OPINI: Perlu Moderasi Pangan Gratis Untuk Rakyat, Tidak Boleh Gegabah

Program ini, meskipun tidak baru dalam sejarah Indonesia, menjadi fenomenal karena anggaran yang disiapkan mencapai sekitar 140 triliun rupiah untuk swasembada pangan pada tahun 2025.

oleh Tim Regional diperbarui 07 Nov 2024, 19:32 WIB
Diterbitkan 07 Nov 2024, 17:41 WIB
ilustrasi program makan siang gratis di sekolah
ilustrasi program makan siang gratis di sekolah (dok: Foto by AI)

Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan pangan gratis untuk rakyat yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto dan jajaran kabinetnya telah mencuri perhatian publik, terutama setelah pelantikan pemerintah baru. Namun program besar ini perlu dipahami lebih mendalam—bukan hanya dalam konteks pemberian bantuan, tetapi juga dalam kaitannya dengan kemandirian dan kedaulatan pangan bangsa.

Program ini, meskipun tidak baru dalam sejarah Indonesia, menjadi fenomenal karena anggaran yang disiapkan mencapai sekitar 140 triliun rupiah untuk swasembada pangan pada tahun 2025, dengan alokasi 71 triliun rupiah di antaranya untuk pangan gratis.

Menyikapi isu pangan gratis dengan euforia semata dapat merusak tujuan jangka panjang yang lebih penting, menciptakan ketahanan pangan yang berkelanjutan dan berdaulat.

Dalam merumuskan kebijakan seperti ini, pemerintah tidak boleh terjebak dalam teknis operasional yang sekadar memenuhi tuntutan sesaat, tetapi harus memiliki visi strategis yang jelas. Moderasi kebijakan dan sinkronisasi antar kementerian dan lembaga terkait harus menjadi landasan utama.

Pangan sering dianggap hanya sebagai isu biologis, sesuatu yang hanya berurusan dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Namun, sebenarnya, pangan adalah hal yang jauh lebih besar dari itu.

Pangan adalah urusan sosial, ekonomi, politik, dan bahkan ideologi. Bukan sekadar memenuhi kebutuhan perut, tetapi juga menyangkut nilai-nilai yang mendasari suatu bangsa. Makanan mengajarkan pola hidup sehat, kesadaran gizi, serta memengaruhi peradaban dan kebudayaan suatu bangsa.

Di negara maju seperti Amerika Serikat, kebijakan penyediaan makan gratis sudah diterapkan sejak akhir abad ke-19, dengan tujuan mendidik generasi muda tentang pola makan yang sehat dan bergizi. Dalam hal ini, pendidikan tentang gizi menjadi hal yang tak terpisahkan dari kebijakan pangan.

Program pangan gratis di Indonesia harus melampaui sekadar memberikan makanan kepada rakyat, tetapi harus menyertakan elemen edukasi dan pemberdayaan.

Ketahanan pangan bukan hanya soal produksi dan distribusi, tetapi juga soal mencetak kesadaran masyarakat akan pentingnya memilih makanan bergizi dan sehat, serta mengurangi ketergantungan pada makanan yang tidak seimbang.

Kebijakan pangan gratis ini juga harus dilihat dalam konteks geopolitik global yang semakin kompleks. Seiring dengan tumbuhnya ancaman neoimperialisme, atau penjajahan dalam bentuk baru, banyak negara kaya—terutama Amerika Serikat, Eropa, dan negara-negara Timur Tengah—telah mengambil alih pengelolaan sumber daya pangan di negara-negara berkembang.

Investasi dalam lahan pertanian di luar negeri menjadi cara mereka mengendalikan pasokan pangan global. Negara-negara seperti Korea Selatan sejak 2009 bahkan secara aktif mendukung ekspansi perusahaan-perusahaan mereka di luar negeri untuk menguasai produksi pangan melalui skema investasi.

Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah strategi yang dilakukan oleh Tiongkok. Sejak 2012, Tiongkok telah menerapkan kebijakan "Going Out" yang memungkinkan perusahaan-perusahaan mereka untuk berinvestasi di sektor pertanian dan pangan di negara-negara lain.

Bahkan, Tiongkok tidak hanya berfokus pada penguasaan lahan pertanian, tetapi juga pada riset komoditas pangan dan pemberdayaan petani lokal.

Ini menunjukkan bahwa ketahanan pangan global tidak lagi hanya bergantung pada kemampuan produksi suatu negara, tetapi juga pada kekuatan politik dan ekonomi global yang sangat mempengaruhi pola konsumsi pangan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Indonesia, sebagai negara agraris dengan potensi sumber daya alam yang melimpah, harus waspada terhadap potensi ancaman ini.

Kita harus memprioritaskan pengelolaan sumber daya alam kita untuk kepentingan nasional, dan jangan sampai terperangkap dalam ketergantungan terhadap negara-negara besar yang memiliki agenda tersembunyi.

 

Sinergi dan Koordinasi Kebijakan Pangan

Dalam menghadapi tantangan-tantangan ini, Indonesia membutuhkan koordinasi yang lebih baik antar kementerian dan lembaga yang terkait dengan sektor pangan. Penguatan sistem kerja dan komunikasi antar lembaga harus menjadi prioritas.

Seringkali, kebijakan pangan di Indonesia terkesan terpecah-pecah, hanya fokus pada sektor-sektor tertentu tanpa memperhatikan integrasi kebijakan yang holistik. Penyediaan pangan gratis, meskipun penting, tidak boleh menjadi kebijakan yang terpisah dari upaya untuk memperkuat sektor pertanian lokal, meningkatkan kualitas petani, dan memastikan keberlanjutan alam.

Konsep pangan gratis harus dilihat sebagai bagian dari upaya yang lebih besar untuk mencapai kedaulatan pangan. Jika kita ingin memastikan kesejahteraan rakyat dalam jangka panjang, kita harus memastikan bahwa kebijakan pangan ini dapat mengangkat derajat petani lokal, meningkatkan pemahaman masyarakat tentang gizi dan pola makan sehat, serta menekan ketergantungan terhadap impor bahan pangan.

Kita juga harus menyadari bahwa tantangan terbesar dalam kebijakan pangan adalah bagaimana menjaga keberlanjutan alam dan sumber daya alam kita.

Pengelolaan pertanian yang merusak alam, serta budaya konsumerisme yang terus berkembang, bisa membahayakan masa depan ketahanan pangan kita. Oleh karena itu, kebijakan pangan yang visioner harus berpihak pada pelestarian lingkungan dan pemberdayaan petani lokal, serta membangun kesadaran kolektif mengenai pentingnya pola makan sehat dan berkelanjutan.

Penulis: Dina Hidayana/ Pakar Pertahanan dan Pangan

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya