Liputan6.com, Gorontalo - Penyakit malaria yang kerap dikaitkan dengan aktivitas pertambangan emas tanpa izin (PETI) di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, kembali menelan korban jiwa.
Dua warga dilaporkan meninggal dunia setelah terpapar malaria di Kecamatan Dengilo dan Marisa, wilayah dengan tingkat aktivitas PETI yang tinggi.
Baca Juga
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Pohuwato, sejak tahun 2023 hingga Februari 2025, tercatat sebanyak 1.541 kasus malaria.
Advertisement
Kecamatan Marisa menjadi daerah dengan jumlah kasus tertinggi, mencapai 315 kasus, diikuti oleh Kecamatan Buntulia dengan 289 kasus dan Taluditi dengan 264 kasus. Lonjakan ini menunjukkan bahwa malaria masih menjadi ancaman serius bagi masyarakat.
Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Pelayanan Rumah Sakit Bumi Panua Pohuwato, Inang Toma, menyampaikan bahwa mayoritas pasien yang dirawat adalah orang dewasa, khususnya para penambang. Namun, terdapat pula anak-anak dan perempuan dari keluarga penambang yang turut terinfeksi.
“Anak-anak ikut orangtuanya di lokasi tambang, begitu juga perempuan yang merupakan istri penambang. Kami sempat mengalami keterbatasan obat akibat tingginya jumlah kasus, tetapi kini sudah diatasi,” kata Inang Toma, Rabu (12/02/2025).
Status Darurat Bencana Non-Alam
Kabid Pelaksana Teknis Malaria Dinas Kesehatan Pohuwato, Roys Gunibala, mengakui bahwa penyebaran malaria di wilayah PETI sangat masif. Marisa, Buntulia, dan Taluditi mencatatkan jumlah kasus tertinggi di Pohuwato.
“Penyebaran malaria telah meluas ke seluruh kecamatan di Pohuwato, dengan tiga kecamatan tersebut memiliki kasus terbanyak,” kata Roys.
Upaya penanganan yang dilakukan selama dua tahun terakhir dengan menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) dinilai belum membuahkan hasil maksimal. Oleh karena itu, statusnya kini meningkat menjadi darurat bencana non-alam agar penanggulangan lebih efektif.
Menurut Roys, langkah strategis yang dilakukan saat ini melibatkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pohuwato bersama Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait. Fokus utama adalah pengobatan pasien terinfeksi serta pencegahan lebih lanjut.
Hasil penelitian tim Kementerian Kesehatan RI menunjukkan bahwa nyamuk Anopheles, penyebab utama malaria, berkembang biak di genangan air, termasuk limbah rumah tangga yang terabaikan. Faktor lingkungan seperti genangan air berlumut dan kubangan bekas tambang memperparah penyebaran penyakit ini.
Data Satgas Kejadian Luar Biasa (KLB) mencatat, terdapat sekitar 500 kubangan bekas PETI di Kecamatan Buntulia, khususnya di Desa Hulawa. Sementara itu, lebih dari 200 kubangan serupa ditemukan di Desa Puncak Jaya, Kecamatan Taluditi. Hal serupa juga terjadi di Kecamatan Popayato, Dengilo, dan Patilanggio.
“Selain kubangan bekas tambang, lingkungan permukiman yang kurang terjaga kebersihannya juga menjadi faktor utama. Pencegahan harus dilakukan dengan menutup kubangan dan menjaga kebersihan lingkungan,” jelas Roys.
PETI Masih Beroperasi, Penindakan Minim
Meski malaria telah berstatus darurat, aktivitas PETI di Pohuwato masih marak tanpa penindakan tegas dari aparat penegak hukum. Bahkan, beberapa lokasi PETI berada dekat dengan kantor kepolisian, seperti di Desa Bulangita, Marisa, yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari Polres Pohuwato.
Penambangan ilegal di daerah ini bukanlah fenomena baru, tetapi semakin masif dalam beberapa tahun terakhir. Penggunaan alat berat seperti ekskavator dilakukan secara terbuka tanpa pengawasan ketat. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Masyarakat berharap adanya langkah tegas dari pihak berwenang untuk menertibkan aktivitas PETI demi menekan angka penyebaran malaria serta melindungi kesehatan warga Pohuwato.
Advertisement
