi pangkal soal yang membuat sekitar 300 keluarga di sana terancam kehilangan tanah tempat tinggalnya.
Diketahui, pada November 2016, warga tiba-tiba digugat generasi ke empat keluarga Muller yang mengaku ahli waris lahan seluas 6,3 hektare melingkup permukiman Dago Elos-Cirapuhan, atas nama Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, Pipin Sandepi Muller, dan PT Dago Inti Graha.
Mereka mengklaim mengantongi Eigendom Verponding, bukti kepemilikan lahan era Hindia Belanda, diwariskan kakek mereka, George Hendrik Muller. Haknya lalu dioper kepada PT Dago Inti Graha, 1 Agustus 2016, lewat direktur utama Orie August Chandra.
Majelis hakim PN Bandung saat itu memenangkan gugatan keluarga Muller. Sejumlah bukti dari warga dimentahkan, dianggap tak cukup kuat untuk jadi alas hak.
Sengketa tersebut bergulir hingga Mahkamah Agung (MA). Warga sempat menang di tingkat MA. Namun, Putusan Peninjauan Kembali (PK) MA yang terbit tahun 2022 ternyata menguntungkan keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha. Pihak-pihak itu diprioritaskan memperoleh hak milik tanah, sedangkan warga Elos terancam digusur karena dianggap melakukan perbuatan melawan hukum.
Sebagai catatan, jalan terjal peradilan yang ditempuh warga Dago Elos ini sebelumnya sempat dimuat Liputan6.com dalam artikel Jalan Terjal Peradilan Warga Dago Elos Melawan Penggusuran.
Fakta Temuan Warga
Sejak awal, warga enggan menerima putusan pengadilan. Sikap yang sama kembali mereka tegaskan saat menerima surat teguran pengosongan lahan. Sampai saat ini warga masih berupaya mempertahankan kampung kota di bawah bayang penggusuran.
Warga meyakini putusan hukum yang mereka terima didasarkan pada kecurangan, bahwa Heri Hermawan Muller, Dedy Kustendi Muller, Pipin Sandepi Muller, serta Jo Buli Hartanto selaku Direktur PT Dago Inti Graha, diduga memberikan keterangan-keterangan tidak benar dalam persidangan.
"Empat orang tersebut di atas diduga telah memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar, dalam sengketa lahan yang telah diputuskan oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Bandung," dalam keterangan tertulis Forum Dago Elos Melawan, Selasa, 20 Februari 2024.
Keterangan tidak benar yang dimaksud warga misalnya menyangkut akta peralihan kepemilikan tanah.
Jadi, merujuk putusan PN Bandung Nomor 454/PDT.G/2016/PN.Bdg, diklaim bahwa tanah permukiman warga Dago Elos-Cirapuhan mulanya milik sebuah pabrik semen pada masa kolonial Belanda, PT Tegel Semen Handeel “Simoengan”.
Selanjutnya, disebutkan bahwa kepemilikan tanah itu diserahkan kepada George Hendrik Muller melalui akta yang dibuat di hadapan notaris pada 7 Agustus 1899.
Namun, warga menduga informasi itu bohong. Pasalnya, warga berhasil menemukan fakta bahwa George Hendrik Muller baru lahir pada 24 Januari 1906. Bukti tanggal kelahiran itu tertera pada nisan makam George Hendrik Muller.
Warga lantas mempertanyakan, bagaimana mungkin George Hendrik Muller yang baru lahir tahun 1906 itu sudah bisa mengurus kepemilikan tanah di tahun 1899?
"Sungguh di luar nalar kami, bila ada yang -lahir saja belum- namun pada tanggal 7 Agustus 1899 sudah bernama George Hendrik Muller, sudah memiliki kemampuan menghadap notaris, dan melakukan perbuatan perdata menerima peralihan hak atas tanah," tulis warga.
Warga pun sudah melaporkan Heri Hermawan Muller, Dedy Kustendi Muller, Pipin Sandepi Muller, dan Jo Buli Hartanto ke Polda Jawa Barat. Mereka diduga melakukan perbuatan pidana yakni memberikan keterangan-keterangan tidak benar dalam persidangan di PN Bandung.
"Berdasarkan penelusuran di atas, kami Forum Dago Melawan meyakini bahwa keempat orang yang kami laporkan di atas telah melakukan perbuatan nekat yaitu: di depan pengadilan memberikan keterangan (tertulis) yang tidak masuk akal, yang kebenarannya sangat meragukan, dan karenanya harus segera diselidiki secara serius oleh pihak kepolisian," tulis warga.
Advertisement
Klaim Lapuk Zaman 'Baheula'
Diketahui, klaim kepemilikan tanah itu didasarkan pada Eigendom Verponding, bukti kepemilikan tanah yang berlaku pada era Hindia Belanda. Namun, aturan pertanahan peninggalan kolonial itu sudah lapuk atau kadaluwarsa. Di antaranya, ditandai terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Tanah bekas Eigendom yang tidak dikonversi ulang otomatis dinasionalisasi menjadi tanah yang dikuasai negara. Dalam hal ini, termasuk tanah sengketa di Dago Elos-Cirapuhan.
Dalam putusan Kasasi pada 2019, majelis hakim menilai, klaim Eigendom Verponding keluarga Muller tidak berkekuatan hukum karena sudah berakhir dan tidak dikonversikan paling lambat 24 September 1980.
Majelis hakim mendasarkan putusannya sesuai Kepres Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, serta Permendagri Nomor 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat.
Dengan demikian, tanah Elos dinyatakan tanah yang dikuasai negara. Keluarga Muller atau PT Dago Inti Graha dinilai tidak berhak mengklaim, selain alas hak Eigendom Verponding kadaluwarsa, mereka pun tidak menempati atau menguasainya secara langsung.
Sebaliknya, yang lebih berhak atas tanah Elos adalah warga, sebab terbukti menguasai atau menempati tanah sejak lama.
“Telah terbukti Para Tergugat sudah menguasai objek sengketa dalam kurun lama, terus menerus dan sebagian sudah diberikan sertifikat hak milik, penguasaan mana patut dan adil untuk diberikan hak milik atau diberikan hak prioritas untuk memohon hak atas tanah,” dikutip dari salinan putusan Mahkamah Agung.
Disampaikan LBH Bandung dalam pernyataan tertulis, pasca putusan Kasasi, terhitung sejak 21 Januari 2021, warga mengajukan permohonan sertifikasi pendaftaran tanah kepada Kantor Agraria dan Pertanahan (ATR/BPN) Kota Bandung, tapi tak kunjung ditanggapi.
Hingga akhirnya, putusan PK Mahkamah Agung kadung terbit, menjungkirbalikkan kemenangan singkat yang sebelumnya sempat diraih warga.
Sementara itu, dalam suatu diskusi bertajuk ‘Kita Masih Dijajah’, di Balai RW 02 Dago Elos, 2022 lalu, Bambang yang menjadi salah satu pemateri diskusi menilai, pertimbangan MA dalam putusan PK itu tidak lengkap.
Putusannya dinilai hanya cenderung bersandar pada aspek formalitas pemberkasan, mengenyampingkan aspek realitas warga.
“Selain pertimbangan yuridis atau berkas-berkas, harusnya melihat secara sporadis di lapangan. Jika semangatnya (UUPA) untuk kemakmuran rakyat, maka lihatlah siapa yang paling lama menggarap, itu yang diutamakan,” katanya.
“Jadi warga penting untuk tetap bertahan tinggal disini (Dago Elos). Tetap mempertahankan kampung, tetap mengurus kampung, tetap memelihara kampung,” katanya.