PP Persis Tolak Aturan Pemberian Alat Kontrasepsi untuk Remaja dan Pelajar

Aturan pemberian alat kontrasepsi kepada remaja dan pelajar dinilai tidak sesuai dengan asas moralitas, karena secara tidak langsung akan mendukung perzinaan.

oleh Arie Nugraha diperbarui 13 Agu 2024, 03:00 WIB
Diterbitkan 13 Agu 2024, 03:00 WIB
Memilih metode alat kontrasepsi
Vaginal ring atau NuvaRing. (unsplash.com/@rhsupplies)

Liputan6.com, Bandung - Organisasi keagaman Pimpinan Pusta Persatuan Islam (PP Persis) menolak kebijakan pemerintah soal aturan pemberian alat kontrasepsi untuk remaja dan pelajar.

Dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan disebutkan bahwa pelayanan alat kontrasepsi untuk pelajar ini tercantum dalam pasal 103 ayat 4.

Menurut Anggota Dewan Hisbah PP Persis, Ginanjar Nugraha, dalam ayat tersebut disebutkan yakni berupa deteksi dini penyakit atau skrining; pengobatan; rehabilitasi; konseling; dan penyediaan alat kontrasepsi.

"Kami menolak pemberian alat kontrasepsi untuk pelajar dengan beberapa alasan. Salah satunya bisa membuka peluang perzinaan. Hal ini berlaku dalam agama mana pun, bahwa zina itu termasuk dosa besar," ujar Ginanjar dicuplik dari laman Persis, Minggu (11/8/2024).

Ginanjar mengatakan hal tersebut tidak sesuai dengan asas moralitas, karena secara tidak langsung akan mendukung perzinaan.

Kedua sebut Ginanjar, itu termasuk ta’awun alias saling tolong menolong dalam kemaksiatan, khususnya perzinaan pada anak usia sekolah.

"Dengan dalih apa pun seperti edukasi, tetap saja ini akan memberikan ekses yang negatif, madharat-nya akan lebih besar daripada manfaatnya. Karena seolah-olah melegalkan perzinaan," kata Ginanjar.

Ginanjar menyebutkan pihaknya khawatir ada agenda tersembunyi di dalamnya. Ginanjar menyarankan agar pemerintah sebaiknya melakukan tindakan pencegahan yang lebih proaktif.

Misalnya penutupan situs porno, pembinaan keagamaan bagi remaja, dan jual beli alat kontrasepsi pada remaja yang sebaiknya dihentikan.

"Khawatir ada idiologi tertentu yang mempunyai kepentingan untuk merusak generasi. Sebaiknya pemerintah melakukan tindakan prepentif sebagai upaya unntuk mencegah terjadinya pergaulan bebas di wilayah peserta didik," ucap Ginanjar.

 

Tanggapan Pengurus Jabar

Serupa dengan PP Persis, Pimpinan Wilayah Persatuan Islam Jawa Barat (PW Persis Jabar) turut menyikapi tentang Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 terkait Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan 17 Tahun 2023, khususnya pembagian alat kontrasepsi gratis.

"Kami meminta, agar apa pun kebijakan yang dibuat pemerintah tidak berdampak negatif yang besar terhadap masa depan bangsa kita," ucap Ketua PW Persis Jaba, Iman Setiawan Latief.

Kelompoknya juga menolak pembagian alat kontrasepsi gratis. Ia menilai, pembagian alat kontrasepsi gratis akan berkaitan dengan akhlak dan moral anak-anak kita ke depan.

"Semua pihak memiliki tanggung jawab untuk menjaga akhlak dan moral calon pemimpin-pemimpin bangsa ini, agar bangsa kita ke depan tetap memiliki nilai-nilai, etika, sopan santun, serta akhlak yang baik," ucap Iman.

Menurutnya, kebijakan ini berpotensi merusak anak-anak bangsa, yang akan berdampak kepada pergaulan seks bebas, perbuatan amoral dan dekadensi moral.

Oleh karena itu, PW Persis Jabar meminta agar aturan terkait pengadaan alat kontrasepsi bagi anak siswa sekolah dan remaja jangan hanya dilihat dari segi kesehatan saja.

"Tetapi juga dari aspek moral dan akhlak juga dari segi agama dan etika," jelas Iman.

Iman berharap agar para perumus dan pemangku kebijakan betul-betul mendengar aspirasi semua pihak, serta semua aspek, terutama kalangan tokoh, ulama, kalangan agamawan lain dan kalangan pendidikan.

"Hal ini agar tidak menimbulkan hal yang kontraproduktif karena dampaknya akan signifikan. Anak-anak kita akan merasa seolah perbuatan hubungan di luar nikah menjadi sesuatu yang dilegalkan oleh pemerintah, dengan aturan ini," tukas Iman.

Terakhir, dalam keterangannya, Ia meminta agar dipertimbangkan kembali PP Nomor 28 Tahun 2024 terkait Pelaksanaan UU Kesehatan 17 Tahun 2023 untuk diperbaiki dan ditunda pelaksanaannya.

 

Penyediaan Alat Kontrasepsi untuk Remaja Berpotensi Multitafsir?

Dilansir Kanal Health, Liputan6, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) yang telah diteken Presiden Joko Widodo pada 26 Juli 2024 itu memicu berbagai reaksi, terutama mengenai Pasal 103 ayat 4 yang mengatur tentang penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar dan remaja. Isu ini menuai respons dari banyak pihak.

Pada pasal 103 ayat 4 dikatakan: Pelayanan Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. deteksi dini penyakit atau skrining;b. pengobatan;c. rehabilitasi;d. konseling; dane. penyediaan alat kontrasepsi.

Sementara di ayat 1 pasal tersebut isinya menyebutkan: Upaya Kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf b paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta Pelayanan Kesehatan reproduksi.

Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetyarii Aher menjadi salah satu yang mengkritik PP tersebut. Netty menilai PP Nomor 28 Tahun 2024, khususnya pasal 103 ayat 4 perlu diperjelas sehingga tidak menjadi anggapan pembolehan hubungan seksual pada anak usia sekolah dan remaja.

"Pada pasal 103 ayat 4 disebutkan bahwa dalam hal pelayanan kesehatan reproduksi bagi siswa dan remaja ada penyebutan penyediaan alat kontrasepsi. Aneh kalau anak usia sekolah dan remaja mau dibekali alat kontrasepsi. Apakah dimaksudkan untuk memfasilitasi hubungan seksual di luar pernikahan?" kata Netty dalam keterangan kepada media, di Jakarta, Minggu (4/8/2024), seperti dikutip dari laman dpr.go.id.

Netty mempertanyakan adanya penyebutan soal "Perilaku seksual yang sehat, aman, dan bertanggung jawab pada anak sekolah dan usia remaja" yang tercantum dalam PP tersebut.

"Perlu dijelaskan apa maksud dan tujuan dilakukannya edukasi perilaku seksual yang sehat, aman dan bertanggungjawab. Apakah ini mengarah pada pembolehan seks sebelum nikah asal bertanggungjawab?"

Kritik senada juga datang dari anggota Komisi IX DPR RI lainnya, yakni Arzetti Bilbina.

"Hati-hati, jika gagal pengawasan justru jadi racun perusak anak-anak! Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan ini diimbangi dengan pendidikan seksual yang holistik dan pendekatan yang sensitif terhadap nilai-nilai masyarakat karena bisa jadi bumerang bagi anak muda Indonesia,” ujar Arzeti pada Selasa (6/8).

Menurut Arzetti, pasal 103 terkait alat kontrasepsi tidak tertulis secara detail mengenai pelajar yang diberikan edukasi sehingga rawan disalahartikan.

"Saya kira perlu ada penjelasan dan edukasi yang clear, karena bunyi pasal yang sekarang bisa membuat salah tafsir,” tuturnya.

Adapun bunyi aturan tersebut sebagai berikut: Pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) paling sedikit meliputi: a. deteksi dini penyakit atau skrining, b. pengobatan, c. rehabilitasi, d. konseling, e. penyediaan alat kontrasepsi’.

Menurut Arzeti, aturan itu tidak sejalan dengan norma-normal di Indonesia. Terlebih bagi anak-anak usia remaja yang seharusnya tidak boleh melakukan hubungan seksual karena akan berpengaruh terhadap kesehatannya.

"Jangan sampai aturan ini malah menjadi dasar anak-anak muda melakukan tindakan seksual di luar pernikahan. Selain secara norma dilarang, dampak kesehatannya juga sangat berpengaruh," jelas Politisi Fraksi PKB.

Sementara itu dalam kesempatan berbeda, Netty meminta agar PP tersebut segera direvisi agar tidak menimbulkan keriuhan di akar rumput.

“Harus ada kejelasan soal edukasi seputar hubungan seksual yang mana tidak boleh terlepas dari nilai-nilai agama dan budaya yang dianut bangsa," tambah politisi dari PKS itu.

 

Tanggapan Komisi X DPR RI

Komentar keras pun datang dari Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih. Dia menyayangkan beleid yang salah satunya terkait penyediaan alat kontrasepsi bagi siswa dan remaja usia sekolah. Menurutnya hal itu tidak sejalan dengan amanat pendidikan nasional.

"Beleid tersebut tidak sejalan dengan amanat Pendidikan nasional yang berasaskan budi pekerti luhur dan menjunjung tinggi norma agama,” tegas Abdul Fikri, dikutip Parlementaria dari keterangan tertulisnya, Sabtu (3/8).

Menurutnya, penyediaan fasilitas alat kontrasepsi bagi siswa sekolah ini sama saja membolehkan budaya seks bebas kepada pelajar. “Alih-alih menyosialisasikan resiko perilaku seks bebas kepada usia remaja, malah menyediakan alatnya, ini nalarnya ke mana?” ujarnya.

Menurutnya, semangat dan amanat Pendidikan Nasional adalah menjunjung budi pekerti yang luhur dan dilandasi norma-norma agama yang telah diprakarsai para Founding Father.

“Salah langkah kalau kita malah mengkhianati tujuan besar Pendidikan nasional yang sudah kita cita-citakan bersama,” ujarnya.

Abdul Fikri ustru menekankan pentingnya pendampingan (konseling) bagi siswa dan remaja, khususnya edukasi mengenai kesehatan reproduksi melalui pendekatan norma agama dan nilai pekerti luhur yang dianut budaya ketimuran di nusantara.

“Tradisi yang telah diajarkan secara turun temurun oleh para orangtua kita adalah bagaimana mematuhi perintah agama dalam hal menjaga hubungan dengan lawan jenis, dan resiko penyakit menular yang menyertainya,” tuturnya.

Adapun Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian mengimbau agar pemerintah memerhatikan beberapa aspek penting dalam kebijakan tersebut.

Hetifah khawatir jika tidak dilaksanakan dengan benar, dapat menimbulkan kesalahpahaman mengenai tujuan kebijakan itu.

"Pemerintah harus memberikan penjelasan yang jelas dan mendetail mengenai kebijakan ini dengan menekankan bahwa penyediaan alat kontrasepsi merupakan langkah preventif untuk kesehatan reproduksi dan bukan untuk mendorong perilaku seks bebas," ujarnya, Senin (5/8/2024)

Hetifah pun menyoroti perlunya kurikulum pendidikan seks yang sesuai dengan nilai-nilai moral dan budaya Indonesia dan memastikan pemahaman yang tepat pada remaja.

Selain itu, orangtua juga perlu terlibat dalam program tersebut. "Orangtua harus dilibatkan secara aktif dalam program edukasi kesehatan reproduksi untuk memastikan mereka memahami pentingnya pendidikan seks dan peran mereka dalam membimbing anak-anak," katanya.

Monitoring dan evaluasi berkala juga penting dilakukan untuk memastikan pelaksanaan kebijakan berjalan sesuai tujuan dan tidak disalahartikan.

"Penting untuk melakukan monitoring dan evaluasi secara rutin untuk menilai efektivitas kebijakan ini dan memastikan program dilaksanakan dengan benar," ungkapnya.

 

Tanggapan Kemenkes RI

Terkait respons mengenai PP No. 28 tersebut, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pun angkat bicara. Menurut Kemenkes, aturan itu memuat upaya pemerintah meningkatkan layanan promotif dan preventif atau mencegah masyarakat menjadi sakit.

Juru Bicara Kemenkes dr Mohammad Syahril menjelaskan bahwa edukasi terkait kesehatan reproduksi termask juga mengenai penggunaan kontrasepsi. Namun penyediaan alat tersebut bukan ditujukan bagi semua remaja, melainkan yang telah menikah.

“Namun penyediaan alat kontrasepsi tidak ditujukan untuk semua remaja, melainkan hanya diperuntukkan bagi remaja yang sudah menikah dengan tujuan menunda kehamilan ketika calon ibu belum siap karena masalah ekonomi atau kesehatan,” kata dr. Syahril di Jakarta (5/8).

“Jadi, penyediaan alat kontrasepsi itu hanya diberikan kepada remaja yang sudah menikah untuk dapat menunda kehamilan hingga umur yang aman untuk hamil,” katanya.

Pernikahan dini akan meningkatkan risiko kematian ibu dan anak. Risiko anak yang dilahirkan akan menjadi stunting juga sangat tinggi.

Sesuai dengan ketentuan dalam PP tersebut, sasaran utama pelayanan alat kontrasepsi adalah pasangan usia subur dan kelompok usia subur yang berisiko. Dengan demikian, penyediaan alat kontrasepsi tidak akan ditujukan kepada semua remaja.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya