Liputan6.com, Yogyakarta - Budaya tempe resmi diajukan sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO. Melansir Antara, pengajuan ini dilakukan oleh komunitas melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada akhir Maret lalu.
Saat ini, pengajuan tersebut sedang proses menunggu waktu untuk dibahas oleh Sekretariat Konvensi 2023 UNESCO. Tempe memiliki sejarah panjang yang mempengaruhi kekayaan kuliner nusantara.
Tempe menjadi salah satu kekayaan makanan tradisional Indonesia yang berasal dari dapur masyarakat Jawa. Kehadiran tempe dalam budaya makan suku Jawa, terutama di Yogyakarta dan Surakarta, diabadikan sejak berabad-abad yang lalu.
Advertisement
Baca Juga
Tak diketahui dengan pasti bagaimana awal mula tempe ditemukan. Satu-satunya bukti kehadiran tempe di tengah masyarakat Jawa muncul dalam Serat Centhini.
Winarno dalam buku Tempe-kumpulan fakta menarik berdasarkan penelitian (2017) menyebut, tempe pertama kali ditemukan pada manuskrip Serat Centhini dari abad ke-16. Manuskrip ini menunjukkan jejak kata "tempe" dalam hidangan seperti "jae santen tempe dan kadhele tempe srundengan."
Serat Centhini memberikan gambaran bahwa tempe pertama kali diproduksi dari kedelai hitam oleh masyarakat pedesaan tradisional Jawa di daerah Mataram dan berkembang sebelum abad ke-16. Asal-usul kata tempe dapat ditelusuri dalam bahasa Jawa kuno.
Dalam bahasa Jawa kuno ada makanan berwarna putih bernama tumpi yang terbuat dari tepung sagu. Tempe segar yang juga berwarna putih, mirip dengan tumpi, sehingga dapat menciptakan keterkaitan historis.
Selain itu, dokumen kamus bahasa Jawa-Belanda yang terbit pada 1875, mencatat bahwa pembuatan tempe dimulai selama era Tanam Paksa di Jawa pada 1875. Kala itu, masyarakat Jawa terpaksa menggunakan hasil pekarangan, seperti singkong, ubi, dan kedelai, sebagai sumber pangan.
Fermentasi kedelai menggunakan kapang Aspergillus menjadi cara utama dalam pembuatan tempe. Dari Jawa, teknik ini merambat ke seluruh Indonesia, seiring dengan migrasi masyarakat Jawa ke berbagai penjuru Tanah Air.
Selama masa pendudukan Jepang di Indonesia, tempe berhasil menyelamatkan kesehatan para tawanan perang, mencegah disentri dan busung lapar. Studi pada 1940-an hingga 1960-an menunjukkan peran krusial tempe dalam kelangsungan hidup tahanan Perang Dunia II.
Era akhir 1960-an dan awal 1970-an menandai perubahan dalam proses pembuatan tempe di Indonesia. Plastik menggantikan daun pisang sebagai bahan bungkus, ragi tepung menggantikan ragi tradisional, dan kedelai impor menggeser kedelai lokal.
Menariknya, istilah tempe pernah digunakan sebagai kata kiasan untuk merendahkan orang di perkotaan Jawa, terutama di Jawa Tengah. Istilah seperti mental tempe atau kelas tempe mengindikasikan sesuatu yang dianggap bermutu rendah.
Presiden pertama Indonesia, Soekarno, bahkan mengingatkan rakyatnya untuk tidak menjadi bangsa tempe.