Rupiah Terus Melemah, Ini Kritik Pengamat terhadap Menkeu Sri Mulyani

Pemerintah dinilai kurang serius dalam menangani pelemahan Rupiah terhadap dolar AS belakangan ini.

oleh Kartika diperbarui 27 Apr 2024, 20:00 WIB
Diterbitkan 27 Apr 2024, 20:00 WIB
Rupiah Terus Melemah, Ini Kritik Pengamat terhadap Menkeu Sri Mulyani
Ilustrasi Rupiah (Pixabay.com)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonomi makro tanah air tengah mengalami gonjang-ganjing pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pada perdagangan Jumat, 26 April 2024 rupiah ditutup melemah pada posisi Rp 16.210 per dolar AS atau turun 22 poin atau 0,14 persen dibandingkan dengan sebelumnya di level Rp 16.188.

Selain itu, mengacu kurs tengah Jisdor, nilai tukar rupiah pada Jumat (26/4/2024) berada pada level Rp 16.222 per dolar AS, atau melemah dibanding Kamis (25/4/2024) pada level Rp 16.208 per dolar AS.

Menanggapi hal ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa pelemahan rupiah masih lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara lain seperti Thailand, Korea, dan Turki. Namun, menurut Ekonom UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat, ketidakstabilan rupiah membutuhkan tinjauan kritis.

"Memang, secara nominal, rupiah mungkin tidak terdepresiasi seburuk mata uang negara lain, tetapi pernyataan ini cenderung menyesatkan dan dapat mengurangi urgensi dalam menangani masalah fundamental ekonomi Indonesia," katanya, Jumat 26 April 2024.

Menurutnya, pernyataan Sri Mulyani cenderung misleading karena menilai kinerja mata uang hanya berdasarkan depresiasi nominal di pasar Forex bisa menyesatkan. "Mengklaim bahwa “lebih baik” dibandingkan negara lain adalah pendekatan yang reduktif yang mengabaikan faktor-faktor kompleks yang membentuk ekonomi suatu negara," kritiknya.

Dia menilai meski pelemahan rupiah mungkin terlihat lebih minimal dibandingkan dengan mata uang negara lain, namun tidak serta merta berarti bahwa kondisi ekonomi Indonesia lebih stabil atau lebih baik.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Kurang Serius Atasi Masalah Fundamental Ekonomi

Achmad Nur Hidayat yang juga CEO Kebijakan Publik Narasi Institute ini menilai ada ketidakseriusan pemerintah dalam menanggapi pelemahan Rupiah yang menyebabkan kegagalan dalam mengatasi masalah yang lebih mendalam. Sebut saja ketergantungan berlebihan terhadap utang luar negeri, defisit transaksi berjalan, dan ketidakseimbangan neraca perdagangan.

"Ekonomi Indonesia sendiri mengalami utang luar negeri yang terus meningkat, defisit transaksi berjalan yang membesar dan ketidakseimbangan neraca perdagangan yang persisten. Ketiga faktor ini disebut faktor fundamental tersebut lah yang menyebabkan nilai tukar rupiah tembus Rp 16.200 per dolar AS bahkan bisa mencapai Rp 16.900 per dolar AS di akhir tahun 2024," bebernya.

Dia juga mengkritisi utang luar negeri Indonesia yang terus meningkat. Per akhir tahun 2023, total utang luar negeri Indonesia mencapai sekitar US$ 407,1 miliar atau Rp 6.597 triliun (kurs Rp 16.200 per dolar AS).

Dia mengatakan peningkatan ini mencerminkan pertumbuhan tahunan sebesar 2,7 persen dari tahun sebelumnya. Mengutip dari halaman ULN Indonesia, komposisi ULN ini terutama disebabkan oleh 23,7% berasal sektor Kesehatan dan Layanan Sosial paska Pandemi Covid (Rp 1563 triliun), 18,9% dari sektor Administrasi Pemerintah, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib (Rp 1246 Triliun), 14,1% dari utang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur (Rp930 triliun).

"Pelibatan APBN untuk proyek Infrastruktur seperti KA Cepat Jakarta-Bandung, IKN dan Proyek Strategis Nasional (PSN) lainnya menambah berat beban utang luar negeri Indonesia," ungkapnya.

 

Defisit Transaksi Berjalan Naik

Belum lagi adanya kecenderungan defisit transaksi berjalan yang terus naik. Pada tahun 2023, Indonesia mencatat defisit transaksi berjalan sebesar 0,1% dari PDB. Defisit ini terjadi disebabkan penurunan harga komoditas global yang mempengaruhi ekspor negara.

Pada 2024, Indonesia diperkirakan akan mengalami defisit transaksi berjalan yang lebih tinggi. "Diperkirakan defisit ini akan berada dalam kisaran 0,1% hingga 0,9% dari PDB, menandakan manajemen keuangan negara memburuk," ujarnya.

Achmad juga membeberkan kinerja neraca perdagangan yang tumbuh positif namun kurang berkesan. Di mana pada Januari 2024, Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan sebesar US$ 2,01 miliar. "Ini menunjukkan penurunan dari US$ 3,31 miliar yang dicatat pada Desember 2023. Pada periode yang sama, surplus diperoleh terutama dari komoditas non-minyak dan gas seperti bahan bakar mineral seperti nikel ore dan bauksit serta minyak lemak hewan dan nabati, juga besi dan baja," kata dia.

Karenanya dia menilai Indonesia membutuhkan reformasi ekonomi. "Fokusnya Menteri Keuangan kepada perbandingan yang sempit itu dapat mengalihkan perhatian dari kebutuhan untuk reformasi ekonomi yang lebih substantif," ujar Achmad.

Ketidakseriusan dalam menghadapi pelemahan rupiah juga mencerminkan kegagalan dalam mengatasi masalah ekonomi yang lebih kompleks. Padahal, fokus yang sempit pada perbandingan nilai tukar dapat mengaburkan gambaran yang lebih besar, terutama masalah seperti ketergantungan yang tinggi terhadap utang luar negeri.

"Utang ini membebani anggaran negara dengan pembayaran bunga yang besar, membatasi kemampuan pemerintah untuk berinvestasi dalam pembangunan ekonomi domestik," katanya.

Demikian pula, defisit transaksi berjalan yang terus menerus mencerminkan ketidakseimbangan antara impor dan ekspor, yang menunjukkan kekurangan dalam daya saing produk domestik atau ketergantungan pada impor.

Ketidakseimbangan neraca perdagangan ini memperparah tekanan pada rupiah, membuat ekonomi Indonesia lebih rentan terhadap guncangan eksternal. "Sehingga, sangat penting untuk melakukan reformasi ekonomi yang lebih mendalam dan berkelanjutan, bukan hanya merespons fluktuasi nilai tukar semata. Kita perlu mendorong peningkatan produksi domestik dan diversifikasi ekspor untuk mencapai keseimbangan ekonomi yang lebih stabil dan berkelanjutan," tegasnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya