Liputan6.com, Yogyakarta Masyarakat banyak yang terkena hoaks dan misinformasi soal Sirekap atau sistem rekapitulasi dalam Pemilu yang disebut banyak dimanipulasi oleh penyelenggara pemilu dan berakibat kepercayaan masyarakat menurun drastis kepada penyelenggara Pemilu. Sehingga pentingnya gerakan anti hoaks antar kelompok masyarakat terkait hal ini. Peneliti Perludem, Heroik Pratama menyayangkan pemerintah belum menindak tegas persebaran hoaks dan misinformasi tersebut. Gerakan-gerakan anti hoaks justru banyak bermunculan secara organik di masyarakat.
“Kami percaya bahwa ada gangguan yang menyebabkan kepercayaan publik menurun. Tantangan lainnya di kita ini kurang responsifnya dari penyelenggara pemilu kita,” kata Pratama dalam Diskusi yang bertajuk “Gotong Royong Lawan Disinformasi Pemilu: Upaya Multipihak di Indonesia”Center for Digital Society (CfDS) UGM Kamis 29 Agustus 2024.
Advertisement
Baca Juga
Sementara itu Co-Founder Mafindo, Septiaji Eko Nugroho menjelaskan pentingnya kolaborasi berbagai pihak untuk penuntasan hoaks. Seperti halnya Mafindo yang pertama kali dibentuk di forum anti hoaks Facebook lalu berkolaborasi dengan Bawaslu, Kementerian, sampai Google Indonesia, Mafindo kini menjadi salah satu organisasi non-profit terbesar yang membantu perlawanan hoaks. “Dari pengalaman 2019 itu, menjelang 2024 kita harus melakukan sesuatu yang berbeda. Upaya melakukan perlawan misinformasi tidak bisa sendiri2,. Harus dilakukan secara inklusif,” ucap Septiaji.
Adanya kolaborasi ini meningkatkan kinerja dan komitmen bersama dan efektivitas target dan capaian. Sebab kolaborasi ini menjadikan kekuatan bersama lebih berarti dan berdampak dibanding berjalan sendiri-sendiri.
Ketua Bawaslu Daerah Istimewa Yogyakarta, Ummi Illiyina mengatakan Yogyakarta menjadi daerah kedua terbesar penyebar hoaks dan misinformasi nasional seperti halnya hoaks tentang penyerangan terhadap pemerintah dan penyelenggara pemilu. Langkah pencegahan penyebaran hoaks telah beberapa kali dilakukan oleh Tim Bawaslu, salah satunya adalah jalinan kerja sama dengan dengan META, Tiktok, Kominfo, dan organisasi sipil seperti Mafindo.
“Paling banyak kami temukan itu pemerintah yang diserang. Bahayanya adalah, sebaik apapun penyelenggara pemilu melakukan tugasnya, hasilnya tetap kepercayaan masyarakat tidak ada,” tutur Ummi.
Dia mengakui saat ini tren kampanye pemilu bergeser ke ruang-ruang digital yang lebih rentan. Pihaknya pun rutin melakukan evaluasi terhadap strategi pemberantasan hoaks dan merangkul para influencer nasional untuk ikut serta menangkal hoaks yang tersebar di media sosial.
Dalam diskusi kali ini disepakati terbentuknya gagasan koalisi anti-hoaks yang diinisiasi CfDS, Perludem, Mafindo dan Bawaslu ini nantinya dapat mempererat gabungan kekuatan untuk menumpas hoaks. Harapannya, akan terwujud lingkungan digital dan masyarakat yang kebal akan hoaks dan misinformasi.
Peneliti CfDS UGM Iradat Wirid mengatakan hampir mustahil untuk mencegah atau menghilangkan persebaran hoaks di era banjir informasi seperti saat ini. Namun terbentuknya koalisi anti hoaks berangkat dari keresahan akan misinformasi dan hoaks yang tidak terkontrol. “Pada Pemilu 2024, intensitas hoaks semakin meningkat namun dengan kekebalan masyarakat yang lebih tinggi pula. Harapannya, terbentuknya koalisi akan menjadikan masyarakat itu sendiri sebagai pagar misinformasi,” ujarnya.