OPINI: Pengaruh FOMO Terhadap Perilaku Konsumtif dalam Pandangan Ekonomi Islam

FOMO ini bisa terjadi pada semua gender dan usia, namun tidak bisa dipungkiri bahwa anak muda merupakan kalangan yang mendominasi terjadinya gaya hidup FOMO ini.

oleh Tim Regional diperbarui 15 Agu 2024, 09:44 WIB
Diterbitkan 12 Agu 2024, 18:25 WIB
Ilustrasi FOMO
Ilustrasi FOMO. (Image by freepik)

Liputan6.com, Jakarta - FOMO (Fear Of Missing Out) adalah rasa takut merasa tertinggal karena tidak mengikuti aktivitas tertentu. Rasa takut dan cemas itu sendiri muncul di dalam diri seseorang karena merasa tertinggal akan sesuatu yang baru, misalnya seperti berita atau tren terkini.

Orang yang mengalami FOMO itu biasanya beranggapan dan berpikir bahwa kehidupan orang lain lebih menyenangkan dibanding hidupnya sendiri. Oleh sebab itu, mereka akan mengkuti tren demi terlihat bahagia dan keren.

Seseorang yang mengalami FOMO memiliki tingkat kepuasan hidup yang lebih rendah karena terus membandingkan hidupnya dengan orang lain dan merasa apa yang telah dilakukan atau dimiliki seakan akan tidak pernah cukup. Dan mereka akan terus-menerus merasa perlu terlibat dalam segala hal agar tidak kehilangan momen atau peluang penting.

FOMO ini memiliki kaitan yang erat dengan sebuah aktivitas konsumsi, baik konsumsi dalam bentuk barang maupun jasa. Dalam ekonomi, fenomena FOMO menyebabkan kecenderungan gaya hidup yang konsumtif, melakukan aktifitas konsumsi secara berlebihan diluar kebutuhan pokoknya.

FOMO ini bisa terjadi pada semua gender dan usia, namun tidak bisa dipungkiri bahwa anak muda merupakan kalangan yang mendominasi terjadinya gaya hidup FOMO ini. Yang dimana usia muda saat ini sedang melek media sosial.

Karena salah satu penyebab terbesar dari FOMO adalah penggunaan media sosial dibarengi dengan berkembangnya bidang periklanan yang mudah dijumpai dimanapun dan di semua media sosial. Media sosial dan periklanan inilah yang memperkuat persepsi seseorang yang menganggap sebuah keharusan dalam gaya hidup dan kepemilikan barang.

Hal ini mendorong seseorang ingin mendapat pengakuan orang lain dengan memperlihatkan gaya hidup glamor dengan membeli atau mengonsumsi barang secara terus menerus.

Apabila kebiasaan gaya hidup konsumtif terus berlanjut akan membuat masalah ekonomi yang serius di masa depan anak muda, apalagi jika tidak diimbangi dengan kebiasaan menabung. Dan dalam pandangan ekonomi Islam, budaya konsumtif bertentangan dengan ajaran agama terkait nilai-nilai kesederhanaan (qana'ah) dan keadilan ('adl).

Selain itu, dalam menggunakan sumber daya yang ada juga perlu menyikapi dengan bijak dan seimbang. Keseimbangan tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan standar gaya hidup yang Islami

Dimulai dari niat dalam mengawali segala aktifitas dengan tujuan ibadah kepada Allah SWT, menerapkan gaya hidup yang baik dan sesuai syariah, akal sehat, adat istiadat, menerapkan gaya hidup yang halal dan tidak menyebabkan kerusakan atau berbuat tidak adil kepada orang lain.

Dampak FOMO ini dapat sangat merugikan bagi kesejahteraan mental dan emosional. Ketika seseorang terlalu fokus pada apa yang sedang terjadi di kehidupan orang lain, mereka cenderung mengabaikan atau mengesampingkan kebutuhan dan keinginan mereka sendiri.

Hal ini dapat menyebabkan peningkatan tingkat stres, kecemasan, depresi dan bahkan dapat mengganggu kehidupan orang lain. Contohnya selalu ingin tahu kehidupan orang lain dan selalu ingin tahu gosip terbaru. Hal tersebut sudah dapat menganggu kenyamanan dan kententraman orang lain.

Sudah tidak sedikit yang menggosip bahkan mencampuri kehidupan privasi orang lain di sosmed. Dari dampak tersebut sudah terlihat jika FOMO menimbulkan sifat iri dan tidak bersyukur. Mereka selalu membandingkan nasib mereka dengan orang lain, tidak pernah merasa bersyukur dan cukup atas apa yang telah dimilikinya sekarang. Dan perlu diingat bahwa apa yang diperoleh seseorang merupakan bagian dari apa yang telah diusahakan.

Allah juga melarang kita iri hati pada hal-hal yang dilebihkan oleh Allah pada orang lain. Cerita dan segala pencapaian yang diraih orang lain adalah data yang bisa kita gunakan sebagai motivasi, bukan menjadi sebab hilangnya rasa nikmat hal-hal yang kita miliki.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Hedonisme

Tidak hanya berdampak bagi kondisi mental, tetapi FOMO juga memiliki keterkaitan dengan perilaku hedonisme. Yaitu ketika individu terpapar oleh media sosial yang membuat mereka dengan mudahnya terpapar postingan-postingan yang sulit untuk difilter.

Berbagai konten media sosial dapat menjadi penyebab perilaku konsumtif karena membuat individu menjadi konsumen terhadap konten orang lain.

Walaupun sebenarnya mengonsumsi adalah hal yang wajar, tetapi jika dilakukan secara terus menerus dikhawatirkan dapat menyebabkan perilaku konsumtif. Disini sudah jelas sangat menyimpang dari prinsip konsumsi dalam islam.

Sikap seseorang yang membelanjakan hartanya secara berlebihan atau pemborosan yang tidak disesuaikan dengan kebutuhan yang sedang dibutuhkan merupakan bagian dari perilaku israf (berlebih-lebihan) dan mubazir (boros).

Agama Islam melarang umatnya untuk membelanjakan harta mereka atau melakukan kegiatan konsumsi secara berlebih-lebihan (Israf) dan boros (mubazir), namun Islam mengajarkan untuk membelanjakan harta secara bijak dan sesuai dengan kebutuhan dan pendapatan.

Dan Islam memerintahkan untuk memprioritaskan konsumsi yang lebih diperlukan dan lebih bermanfaat dan menjauhkan konsumsi yang berlebih-lebihan untuk semua jenis komoditi.

Hal tersebut dijelaskan dalam Surat Al Furqan ayat 67 yang artinya “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al Furqan : 67).

Agar terhindar dari perilaku konsumtif yang disebabkan oleh FOMO ada baiknya kita membatasi waktu dalam bermain media sosial dan memberikan kesadaran dalam diri bahwa tidak semua hal atau tren di masyarakat harus diikuti kecuali yang memang dibutuhkan.

Selain itu, kita juga harus mampu menentukan prioritas dari kebutuhan dengan mempraktikkan nilai-nilai kesederhanaan (qana’ah). Karena agama Islam mengutamakan prinsip prioritas dalam memenuhi kebutuhan manusia. Lalu kita juga harus mengutamakan maslahah.

Dalam ekonomi Islam tidak mengenal konsep kepuasan tetapi lebih mengenal konsep maslahah dengan makna terpenuhi dan tercukupinya kebutuhan fisik dan spiritual. Maka, tingkat kepuasan konsumen muslim tidak dapat diukur dari seberapa banyak barang yang dikonsumsi tetapi dari kegiatan konsumsi itu seberapa besar nilai ibadah yang mampu dihasilkannya.

Jadi pada intinya, FOMO (Fear Of Missing Out) menjadikan seseorang mempunyai hasrat untuk mengikuti kegiatan orang lain di media sosial. FOMO dapat menimbulkan sifat iri terhadap orang lain, tidak bersyukur terhadap pencapaian diri sendiri, dan menimbulkan perilaku konsumtif.

Padahal ada hal yang perlu kita ketahui, bahwa setiap orang memiliki keadaan finansial dan gaya hidup yang berbeda. jadi kita tidak perlu membandingkan diri kita dengan orang lain. Cukup menjadi diri sendiri, dan bergayalah sesuai dengan kemampuan financial kita. Tahan diri untuk terus melihat ke luar.

Dan gaya hidup FOMO merupakan tantangan serius yang perlu dihadapi dengan cara mempraktikkan nilai-nilai kesederhanaan (qana’ah), tanggung jawab sosial, dan kepemimpinan diri sesuai dengan ajaran islam. Dengan demikian, rasa syukur dan kesadaran adalah solusi terbaik dari menghindari FOMO.

Penulis: Minatikal Khoiriyah/ Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pancasakti Tegal

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya