Liputan6.com, Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) masih menunggu aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mempercepat penyelesaian transaksi efek dari 3 hari bursa (T+3) menjadi 2 hari bursa (T+2). Namun, penyelesaian transaksi efek jadi T+2 itu diharapkan dapat dilakukan pada semester I 2018.
"Kami menunggu OJK. Karena peraturan dan konsep dari OJK. Kami akan sosialisasikan kemudian," ujar Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio, saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (11/1/2018).
Ia mengakui, pelaksanaan penyelesaian transaksi efek menjadi dua hari bursa masih agak panjang bila dilihat secara teknis. Selain itu, percepatan penyelesaian transaksi tersebut akan mengubah sistem di BEI dan perusahaan sekuritas.
Advertisement
Baca Juga
"Kami juga mempertimbangkan broker asing, kliennya karena ada perbedaan waktu. Kalau teknis masih agak panjang," ujar Tito.
Akan tetapi, ia mengharapkan pelaksanaan percepatan transaksi saham tersebut dapat dilakukan semester I 2018. Saat ini penyelesaian transaksi (settlement) serah dan terima efek dan uang berlaku tiga hari setelah tanggal transaksi dilakukan untuk pasar reguler.
Tito menambahkan, penyelesaian transaksi efek tersebut dapat meningkatkan nilai transaksi harian saham. Berdasarkan data BEI, rata-rata transaksi harian saham kini Rp 7,02 triliun. "T+2 bikin perputaran uang lebih cepat, transaksi meningkat," kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Bisakah Penyelesaian Transaksi Saham di BEI Jadi 1 Hari?
Sebelumnya, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) akan mempercepat penyelesaian transaksi saham (settlement) dari 3 hari bursa (T+3) menjadi 2 hari bursa (T+2). Dengan ini, diharapkan transaksi saham semakin deras. Lantas, mungkinkah penyelesaian ini dipercepat menjadi T+1?
Direktur Utama PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) Hasan Fawzi menerangkan, mulanya banyak orang menginginkan transaksi saham semakin cepat sampai T+1. Namun, hal itu memiliki sejumlah risiko.
"Tadinya semua orang merasa transaksi bursa settlement idealnya mengacu atau menuju RTGS, realtime gross settlement. Ternyata risk-nya terlalu besar," kata dia seperti ditulis di Jakarta, Selasa 27 Juni 2018.
Risiko yang dimaksud seperti salah memasukkan order transaksi, sehingga tak ada ruang untuk koreksi. Padahal, transaksi saham terkait nilai dan volume saham.
"Sehingga nature transaksi bursa ada waktu yang disediakan yang kita sebut post trade processing. Pemprosesan yang harus dilakukan mengikuti atau setelah dilakukan transaksi di bursa, konfirmasi klien, afirmasi dari pihak ke tiga yang akan pihak intermediasi penyelesaian, melihat ketersedian efek dan dananya, menyiapkan transfer untuk settlement-nya itu semua orang perlu waktu," jelas dia.
Sebab itulah, mesti ada jeda untuk penyelesaian transaksi saham. Hasan menuturkan, konsensus internasional yang dimediasi oleh The European Securities and Markets Authority (ESMA) ialah T+2.
"Itulah kenapa T+2 kemungkinan nanti pada saatnya akan menjadi standar siklus penyelesaian transaksi secara global. Semua orang mikirnya menuju ke sana, bukan ke T+1 atau RTGS (realtime gross settlement). T+2, bukan kita tidak bisa T+1 tapi memang kelihatannya sudah menjadi global konsensus untuk menjadi siklus penyelesaian transaksi bursa secara global," jelas dia.
Hasan bilang, masih sedikit negara yang menerapkan T+1, salah satunya China. Namun, penyelesaian transaksi ini terbatas untuk investor domestik.
"Tidak banyak, China buktinya, tapi China pun hanya untuk sifatnya lokal saham oleh domestik," tutur dia.
Advertisement