Serba-serbi Tari Legong Lasem, Seni Tari Populer di Bali

Berpadu dengan koreo yang lincah, tari legong lasem tumbuh menjadi kesenian tradisional yang jadi identitas budaya masyarakat Bali.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 22 Agu 2024, 00:00 WIB
Diterbitkan 22 Agu 2024, 00:00 WIB
Tari Legong
Tari Legong (Sumber. narwastu.org)

Liputan6.com, Bali - Legong lasem merupakan kesenian tari klasik asal Bali. Tarian yang cukup melegenda ini biasanya dipentaskan oleh tiga penari.

Dalam pementasannya, tiga gadis bermahkota bunga mengikuti irama dengan gerakan khas tari legong lasem. Dua penari berperan sebagai tokoh legong, sedangkan satu penari lainnya berperan sebagai condong alias pengemban putri raja.

Seperti tarian khas Bali lainnya, tari legong lasem memiliki ciri khas berupa kerlingan mata yang ekspresif. Berpadu dengan koreo yang lincah, tari legong lasem tumbuh menjadi kesenian tradisional yang jadi identitas budaya masyarakat Bali.

Mengutip dari indonesiakaya.com, tarian ini biasanya disisipi oleh kisah-kisah kolosal tentang kerajaan. Sebagai pelengkap, tarian ini diiringi dengan alunan gamelan gong kebyar.

Terkait penamaan, kata legong berasal dari gabungan kata leg dan gong. Leg berarti gerak tari yang luwes, lentur, atau lemah gemulai, sementara kata gong artinya gamelan. Sesuai namanya, gerakan dalam tari legong lasem, terutama gerakan aksennya, bersenyawa dengan bunyi gamelan yang mengiringinya.

 

Beberapa Versi

Terdapat beberapa versi mengenai asal-usul munculnya tarian ini. Versi paling populer yang mengacu pada Babad Dalem Sukawati mengatakan bahwa ide tarian ini berasal dari Raja Sukawati I Dewa Agung Made Karna sekitar awal abad ke-18.

Raja melihat sembilan bidadari menari di surga dengan mengenakan topeng, busana yang indah, dan hiasan kepala dari emas saat sedang bersemedi. Usai bersemedi, raja pun menciptakan koreografi tari yang diiringi gamelan semar pegulingan seperti yang dilihatnya saat bersemedi.

Stephen Davies dalam The Origins of Balinese Legong yang dimuat Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI) Vol. 164 No. 2/3, 2008 mengatakan bahwa genre tarian ini dikenal dengan berbagai macam. Beberapa di antaranya adalah topeng sanghyang, sanghyang legong, topeng legong, legong ratu dari, dan legong dedari.

Kemiripan tari topeng sanghyang dan legong terdapat pada segi kostum, langkah dan gerakan tarian, serta musik pengiringnya. Namun, keduanya memiliki perbedaan yang jauh lebih mencolok.

Alih-alih topeng sanghyang, Stephen Davies lebih yakin bahwa sumber utama tari legong adalah andir. Andir merupakan tarian untuk pemuda tampan tanpa topeng yang diciptakan I Gusti Ngurah Jelantik dari Blahbatuh (sekarang menjadi sebuah kecamatan di Gianyar) pada pertengahan abad ke-19.

Kala itu, Raja Gianyar I Dewa Manggis tertarik membuat tarian untuk putri berdasarkan andir. Adaptasi dibuat oleh penari Anak Agung Rai Perit dan musisi I Dewa Ketut Belacing pada 1889.

Tari legong lasem juga mendapat pengaruh dari tarian lain, seperti sanghyang dedari, topeng sanghyang, gambuh, dan calonarang. Tarian ini kemudian memiliki penampilan dan karakter khas dengan penambahan condong, yang juga terdapat pada drama gambuh, arja, wayang wong, dan calonarang.

Tari legong memiliki banyak varian, seperti legong candra kanta, legong kuntul, legong goak macok, legong kupu-kupu tarum, dan lainnya. Nama variannya pun disesuaikan dengan cerita yang dikisahkan. Dari banyaknya varian yang ada, tari legong lasem adalah yang paling popular dan kerap ditampilkan dalam pertunjukan wisata.

Tari legong lasem diciptakan oleh I Dewa Gde Rai Perit, seorang seniman dan bangsawan dari Gianyar. Ia menciptakan tarian ini sekitar akhir abad ke-19.

Tarian ini disebut legong lasem karena mengambil kisah dari cerita Panji tentang kasih tak sampai Prabu Lasem terhadap Diah Rangkesari. Awalnya, tarian ini bersifat sakral karena hanya dipentaskan di halaman pura dan puri (istana) pada hari-hari tertentu. Konon, para penari yang dipilih adalah yang masih murni dan belum melalui masa menstruasi.

 

Keluar dari Keraton

Namun, legong kemudian keluar dari keraton dan dipentaskan di desa-desa, terutama saat upacara di pura dan festival seni di Bali. Pergeseran ini terjadi karena banyak penari yang menikah dan keluar dari istana, terlebih setelah adanya serangan Belanda pada awal abad ke-19 yang menyebabkan banyak puri di Bali dibakar dan dimusnahkan.

Hal tersebut tertulis dalam Perkembangan Tari Legong Keraton Gaya Peliatan Tahun 1928-1954 di jurnal Avatara Vol. 2 No. 2, Juni 2014 oleh Rizki Prihartiningrum dan Yohanes Hanan Pamungkas. Peristiwa itu kemudian membuat Raja mengizinkan tarian ini keluar dari tembok istana untuk menjaga eksistensi kesenian ini.

Seiring berjalannya waktu, tari legong lasem mengalami perubahan bentuk dan struktur penyajian. Para penari di luar keraton mulai mengajarkan tarian ini kepada gadis-gadis di desa.

Semakin lama, tari legong lasem pun berkembang kian pesat. Banyak desa di Bali yang kemudian mengembangkan tarian ini dengan berbagai gaya khasnya masing-masing, salah satunya Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar.

Tari legong lasem kemudian berubah fungsi menjadi hiburan rakyat. Struktur penyajian tari legong lasem yang lengkap terdiri dari lima bagian, meliputi papeson (pembukaan), pengawak (bagian utama), pengencet (pengembangan dari bagian utama), pengipuk (bagian percintaan atau pertempuran), dan pekaad (penutup).

Dalam bentuk lengkapnya, tari legong lasem berlangsung selama sekitar 60 menit. Namun untuk kepentingan pariwisata, durasinya dipotong menjadi sekitar 15 menit.

Hingga kini, tari legong lasem telah menjadi salah satu tarian yang paling terkenal di Bali. Tak hanya menghibur, tarian ini juga menggambarkan keklasikan seni tradisional yang melegenda.

 

Penulis: Resla

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya