OPINI: Komunikasi Strategis, Ketika Data Bicara

Dalam konteks Indonesia, di mana kepercayaan publik terhadap institusi kerap fluktuatif, pendekatan berbasis data adalah satu-satunya jalan untuk menjaga keberlanjutan komunikasi strategis.

oleh Liputan6.com Diperbarui 24 Mar 2025, 00:32 WIB
Diterbitkan 23 Mar 2025, 21:10 WIB
Ilustrasi Analis Data by AI
Ilustrasi Analis Data by AI (liputan6.com/Elyza Binta Chabibillah)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Dalam situasi ekonomi yang penuh ketidakpastian, peran komunikasi publik menghadapi tekanan yang besar. Tidak cukup lagi hanya menyampaikan pesan. Komunikasi harus bisa dibuktikan dampaknya.

Katie Delahaye Paine, pakar pengukuran komunikasi, menulis dengan tajam bahwa masa krisis adalah saat di mana pengukuran menjadi penyelamat reputasi.

"Ketika Anda memiliki data untuk membuktikan efektivitas komunikasi Anda, Anda akan terlihat seperti pahlawan," ungkapnya dalam tulisannya yang terbit Maret 2025 di social media Linkedin.

Ia tidak hanya menyampaikan teori, tapi juga berbagi pengalamannya selama lebih dari tiga dekade menghadapi krisis ekonomi: mulai dari Dot-Com Crash, resesi 2008, hingga pandemi Covid-19. Menariknya, justru di tengah krisis, perusahaan dan institusi berbondong-bondong mencari data untuk membuktikan mana program komunikasi yang bekerja dan mana yang tidak.

Ini menegaskan satu hal, yakni krisis menuntut efisiensi. Dan komunikasi yang tidak bisa diukur, akan menjadi korban pertama pemangkasan anggaran.

Pengukuran di Tengah Krisis: Apa yang Perlu Dilihat?

Selama ini, banyak program public relation (PR) masih terjebak pada metrik vanity seperti jumlah exposure atau follower. Padahal, di masa sulit, pertanyaan mendasarnya bergeser menjadi: Apakah komunikasi kita membawa hasil? Apakah mengubah persepsi? Apakah mendorong aksi?

Paine menyusun setidaknya 12 indikator yang dapat dijadikan acuan, mulai dari efektivitas kanal digital, peran karyawan dalam amplifikasi pesan, hingga sejauh mana pesan kita muncul di media yang dipercaya.

Yang menarik, ia juga menekankan pentingnya mengukur desirable share of voice apakah organisasi kita mendominasi narasi yang diinginkan atau justru terseret dalam pemberitaan negatif?

Kasus Indonesia: Saat Data Mulai Berbicara

Indonesia pun mengalami fenomena serupa. Pada awal pandemi COVID-19, komunikasi publik pemerintah banyak dikritik karena tidak konsisten dan berubah-ubah. Survei LSI (2020) menunjukkan adanya penurunan kepercayaan masyarakat terhadap narasi resmi pemerintah.

Namun, beberapa entitas seperti Pemprov DKI Jakarta mulai mengubah pendekatan. Melalui portal corona.jakarta.go.id dan kanal media sosial, mereka menyampaikan data harian, memperjelas kebijakan PSBB, dan memanfaatkan Owned Media secara strategis. Hasilnya, walau tak sempurna, pendekatan ini menciptakan persepsi yang lebih stabil dan membangun kembali kepercayaan publik.

Contoh ini menunjukkan bahwa pengukuran bukan soal pelaporan, tetapi soal strategi. Saat pemerintah mulai membaca data dan menyambungkan antara pesan, kanal, dan respons publik, maka komunikasi tidak lagi menjadi beban, tapi aset strategis.

Komunikasi sebagai Departemen Efisiensi

Paine bahkan menyebut bahwa komunikasi yang dilandasi pengukuran adalah bagian dari, "departemen efisiensi." Ia mengkritik pendekatan lama yang sekadar menyajikan data dalam dashboard tanpa memahami prioritas kepemimpinan.

Padahal, tugas PR hari ini bukan hanya menyampaikan pesan, tetapi membantu organisasi membuat keputusan berbasis data: mana pesan yang bekerja, kanal yang efektif, segmen audiens yang responsif.

Penting bagi tim komunikasi untuk memahami arah strategis institusi. Jika targetnya adalah meningkatkan kepercayaan publik di sektor kesehatan, maka pesan, kanal, dan waktu komunikasi harus diukur pada variabel tersebut—bukan hanya pada jumlah press release yang dikirimkan. Pengukuran yang tidak relevan dengan tujuan, hanya akan menjadi beban administratif.

 

Promosi 1

Menyusun Ulang Narasi PR di Indonesia

Dalam konteks Indonesia, di mana kepercayaan publik terhadap institusi kerap fluktuatif, pendekatan berbasis data adalah satu-satunya jalan untuk menjaga keberlanjutan komunikasi strategis.

Krisis ekonomi global yang mulai terasa, serta tantangan seperti polarisasi politik, misinformasi, dan kelelahan informasi (information fatigue), mendorong kebutuhan akan komunikasi yang tidak hanya reaktif, tetapi juga adaptif dan terarah.

Sayangnya, banyak organisasi publik dan swasta di Indonesia masih melihat pengukuran sebagai bagian dari pelaporan akhir bulan, bukan sebagai proses reflektif untuk menyempurnakan strategi. Hal ini perlu diubah.

Komunikasi yang tidak diukur, tak akan bisa diperbaiki. Komunikasi yang tidak bisa dibuktikan dampaknya, akan selalu dianggap "beban anggaran."

Saatnya Bertransformasi

Kini saatnya praktisi komunikasi—baik di kementerian, lembaga, BUMN, maupun sektor swasta—mengambil posisi lebih strategis. Pengukuran bukan hanya milik para analis data, melainkan alat kepemimpinan.

Saat kita bisa menunjukkan bahwa satu kampanye mendorong perubahan sikap publik, atau satu pesan mampu membentuk opini media, maka kita tak lagi bicara sekadar PR, tetapi bicara soal arah masa depan institusi.

Momen krisis bukan saat untuk bertahan pasif, tapi saat untuk membuktikan nilai. Dan pengukuran adalah alat untuk membuktikan bahwa komunikasi yang baik, bukan hanya bisa menyelamatkan reputasi—tapi bisa menyelamatkan arah tujuan perusahaan/institusi/organisasi.

Penulis: Fardila Astari/ Measurement and Communications Strategist/ Reputasia Strategic Communications Consulting/ Mahasiswa Doktoral Sosiologi, Universitas Indonesia

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya